Paskah dan Koming

Usai mencurahkan isi hatinya, tiba-tiba Pak Swan memberitahu bahwa kemarin ada wartawan Kompas yang dibaptis.

Senin, 18 April 2022 | 07:36 WIB
0
141
Paskah dan Koming
Harian Kompas edisi perdana (Foto: Harian Kompas)

Hari Minggu Paskah mengingatkan saya pada awal penerbitan Kompas Minggu. August Parengkuan (alm.) yang menjadi redaktur Koming pertama, menjelang Paskah tahun 1979 menggugat, kenapa pada Hari Paskah, hari besar bagi umat Kristiani, Kompas tidak libur, Padahal Kompas lahir karena Partai Katolik?

Manajemen bersikeras, itu bukan hari libur nasional jadi Kompas tetap terbit! August tidak bisa terima dan ia pun mengundurkan diri sebagai redaktur Koming, digantikan Roestam Afandy.

Sejak kelahirannya tgl 17 September 1978, Koming memang dipenuhi protes. Maklum, sebagian agennya dulu direkrut dari para aktivis Gereja. Begitu diumumkan Kompas akan menerbitkan edisi Minggu, mereka protes keras.

Hari Minggu adalah hari ke gereja, hari Sabath, hari yang suci. Dan ketika akhirnya terbit, banyak di antara agen-agen ini tidak mau mengedarkan Koming bahkan tidak mau menerima korannya atau mengedarkan bersama edisi Senin!

Bagian sirkulasi kelabakan, turun ke jalan-jalan menjual secara eceran dan merekrut anak-anak remaja tetangga mereka untuk membantu. Saat itu Jawa Pos dan Merdeka sudah lebih dulu terbit pada hari Minggu. Gerakan Maryono cs yang turun ke jalan membuat para pelanggan protes, kenapa koran edisi Minggu tidak diantar. Akhirnya para agen tunduk pada mekanisme pasar.

Upaya Pak Jakob dan Pak Ojong untuk menjadikan Kompas sebagai koran umum memang penuh tantangan. Orang Katolik tahunya Kompas adalah koran Partai Katolik sehingga mereka menuntut agar Kompas berwarna katolik. Walaupun sebelum terbit sudah disyaratkan bahwa nantinya isi koran akan bersifat umum namun tidak semua orang mengerti dan tahu.

Akibatnya, sepanjang penerbitan Kompas hingga terbit edisi Minggu, protes umat terhadap isi koran tidak pernah berhenti. Kenapa tidak ada renungan Katolik, kenapa tidak memuat peresmian gereja, kenapa ini dan itu. Semua itu membuat Pak Jakob sering jengkel karena harus menerangkan hal yang sama.

Saya ingat, saat itu Hari Natal, 25 Desember 1974. Sore itu Pak Jakob datang ke ruang redaksi menyetorkan tajuk. Mukanya muram, langsung ke meja Pak Swantoro yang ada di depan saya.

Dengan suara rendah beliau curhat tentang kejengkelannya pada pengurus partai ketika siang itu beliau beranjangsana sekaligus Natalan di rumah IJ Kasimo. Rupanya dalam Natalan itu beliau diserang orang-orang partai tentang isi Kompas yang dinilai tidak mencerminkan katolik.

Usai mencurahkan isi hatinya, tiba-tiba Pak Swan memberitahu bahwa kemarin ada wartawan Kompas yang dibaptis.

Kontan Pak Jakob naik darah dan dengan nada tinggi beliau mengingatkan bahwa Kompas terbit bukan untuk mengkatolikkan orang lain. "Saya tidak suka Saudara pindah agama!" tegasnya setelah beberapa saat meluapkan kejengkelannya.

Ketika beliau keluar ruangan, sampai pintu beliau balik lagi. "Saya tidak mau dengar Saudara pindah agama karena kerja di Kompas. Ingat itu!"

Saya sepanjang beliau marah hanya berdiam diri, tidak berani berkomentar. Maklum, yang disasar itu saya sendiri, mamak orang Madiun yang abangan.

***