Cermin, Cangkir, Langit dan Laut

Segala hal yang ada di batin kita, baik itu jelek maupun baik, adalah ciri kemanusiaan kita. Ia adalah tanda, bahwa kita masih hidup. Jangan berharap, supaya pikiran dan emosi itu selalu indah.

Jumat, 6 Agustus 2021 | 07:06 WIB
0
170
Cermin, Cangkir, Langit dan Laut
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Diri kita yang sebenarnya itu selalu damai, dan selalu berada dalam sukacita. Namun, pikiran dan emosi menutupinya, sehingga kita menderita. Karena sudah terjadi bertahun-tahun, maka pikiran dan emosi itu semakin tebal. Ia semakin sulit untuk dilihat secara nyata sebagai ilusi yang datang dan pergi.

Di dalam tradisi kontemplatif-meditatif, ada banyak cara untuk menjelaskan hal ini. Salah satunya dengan menggunakan analogi. Pemahaman ini, bahwa diri kita yang asli itu selalu damai dan bersukacita, tidak datang dari keyakinan buta. Ia datang dari pengalaman yang bisa diuji langsung.

Bagaikan Cermin

Jati diri asli kita itu seperti cermin. Ia siap memantulkan semua obyek, tanpa kecuali. Ia juga selalu bersih kembali, ketika obyek itu pergi. Ia selalu kembali seperti keadaan semula.

Obyek cermin itu seperti pikiran dan emosi kita. Mereka datang dan pergi. Mereka bisa begitu besar dan menyeramkan, atau kecil seolah tak berarti. Namun, mereka pun akan berlalu.

Kita adalah cermin. Pikiran dan emosi hanya obyek-obyek yang berganti di depan cermin. Tetaplah berada sebagai cermin. Apapun yang terjadi, kita akan menemukan kedamaian dan suka cita yang dibutuhkan.

Bagaikan Cangkir

Jati diri kita yang asli juga seperti cangkir. Ia bisa diisi apapun. Ia bisa diisi air, kopi, teh dan sebagainya. Namun, setelah dicuci, ia kembali seperti semula.

Air, kopi, teh dan sebagainya itu bagaikan pikiran dan emosi kita. Mereka berubah tanpa henti. Mereka bisa begitu pekat, atau tanpa rasa. Namun, semua itu hanya sementara.

Kita bagaikan cangkir. Semua pikiran dan emosi yang datang hanyalah isi dari cangkir yang terus berganti. Maka, kita perlu sungguh menyadari kesadaran kita yang seperti cangkir ini. Di tengah suasana hati yang terus berubah, akibat keadaan di luar yang juga terus berubah, kita bisa menemukan kedamaian dan stabilitas batin.

Bagaikan Langit

Jati diri kita yang sejati itu juga seperti langit. Terkadang, ia tertutup awan gelap. Terkadang, ada sedikit awan. Terkadang juga, ia biru jernih.

Semua awan, dan keadaan cuaca lainnya, itu seperti perubahan di dalam batin kita. Awan gelap bagaikan emosi yang jelek, seperti marah dan takut. Awan terang bagaikan emosi yang menyenangkan, seperti ketika mendapat rejeki. Apapun itu, awan juga adalah sesuatu yang sangat sementara.

Kita yang asli adalah langit itu sendiri. Semua keadaan batin itu seperti awan dan cuaca yang terus berganti. Kita perlu terus melatih batin kita, supaya bisa mengalami ini secara utuh. Hanya dengan begitu, kita bisa menemukan kedamaian di tengah hidup yang terus berubah.

Bagaikan Laut

Laut hanya berombak di pinggiran. Di tengah, ia tenang dan stabil. Begitu pula batin kita. Riak pikiran dan emosi hanya ada di pikiran. Inti diri kita yang asli selalu tenang dan stabil.

Laut juga memeluk semua. Ia menerima semua. Tak ada penolakan sedikitpun. Batin kita yang sejati pun seperti itu. Ia bisa menjadi tempat untuk semua jenis pikiran maupun emosi.

Kemarahan itu hanya seperti badai. Ia datang, dan pergi beberapa saat kemudian. Kegembiraan pun serupa. Laut tetap ada, dan siap menampung semua jenis cuaca yang ada. Batin kita tetap sadar, dan siap menampung semua keadaan batin yang terjadi.

Diri Kita yang Asli

Diri kita yang asli adalah Buddha itu sendiri. Buddha bukanlah manusia. Ia adalah ciri batin yang selalu tenang dan stabil. Kita semua memilikinya. Artinya, sejatinya, kita semua adalah Buddha.

Batin Buddha menerima semua emosi yang ada. Ia juga menerima semua pikiran yang datang dan pergi. Ia mengamati, namun tak hanyut di dalamnya. Ia menjadi pengamat yang lembut.

Obyek-obyek batin, seperti pikiran dan emosi, cukup diamati dengan lembut. Ia cukup diamati dan disadari dengan penuh kasih. Ini seperti ibu yang sedang melihat anaknya menangis. Ia berusaha dengan lembut mendekati dan menenangkannya.

Segala hal yang ada di batin kita, baik itu jelek maupun baik, adalah ciri kemanusiaan kita. Ia adalah tanda, bahwa kita masih hidup. Jangan berharap, supaya pikiran dan emosi itu selalu indah. Cukuplah berlatih untuk mengamati dan menyadari semua bentuk emosi maupun pikiran yang datang dengan penuh kelembutan dan welas asih.

Ini merupakan hal paling penting yang perlu kita kuasai. Yang lain hanya soal bertahan hidup. Jika kematian tiba, biasanya didahului dengan rasa sakit, cukuplah amati dan sadari semua itu dengan lembut serta penuh welas asih. Kesadaran yang murni, damai dan stabil itulah pembebasan batin yang sesungguhnya.

Jangan ditunda lagi.

***