You Write with Your Heart, But Edit with Your Brain

Kalau saja Pak Luwi tidak bercerita tentang masa lalunya yang ternyata selalu aktual, saya tidak akan pernah tahu "pekerjaan kecil" Pak Jakob demi menjaga perasaan pembacanya.

Minggu, 13 September 2020 | 07:08 WIB
0
235
You Write with Your Heart, But Edit with Your Brain
Luwi Iswara (Foto: pepih Nugraha)

Ungkapan dalam bahasa Inggris ini ditulis guru jurnalistik saya, Luwi Iswara, saat berbagi tautan https://youtu.be/GTeAhECcFiA yaitu wawancara Tagar.id dengan saya tentang Jakob Oetama almarhum.

Dalam pesan WA yang saya kirim, saya berterima kasih kepada Pak Luwi -demikian saya memanggilnya- karena berkat ilmu jurnalistik yang diajarkannyalah saya bisa berbagi ilmu yang saya dapatkan itu, juga bisa memahami prinisip-prinsip jurnalistik.

Tidak saya sangka, Pak Luwi menjawab tautan itu (tentu setelah menontonnya), dengan cerita mengejutkan tentang persinggungannya (baca: pengalamannya) dengan Pak Jakob Oetama, pendiri Harian Kompas yang meninggal Rabu, 9

September 2020, yang belum saya ketahui sebelumnya:

Begini persisnya Pak Luwi menulis:

"Waktu saya memegang desk malam, Pak Jakob sering muncul di ruang redaksi yang hiruk-pikuk. Waktu ramai-ramainya berita gaji guru disunat, dia berkata kepada saya, sebaiknya Kompas menghindari kata 'sunat', karena konotasi agama. Tulis saja padanan kata sunat, 'dipotong'. Hasilnya akan sama. Begitu pula kata 'mengutuk'. Hanya Tuhan yang bisa/boleh mengutuk. Sesama manusia seharusnya tidak saling mengutuk. Mungkin juga sekarang ada kata 'korupsi berjamaah' apa salahnya menggunakan padanan kata yang umum. Kesantunan (dalam jurnalisme) ini yang menjadi pegangan dalam pekerjaan saya waktu itu, dan bahan untuk meneruskannya kepada anak didik saya. You write with your heart, but edit with your brain."

Saya tercenung, demikian detailnya Pak Jakob pada masa lalu, saat Pak Luwi masih memegang "desk malam", sebuah desk yang sering dikatakan penjaga gawang terakhir sebelum Kompas naik cetak. Pak Jakob demikian peka terhadap istilah yang berpotensi menimbulkan ketersinggungan sekelompok orang, apalagi bernuansa keagamaan.

Benar, kata "sunat" (untuk pemotongan gaji), "korupsi berjamaah" (korupsi yang dilakukan bersama-sama di sebuah institusi), bahkan kata "mengutuk" sebaiknya tidak digunakan, sebab kata itu hanya Tuhan yang boleh memakainya. Mungkin masih banyak yang lainnya, tetapi itulah yang Pak Luwi ingat.

Kalau saja Pak Luwi tidak bercerita tentang masa lalunya yang ternyata selalu aktual (meminjam judul buku Pak Swantoro),saya tidak akan pernah tahu "pekerjaan kecil" Pak Jakob demi menjaga perasaan pembacanya.

Sudah barang tentu selain dikenal sebagai wartawan jempolan, Pak Jakob ternyata seorang editor yang peka terhadap perasaan pembacanya, editor yang menggunakan otaknya saat bekerja.

You write with your heart, but edit with your brain.

Salut...!!!

***