Surat dari Ende

Membacai kembali Surat-Surat dari Endeh, saya seperti membaca reportase keadaan Indonesia hari-hari ini.

Rabu, 1 Juni 2022 | 18:36 WIB
0
212
Surat dari Ende
Soekarno di Ende (Foto: okezone.com)

Tak ada kritik kepada umat Islam di Indonesia yang lebih menohok dan lebih pedas dari kritik Insinyur Soekarno pada masa-masa sulit bangsa ini sebelum kemerdekaannya. Proklamator, presiden pertama, pejuang, dan lelaki flamboyan, yang usia mudanya hampir sepenuhnya dihabiskan untuk tegaknya negara ini, begitu berani bersuara kepada penjajah dan anak-anak negeri sendiri. Sebuah buku kumpulan tulisan Soekarno bahkan diberi judul besar: Islam Sontoloyo!

Kumpulan tulisan lain Soekarno dengan isi yang jauh lebih menggugah ada dalam Surat-Surat Islam dari Endeh. Saya nukilkan surat Soekarno kepada T.A. Hassan bertanggal 18 Augustus 1936. Isinya sungguh tak alang-kepalang: kerisauannya soal kafir-mengkafirkan di kalangan umat Islam sendiri. 

“Kita royal sekali dengan perkataan 'kafir', kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap 'kafir'. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; pantalon dan dasi dan topi – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam pun – kafir!”

Pandangan tentang Islam di masa itu dikritik Bung Karno dengan begitu sinis: 

“Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah. Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengafirkan radio dan listrik, mengafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, yang terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja “seperti di zaman Nabi dan Chalifahnya. Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar khabar tentang diadakannya aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”

Ia menuliskan kritik itu lebih 70 tahun silam, tapi isinya seperti bergema lagi hari-hari ini. Kritik Soekarno menjadi semacam ramalan yang terbukti kini. 

Saat dibuang penjajah Belanda ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, Soekarno muda memang rajin bersurat, salah satunya kepada Ahmad Hassan, seorang pemikir muda Islam kelahiran Singapura yang bermukim di Bandung kala itu. Ahmad Hassan yang aktif di Persis (Persatuan Islam) inilah guru agama Islam Soekarno. 

Mereka berkenalan saat bertemu satu ketika di percetakan Drukerij Economy milik orang Cina di Bandung. Soekarno sedang mencetak surat kabar propaganda politiknya Fikiran Rakjat, sementara A. Hassan mencetak majalah-majalah dan buku-buku Islam yang ia terbitkan.

Dari perkenalan itu, Soekarno banyak belajar tentang agama Islam. Saat Soekarno menjalani hukuman buang (1934-1938 ) di Ende, kesepiannya terhibur dengan datangnya kiriman buku-buku dan majalah-majalah dari A. Hassan lewat kapal laut yang datang tak tentu waktu. Saat kapal kembali ke Jawa, Soekarno juga menitipkan surat-suratnya yang terkenal setelah dikumpulkan dalam “Surat-Surat Islam dari Endeh” (ejaan yang benar, Ende).

Bagaimana seharusnya manusia-manusia dan negara Islam di mata Soekarno? Dalam suratnya yang lain di bulan Februari 1936, ia mengemukakannya dengan lugas. 

“Kenapa kita musti kembali ke zaman “kebesaran Islam” yang dulu-dulu? Hukum Syari’at? Lupakah kita, bahwa hukum Syari’at itu bukan hanya haram, makruh, sunah, dan fardlu sahaja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang “mubah” atau “jaiz"? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, “boleh bergias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh ber-radio, boleh berkapal-udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh ber-hyper-hyper-modern,” asal tidak nyata dihukum haram atau makruh oleh Allah dan Rassul! Adalah satu perjoangan yang paling berfaedah bagi umat Islam, yakni perjoangan menentang k e k o l o t a n. Kalau Islam sudah bisa berjoang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari-secepat kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjoangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar zaman ke muka, – perjoangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tashbih, tetapi Islam ialah p e r j o a n g a n “. Islam is progress: Islam itu kemajuan!”

Membacai kembali Surat-Surat dari Endeh, saya seperti membaca reportase keadaan Indonesia hari-hari ini. 

Merdeka!

Tomi Lebang, 22 Desember 2006