Masyarakat Minang dan Tionghoa Padang yang Kompak

Sumatera Barat telah membuktikan bahwa perbedaan Etnis tidak harus menjadi petaka, malahan dapat menjadi berkah bagi daerah, asal saja sama sama memiliki niat baik.

Senin, 10 Juni 2019 | 10:34 WIB
0
1230
Masyarakat Minang dan Tionghoa Padang yang Kompak
Kreasi Budaya Tionghoa Padang (Foto: Kompasiana.com)

Perbedaan adalah Berkah,Bukan Sebuah Kutukan

Festival 10.000 batang Lamang Baluo dan 10.000 Bakcang  yang terlaksana atas kerjasama perpaduan antara masyarakat Minang dan masyarakat Tionghoa Padang sudah usai. Dengan mendapatkan penghargaan dari MURI. Selain memecahkan rekor Muri, Festival 10.000 Bacang dan Lamang Baluo yang digelar di Kawasan Kota Tua, Jalan Batang Arau, Padang, juga menjadi sejarah di Indonesia. 

Untuk pertama kalinya, dua budaya yang berbeda antara Tionghoa dengan Minang disatukan guna memecahkan rekor Muri. "Ini sejarah di Indonesia, dua budaya berbeda disatukan dan memecahkan rekor Muri. Ini diharapkan bisa menjadi contoh keberagaman dalam kerukunan," kata Raseno Arya, dari Kementerian Pariwisata RI, disela-sela pembukaan Festival Bacang dan Lamang Baluo, Kamis (6/6/2019).

Hikmah Yang Tak Kalah Penting Dibanding  Rekor MURI 

Tanpa mengecilkan arti penghargaan dari MURI, perlu dikaji betapa festival kuliner yang berhasil diselenggarakan dengan sukses,atas kerjasama antara dua etnis yang berbeda suku,budaya dan agama, ada hal yang tak kalah pentingnya,yakni kerja sama antara dua etnis yang berbeda, yakni Masyarakat Minang dan Masyarakat Tionghoa Padang. 

Secara logika, tidaklah mudah untuk menjalin kerja sama antara dua masyarakat yang berbeda dalam banyak hal. Apalagi melibatkan begitu banyak orang. 

Dalam etnis Tionghoa sendiri terdiri dari latar belakang yang berbeda. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Kongsi (Kumpulan) HBT dan HTT yang dulunya bernama Heng Beng Tong dan kemudian menjadi Himpunan Bersatu Teguh, serta Hok Tek Tong menjadi Himpunan Tjinta Teman.

Ada 2 Organisasi induk dari etnis Tionghoa Padang ini, masih terbagi lagi dari berbagai Marga, umpamanya "Marga Tjoa /Kwa, Marga Lie , Marga Gho, Marga Tan dan seterusnya. Masih ada lagi Kumpulan sosial yang bernama Santo Yusup. 

Dapat dibayangkan bahwa niat untuk mengadakan kerja sama dalam Festival Kuliner yang melibatkan ratusan orang dari berbagai pihak dalam segala keberagaman bukanlah perkara mudah.

Daerah Pondok, Kelenteng  hingga ke Jalan Batang Arau,sudah sejak lama dikenal sebagai Kampung Tionghoa.  Termasuk Pasar Tanah Kongsi yang merupakan Pasar Pagi warga Tionghoa Padang, dimana dulu Penulis pernah tinggal selama bertahun tahun dan  menjadi Penjual Kelapa disini. Yang berjualan dan berbelanja disini terdiri dari berbagai etnis 

Di samping Kampung Tionghoa, terdapat Kampung Keling  yang lokasinya di dekat Masjid. Terus ke utara ada Kampung Nias dan Kampung Jawa. Walaupun terdapat nama nama Kampung yang berbeda, namun dalam kehidupan keseharian, masyarakat dari berbagai etnis sudah sejak lama hidup membaur. Dalam berinteraksi menggunakan bahasa Minang.

Tidak ada yang  berbicara dalam bahasa Mandarin, bahasa India ataupun bahasa Nias. Seluruh warga Padang ,sejak dari kecil berbicara dalam bahasa Padang tanpa ada instruksi ataupun perda perdaan. Hal ini tentu saja merupakan jembatan  yang mempertautkan seluruh etnis yang berbeda menjadi masyarakat Sumatera Barat.

Mendapatkan Dukungan  Pemerintah 

Bak Gayung Basambuik niat dari masyarakat Tionghoa Padang, ternyata mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Kementerian Pariwisata  RI. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kota Padang sehingga impian untuk menyelenggarakan Festival 10.000 Bakcang dan 10.000 Lamang Baluo, berhasil dengan sukses bahkan mendapatkan penghargaan dari MURI.

Menurut salah seorang aktivis,  Asro Sikumbang Minangkabau yang sudah sejak lama aktif dalam berbagai kegiatan budaya Minang dan Silek, kerja sama ini merupakan hal yang sungguh patut disyukuri.Asro bertugas di Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat Karena membuktikan bahwa perbedaan dalam segala keberagaman antara masyarakat Minang dan masyarakat Tionghoa Padang sungguh patut di viralkan dan menjadi contoh bagi daerah lainnya.

Asro juga mengirim video kegiatan sejak dari awal,berlangsung tanggal 6 Juni dan 7 Juni 2019 beserta foto-foto pendukung.

Menurut salah seorang anggota Panitia, Margriet Gho Hong Liu yang ikut dalam mempersiapkan Bacang dibutuhkan sekitar 600 kilogram beras ketan dan 220 ekor ayam. 

Dapat dibayangkan betapa rumitnya mempersiapkan segala sesuatunya. Belum lagi mempersiapkan Lamang Baluo yang juga tidak mudah membuatnya. 

Namun dengan niat baik dan tekad untuk bersama sama membangun Sumatera Barat, serta didukung oleh Pemerintah, maka semuanya dapat terlaksana dengan sukses

Festival Bakcang dan Lamang sudah Usai, namun  disisi lain telah menorehkan dalam sejarah Indonesia bahwa Sumatera Barat telah membuktikan bahwa perbedaan Etnis tidak harus menjadi petaka, malahan dapat menjadi berkah bagi daerah, asal saja sama sama memiliki niat baik.

***

Tjiptadinata Effendi