Krisis

Sayangnya, sistem birokrasi pemerintahan manapun akan selalu menutup aib-aib sistem kejahatannya yang terselubung.

Sabtu, 23 Juli 2022 | 15:51 WIB
0
222
Krisis
Krisis (Foto: IDX Channel)

"Krisis muncul ketika suatu struktur sistem sosial hanya mampu membuka sedikit sekali kemungkinan pemecahan masalah daripada kepentingan untuk menjaga sistem itu agar tetap eksis“ (Habermas,1973).

Sekurang-kurang ada tiga kasus yang mengandaikan krisis berat sedang menimpa sistem sosial kita.

Tiga kasus itu di antara terkait kasus kriminal di lembaga kepolisian (baku tembak antara brada di rudis Kadiv Propam Polri), penjarahan daring bank daerah (BSG) dan siklus pandemi yang terus berlanjut entah sampai kapan.

Semua sistem kehidupan, parsial maupun universal, selalu ditandai oleh serangkaian varian-varian krisis yang lebih banyak tak terduga. Selain sistem sosial berjejaring secara real, banyak pula di antaranya lebih tampak tersembunyi bahkan mirip sistem yang gaib.

Coba disimak, betapapun alat-alat teknologi sosial telah begitu canggih, tiba-tiba CCTV di sekitar tempat peristiwa baku tembak brada sekejab rusak dan raib.

Bukan cuma itu. Seorang artis kondang Nikita Mirzani (NM), pemilik saham dalam krisis Holywings, yang pernah “mengusir“ pak polisi di rumahnya, mendadak beberapa hari lalu ditangkap dan diarak ke kantor polisi.

Begitu pula, para penjarah daring duit tabungan nasabah (BSG) yang semula baru mencapai 3 miliar, digerebek di bandara setelah jarahan daringnya telah mencapai 5,3 miliar.

Demikian pula, penanganan pandemi covid hingga saat ini pemerintah nasional mulur mungkret menjejal kebijakan yang seperti "spiral kekerasan“ Don Camara.

Camara, seorang teolog marxis yang pernah berdebat dengan seorang uskup Vatikan terkait krisis agama publik.

Ketiga kasus tersebut di atas yang menandai apa yang disinyalir oleh filsuf Jerman, Jürgen Habermas (93) sebagai "krisis legitimasi“, terlalu cukup untuk menyimpulkan bahwa "krisis itu lebih dipahami sebagai gangguan terus-menerus yang hendak mencerai-beraikan kesatuan sistem (continued)“.

Dari perspektif Habermas, krisis dapat dipandang sebagai suatu sistem yang lekat dan inheren dalam seluruh interaksi sosial. Tak ada suatu peristiwa sosial yang tercerabut dari sistem itu sendiri, jika di dalam jejaring hidup (Lebenswelt, istilah Habermas yang dipinjam dari fenomenologi Husserl) atau "web of life“ (istilah Capra) tersimpan potensi menyimpang (deviatif) dan merusak (destruktif).

Dengan kata lain, dari tiga kasus tersebut, akar-akar kerusakan sistem hidup ibarat parasit pada suatu struktur organik.

Kerusakan itu, merujuk pada pandangan Habermas sebagai krisis legitimasi dalam sistem kapitalisme-lanjut (Spätkapitalismus,1973), sejatinya bisa diperiksa secara analitik dari sumber-sumber inti organ sosial dari struktur sistem itu sendiri.

Karena tatanan sistem organ itu (lembaga Polri, perbankan dan eksekutif pemerintah) dalam kasus krisis itu, lebih tahu dan sangat mengenal struktur dan sistem organiknya sendiri. 

Jadi betapa naif bila dalam ketiga kasus tersebut, potensi membuka katup aib sosial (infamacy) di dalamnya.

Selain aktor-aktor internal sangat berperan dalam krisis itu, aktor-aktor eksternal, baik sebagai pelaku sampingan, lebih dari cukup untuk ditelisik hanya sebagai pion bagi jendral semua kejahatan sistemik.

Langsung maupun tidak atau sadar maupun khilaf, krisis dalam sistem sosial kejahatan (kriminalitas) apapun selalu mudah diidentifikasi dan diretas aib niat dan tindakannya.

Dalam tradisi sosial ilmiah (scientific social system, diambil dari teori sosial Parsonian), sosiologi pengetahuan sebagai alat analisis sosial dengan mudah menguraikan tabir dalam setiap krisis sosial yang berlangsung.

Sayangnya, sistem birokrasi pemerintahan manapun akan selalu menutup aib-aib sistem kejahatannya yang terselubung. Ibarat dalam sistem perdagangan, menurut Adam Smith (wafat, 1790), ada-ada "tangan-tangan gaib“ (invisible hands) beroperasi dengan cermat dan tak terdeteksi sejak dini.

Apalagi, dalam sistem sosial transaksi global, potensi para pelaku "inside trading“ lebih licin, licik dan lihai di dalam krisis yang dirancang dan disengaja maupun yang inheren dalam setiap krisis dan Popper menyebutnya sebagai "peacemeal eingineering“ (The Poverty of Historicism, 1956) dan secara serampangan ilmuwan sosial menyebutnya "rekayasa sosial“ (social engineering) yang secara umum telah dipakai dan didaur-ulang dalam kebijakan publik dengan dan tanpa krisis sekalipun.

ReO Filsawan, filsuf.