Dalam pandangan Yansen, Kaltara adalah miniatur Indonesia yang indah bak pelangi di mana segala etnis dan pemeluk agama berbeda bisa hidup saling berdampingan dalam "rumah besar" Kaltara.
Ini pendaratan kedua saya di Malinau, Kalimantan Utara. Pendaratan pertama terjadi enam tahun lalu. Pengundangnya orang yang sama, yaitu Yansen Tipa Padan, Bupati Malinau bergelar Doktor yang dikenal sebagai pencetus dan penerap Gerdema di wilayah yang dipimpinnya, Kabupaten Malinau.
Gerdema adalah Gerakan Desa Membangun, yang menitikberatkan pembangunan di desa-desa dengan kepala desa sebagai eksekutor utamanya, bupati sebagai fasilitator. Belakangan Gerdema ia peras lagi menjadi "Pemerintahan" RT (Rukun Tetangga) dengan para Ketua RT sebagai eksekutor, kepala daerah sebagai fasilitator.
Saya tidak ingin mengulas terlalu jauh konsep dan praktiknya Revolusi Desa dan Revolusi RT, dua cara berpemerintahan yang berbeda dengan konsep pemerintah pusat yang merupakan buah pikir Yansen, melainkan lebih kepada sesuatu yang tak kasat mata, tetapi bisa saya rasakan kedahsyatannya: pertemanan!
Sering orang mengatakan, "Berteman itu gampang, mau cari seribu teman sehari pun bisa, tetapi yang sulit itu memelihara dan mempertahankannya". Saya merasa berkebalikannya, "Berteman itu sulit, tetapi mudah memelihara dan mempertahankannya." Kok bisa dengan mudah saya bisa memelihara dan mempertahankan pertemanan? Bisa, tentu saja, selagi saya memelihara silaturahmi.
Bagaimana memelihara silaturahmi? Jika tidak bisa saling bertemu karena terpisah jarak dan waktu, gunakan alat komunikasi yang ada. Jika tidak berjawab, panjatkan doa buat kesalamatannya. Kekuatan spiritual ini sering diabaikan, padahal nyata hasilnya.
Contoh pengalaman saya sendiri. Saya dipertemukan dengan Yansen TP pada suatu momen di Kompasiana dengan acara yang saya bikin sendiri, "Tokoh Bicara" tahun 2014, enam tahun yang lalu. Itulah momen yang mau tidak mau "menyeret" Yansen dari tokoh lokal menjadi tokoh nasional lewat acara bedah buku "Revolusi dari Desa". Sebanyak 150an penulis Kompasiana hadir dan mereka menulis kurang lebih 200 artikel dari acara Tokoh Bicara itu.
Usai acara, kami terpisah oleh kesibukan masing-masing, tetapi silaturahmi berlanjut lewat WA saat kami saling beruluk-salam atau berucap selamat hari keagamaan yang masing-masing kami peluk. Yansen mengucapkan Selamat Idul Fitri, saya mengucapkan Selamat Natal. Begitulah komunikasi minimal yang kami lakukan selama enam tahun, tetapi itulah bentuk silaturahmi yang real dan tidak pernah putus.
Baru beberapa bulan lalu sebuah panggilan telepon masuk. "Hallo... Pak Pipih di mana?" sapanya.
Pipih? Salah tulis nama? Bukankah nama saya Pepih? Tidak! Itu khas panggilan Yansen untuk saya. Saya jawab, "Di rumah (Bintaro), Pak." Dia tanya lagi, "Berapa lama bisa sampai dari rumah Pak Pipih ke Grand Hyatt?" Saya jawab lagi, "Tergantung... kalau bawa kendaraan sendiri, bisa dua jam, tetapi kalau pakai kereta commuter line bisa satu jam." Kemudian Yansen mengakhiri pembicaraannya, "Kalau begitu, pakai saja kereta biar lebih cepat sampai ke sini!"
Saya bergegas dan beberapa menit kemudian sudah di atas CL dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Tanah Abang. Peristiwa terjadi sekitar awal tahun 2020, sebelum terjadinya pagebluk.
Persis satu jam kemudian saya suda berada di sebuah restoran oriental terkenal di hotel itu. Di sana sudah ada Yansen bersama Dodi Mawardi, Masri Sareb Putra dan seorang pria lagi yang belakangan saya tahu namanya Sapto Raharjo. Dua nama yang saya sebut pertama adalah para penulis top, sementara Sapto masih kerja di salah satu penerbit major beken.
Secara tidak langsung, saya terjerumus ke ke komunitas penulis di restoran itu!
Hasil dari pertemuan pertama setelah terpisah enam tahun itu adalah kesepakatan menjadi editor dan pengarah untuk sejumlah buku yang ditulis Yansen, salah satunya adalah buku Kaltara Rumah Kita, yang akan dibedah Sabtu, 8 Agustus 2020 petang ini di Malinau, Kalimantan Utara.
Pun saya bersama Dodi, Masri, dan Sapto beberapa hari lalu diundang terbang ke Malinau untuk menghadiri peluncuran buku hasil pemikiran "kebhinekaan" Yansen mengenai Kaltara, sebuah provinsi baru yang berada di pundak Pulau Kalimantan.
Dalam pandangan Yansen, Kaltara adalah miniatur Indonesia yang indah bak pelangi di mana segala etnis dan pemeluk agama berbeda bisa hidup saling berdampingan dalam "rumah besar" bernama Kaltara.Kembali kepada tema silaturahmi dan pertemanan yang saya singgung di awal tulisan, ternyata memelihara dan mempertahankan pertemanan ini lebih dipermudah lagi lewat kegiatan literasi. Menghasilkan karya tulis adalah salah satu kekuatan baru pertemanan dan ketersambungan lahir maupun batin. Pertemanan pun menjadi langgeng selagi silaturahmi terpelihara dan kegiatan literasi tetap terjaga.
Salamat atas peluncuran buku Kaltara Rumah Kita, Pak Yansen!
Malinau, 8 Agustus 2020
PEPIH NUGRAHA
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews