Canda Bisa Jadi Bencana, Lebih Baik Merawat Nusantara

Marilah kita pandai-pandai menempatkan diri dan berhati-hati dalam bertutur kata atau berucap, sekalipun mungkin bercanda atau guyonan.

Jumat, 21 Januari 2022 | 22:19 WIB
0
217
Canda Bisa Jadi Bencana, Lebih Baik Merawat Nusantara
Tertawa (Foto: nu.or.id)

Indonesia tercinta atau Nusantara ini terdiri dari multi etnis atau banyak suku. Setiap suku atau etnis juga mempunyai bahasa daerah dan sifat atau karakter masing-masing.

Keragaman bahasa bahasa daerah dari berbagai suku atau etnis menambah kekayaan kebudayaan atau budaya Nusantara. Bahkan setiap suku atau etnis juga mempunyai baju atau pakaian adat masing-masing. Begitu juga soal masakan atau kuliner juga sangat beragam.

Dan setiap suku atau etnis atau daerah punya andil untuk memajukan nilai-nilai positif yang berasal daerahnya masing-masing.

Setiap suku atau etnis boleh menyelipkan atau memakai kosakata dari bahasa daerah atau bahasa ibu masing-masing. Asal diterangkan artinya supaya bisa dipahami bagi yang tidak mengerti.

Jangan sampai ada suku atau etnis yang merasa mendominasi akan suatu bahasa daerah dan mengecilkan bahasa dari suku atau etnis lainnya. Begitu juga jangan sampai ada mayoritas akan keyakinan menindas atau mengecikan keyakian yang minoritas. Semua harus setara dan mempunya konstribusi masing-masing besar ataupun kecil.

Memang kita mempunyai bahasa "persatuan" yaitu bahasa Indonesia. Bahasa persatuan inilah yang menjadi pengikat dan jembatan dari semua suku dan etnis yang ada di Nusantara ini dalam berkomunikasi.

Ragam bahasa daerah dari suku atau etnis menjadi kekayaan yang tidak ternilai dan bisa menjadi nilai positif. Namun, keragaman suku dan etnis dengan bahasa daerah masing-masing kalau tidak dirawat dengan baik bisa menjadi ranting-ranting yang kering dan bisa terbakar akibat percikan api dari sentimen rasa kedaerahan.

Bagi orang Jawa mengucapkan kata "munyuk atau kethek" kepada sesama orang Jawa atau teman, mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi jangan sekali-kali diucapkan kepada etnis atau suku lainnya, sekalipun mungkin hanya candaan atau guyon. Karena bisa jadi kosakata itu sebagai penghinaan atau pelecehan. Itu sudah terbukti yang akhirnya menimbulkan kerusuhan beberapa tahun lalu.

Bahkan terkadang suatu candaan atau guyonan itu tidak bersifat universal, namun bersifat lokal atau kedaerahan atau hanya monopoli suku atau etnis tertentu.

Contoh, ada stand-up komedi dari saudara kita Indoensia timur yang membawakan tema tentang kebiasaan mabuk di daerahnya. Ketika ia membawakan candaan atau guyonan dalam panggung stand-up komedi dengan logat dan dialek Indonesia timur, para penonton bisa tertawa lepas mendengarkan cerita terkait orang mabuk.

Namun, tema lawakan itu kalau dibawakan oleh orang Jawa, Sunda, Madura atau suku lainnya dengan kata-kata atau kalimat yang sama persis seperti diucapkan sang stand-up komedi di atas, bisa menjadi perkara yang akan dituduh rasis atau penghinaan. Karena dianggap menjadikan  kebiasaan orang mabuk dari etnis atau suku lainnya menjadi bahan lawakan. Bisa-bisa menjadi perkara hukum karena tidak terima tema lawakan tersebut.

Inilah yang dimaksud lawakan atau candaan pun terkadang tidak universal, tetapi monopoli suku atau etnis tertentu dan tidak bisa dibawakan atau ditiru etnis atau suku lainnya.

Ada lagi kisah tokoh pendiri bangsa ini yaitu antara Sutan Sjahrir dengan Sultan Hamid Alkadrie.

Sutan Sjahrir sempat tersinggung oleh kata-kata atau kalimat candaan atau guyoanan yang diucapkan oleh Sultan Hamid.

Kejadiannya pada 16 Januari 1962 dua tokoh tersebut dengan tokoh yang lainnya ditahan era Bung Karno atas tuduhan terlibat pembunuhan Bung Karno.

Mereka ditahan di rumah tahanan militer Madiun. Dalam acara makan malam, seperti biasa sesama tahanan politik sering bercanda atau berdiskusi. Dalam obrolan tersebut temanya terkait kebiasaan atau adat Minangkabau, di mana laki-laki bergantung kepada pihak perempuan atau matriarkat. Atau pihak laki-laki justru dilamar atau dipinang oleh pihak perempuan.

"Orang laki-laki Minang itu seperti pemacak", ucap Sultan Hamid dalam obrolan tersebut. Niat ucapan Sultan Hamid ini sebenarnya hanya untuk candaan atau menghidupkan suasana biar tidak jenuh sebagai tahanan.

Arti dari "pemacak" yaitu sebagai pejantan yang tugasnya hanya membuahi saja.

Apa yang terjadi mendengar candaan atau guyonan Sultan Hamid kepada Sutan Sjahrir tersebut?

Sontak saja Sutan Sjahrir berdiri dengan tenang tanpa sepatah kata pun dan menuju kamar tidurnya.

Melihat Sutan Sjahrir meninggalkan meja makan menuju kamarnya, Sultan Hamid panik atau bingung, apa yang salah dengan kata-kata atau kalimat yang diucapkan. Toh,kalimat itu juga sering diucapkan sebagai candaan atau guyonan oleh orang lain, begitu kurang lebih tanya Sultan Hamid kepada Mohammad Roem sebagai sesama tahanan.

Bahkan Mohammad Roem juga membenarkan apa yang dikatakan Sultan Hamid, bahwa ia juga sering mendengar perkataan itu sebagai candaan atau guyonan. Dan menurut Mohammad Roem, ia juga sering menyaksikan sendiri candaan atau guyonan seperti itu tiap hari di rumah Haji Agus Salim.

Sultan Hamid lantas bertannya kepada Mohammad Roem, "Nah,Apa bedanya?"

Mohammad Roem menjawab pertanyaan itu, "Bedanya, Haji Agus Salim orang Minangkabau dan Sjahrir juga merupakan orang Minangkabau. Sedangakan kamu (Sultan Hamid) bukan dari Minangkabau.

Mohammad Roem memberikan nasehat kepada Sultan Hamid, "Kita hendaknya mengerti, bahwa lelucon atau candaan itu hanya monopoli orang Minang".

Dan Sultan Hamid mengangguk-angguk tanda mengerti atau paham, mengapa Sutan Sjahrir tersinggung. Dan ia akhirnya meminta maaf kepada Sutan Sjahrir.

Kisah atau cerita diatas sebagai gambaran bahwa candaan atau guyonan tidak bersifat universal. Namun adakalanya menjadi komsumsi atau monopoli suku atau etnisnya atau sukunya sendiri dan tidak untuk etnis atau suku yang lainya.

Untuk itu marilah kita pandai-pandai menempatkan diri dan berhati-hati dalam bertutur kata atau berucap, sekalipun mungkin bercanda atau guyonan. Jangan sampai menyebabkan ketersinggungan yang bisa menyebabkan ada gesekan-gesekan antar etnis atau suku di Nusantara ini.

***