Mantan Tekyan yang Menjadi Pejuang Anti-Kejawen Phobia (1)

Bagi yang tidak tahu "tekyan", banyak orang menganggapnya bahwa ini adalah kosa kata yang berbau ke-cina-cina-an. Padahal ini murni plesetan bahasa Jawa. Akronim sesungguhnya adalah "pitik ndalan".

Selasa, 29 Maret 2022 | 17:49 WIB
0
413
Mantan Tekyan yang Menjadi Pejuang Anti-Kejawen Phobia (1)
Suasana Jogja tempo dulu (Foto: Indonesia Early Visual Documentary/IEVD)

Melihat Malioboro yang hari-hari ini yang tampak tertib, bersih, dan dianggap jadi manusiawi. Justru saya merasa aneh, merasa ada banyak, terlalu banyak hal yang hilang dan mungkin tak pernah saya dapatkan lagi. Di masa lalu, banyak yang tak menyadari bahwa sesungguhnya Malioboro adalah perpaduan antara suasana Pertokoan elite ala wong Barat di sepanjang Jalan Braga Bandung di sisi utaranya dan hirup pikuk ala Pecinan Pasar Baroe di Batavia di sisi selatannya.

Memberi penjelasan, bahwa sejak lama orang lokal (baca: wong Jowo, sengaja pakai "o" bukan "a". Sebagai penegasan keter-marginal-annya) hanya berhenti jadi penonton, pembeli, dan obyek penderitanya saja. Kondisi ini tidak banyak berubah, setelah era kemerdekaan. Kecuali bahwa hilangnya eksistensi orang Barat, digantikan dengan masalah sosial yang makin akut di dalamnya. Malioboro berubah dari jalan yang agung hanya sekedar poros, sakderma koridor. Di mana di samping kanan-kirinya adalah gudang persoalan.

Sebut saja apa yang tidak ada. Semua ada, ia adalah super-market masalah sosial.

Malioboro berubah menjadi toko serba ada yang merangkum apa yang masyarakat lokal sebut penyakit masyarakat. Apa yang disebut mo-limo: pusat bertemu dan berprakteknya aktivitas maling, madat, madon, minum, main. Di mana premanisme menjadi panglima yang menjadi penjaga denyut nadi kehidupan di sana. Tumpuk menumpuk premanisme import dan gali domestik yang berasal dari berbagai macam etnis, parpol, ormas. Maupun aparat resmi yang berbaju dinas baik itu pegawai sipil, polisi, maupun tentara. Semua berebut kue numpang di sini.

Nunut urip terhadap para pedagang legal di toko-toko yang berderet-deret, maupun lapak para pedagang resmi maupun setengah resmi yang berada di sepanjang trotoar. Yang sangat lucu dan ajaib, konon mereka yang melapak di sisi kanan atau menghadap toko itu dengan yang persis menempel di emperan toko itu "beda payung" dan tergabung dalam paguyuban atau organisasi yang berbeda. Padahal secara hukum itu adalah halaman milik para toko itu. Dan mereka justru tak mendapat keuntungan apa-apa dari kebersediaan mereka merelakan lahannya dipakai.

Dan kepada siapa mereka para pedagang itu membayar? Yah, kepada para preman yang berasal dari berbagai latar belakang dan kepentingan itulah....

Dalam kekacauan sistem sosial dan pembalakan ekonomi yang sungguh ugal-ugalan ituah Malioboro juga menjadi rumah banyak jenis kehidupan jalanan. Jauh sebelumnya tempat ini adalah tempat nongkrong para seniman dari berbagai minat. Apakah sastra, yang melahirkan seorang presiden dari Sumba yang kemudian karena lama-lama jengah sendiri. Lalu menyepi ke Bali. Bagi saya Umbu Landu Paranggi adalah sejenis orang yang tahu bagaimana memulai dan mengakhiri kerja kreatifnya.

Yogya selalu adalah tempat bermula, dan (barangkali) Bali adalah tempat terbaik untuk mengakhiri. Semacam komuter budaya spiritual yang aneh. Ke Timur di Barat kita memulai, di Timur kita mengakhiri. Sesuatu yang sesungguhnya melawan arah matahari...

Tak sedikit pula, para seniman lain apakah itu seni rupa (apakah itu pelukis, pematung, atau sekedar seni kriya). Semua memulai kariernya dari kelas seni rendahan atau kitsch. Dijual murah sekedar penyambung hidup. Untuk kemudian jadi seniman besar yang mendunia. Mungkin telah ratusan atau lebih banyak lagu yang lahir, berasal dari inspirasi kehidupan yang ada di jalanan ini. Tak melulu yang secara verbal menyebut kosa kata Malioboro dan Jogja.

Tapi terutama selalu saja menyisakan spirit dan aura romantisme, vandalisme, bahkan dalam hal-hal tertentu kriminalisme yang ada di dalamnya.

Dan tingkat terbawah dari itu semua Maliboro adalah "rumah" bagi ratusan anak jalanan. Sebuah fenomena kemiskinan, keterpinggiran, dan keliaran yang mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Sesuatu yang nyaris beriringan hadir dengan lahirnya rumah-rumah yang arsitekturalnya dahsyat di bantaran Sungai Code di sisi selatan Jembatan Gondolayu yang diinisiasi oleh Romo Mangunwijaya.

Sementara secara organisasi muncul berbagai kelompok yang tak terhitung banyaknya yang menandai juga lahirnya banyak LSM-LSM yang memperdagangkan mereka sebagai "proyek".

Serendah itukah drajat anak-anak jalanan? Tentu tidak...

Mereka juga pada akhirnya melahirkan sub-kultur, sebuah klutur underground, budaya bawah tanah. Yang juga memiliki ideologi, aturan main, hirarki kekuasaan, bahkan gaya bahasa yang sama sekali lain. Mereka membangun harga diri dengan cara mereka sendiri. Dan dari sekian banyak istilah yang paling populer adalah "Tekyan". Ini sebuah akronim yang menggambarkan siapa kah diri mereka. Tekyan kemudian menjadi identitas bersama, yang bahkan hingga hari ini masih sangat populer dan "tetap dipakai".

Bagi yang tidak tahu "tekyan", banyak orang menganggapnya bahwa ini adalah kosa kata yang berbau ke-cina-cina-an. Padahal ini murni plesetan bahasa Jawa. Akronim sesungguhnya adalah "pitik ndalan", tapi kemudian dicedal-cedalkan, dicelat-celatkan karena pada umumnya secara obyek mereka adalah anak-anak kecil. Jadilah "tekyan, bukan teklan". Mereka mengibaratkan anak ayam yang saban hari mencari makan, dengan "nothol-i tegesan lan panganan" (baca: mematuki) sisa makanan, menenggak sisa minuman dan menyesap tegesan yang terbuang.

Intinya sisa-sisa adalah dirinya. Sesisa kehidupan mereka di mata masyarakat lumrah.

Saya tidak tahu darimana asal mula istilah "tegesan" berasal. Tegesan adalah sisa puntung rokok yang dibuang. Karena pada umumnya para perokok tak pernah merokok sampai habis. Dulu sekali masih jarang, rokok yang menggunakan filter. Jadi bahkan ketika sebatang rokok habis dihisap, tetaplah rokok bagi yang lain. Pada titik inilah para "bedelaar" (untuk menghaluskan istilah para anak jalanan itu) berprofesi dan menyambung hidup dalam konteks jika mereka sama sekali tak memiliki modal apa pun.

Di luar dikonsumsi sendiri, puntung-puntung rokok itu kemudian dikelupas lalu dikumpulkan lagi sisa-sisa tembakaunya. Untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Selalu ada orang yang mau menadahnya. Saya masih ingat betul, di pojok daerah Ketandan di emperan ruko-ruko Pecinan lama, dahulu banyak pedagang menggelar tembakau sisa tegesan ini. Konon cita rasa "tegesan" ini jauh lebih nikmat jika dilinting kembali. Apalagi jika dicampuri sedikit klembak menyan, cengkeh, dan tentu saja daun ganja.

Ah, malah ngajari....

Dalam sub-kultur anak jalanan inilah, yang pada dasarnya tidak hanya berasal dari "anak rantau". Tetapi justru dari kanan-kiri anak kampung. Kampung-kampung tradisional yang bahkan sejak jaman Jogja masih kasultanan yang merdeka, sudah sangat padat penduduknya dan sesak oleh rumah-rumah yang kumuh dan sederhana. Banyak di antaranya mereka melahirkan generasi anak brandal, yang jenuh dan bosa dengan suasana rumah. Mereka menghasilkan banyak istilah yang terdengar lucu tapi selalu bikin haru.

Misalnya, ketika ada seorang cewek jalanan tiba-tiba karena untuk kebutuhan ngamen lalu sedikit bersolek. Mereka menyebutnya sebagai "rendan" akronim kere dandan. Bagi "anak baru", biasanya jika laki-laki mereka adan disebut "gondes" akronim dari "gondrong ndesa". Gaya rambut yang norak, gondrong tapi norak. Sedang bagi yang perempuan akan disebut "Mendes" atau "Menthel Ndesa". Menthel adalah sebutan gaya menarik perhatian, yang kemayu tapi sok jual mahal. Yah sak jual-jual mahalnya seorang anak jalanan. Menthel juga akhirnya. Menthel dalam arti ia akhirnya akan hanyut terbawa dalam gaya hidup jalanan. Yang sudah dapat dipastikan jadi obyek eksploitasi seksual.

Tulisan ini, tentu saja sebuah prolog, pengantar untuk menceritakan sebuah kisah panjang perjalanan hidup seorang anak jalanan. Yang ternyata tidaklah semengerikan yang orang kebanyakan bayangkan. Bahwa perjalanan hidup manusia itu tidaklah selinier yang orang angankan. Mungkin, hari ini anak jalanan kelak mereka justru berubah. Anak jalanan yang berhasil lulus darti universitas jalanan. Membangun hidupnya, bahkan mempengaruhi dan berkontribusi bagi kehidupan lain yang tak terbayangkan sebelumnya.

Ternyata kuncinya hanya satu: berani berdiaspora. Keluar sejauh mungkin dari lingkungan lamanya. Yah harus berani keluar, karena bahkan jalanan adalah sebuah zona nyaman.

Sering menjadi terlalu nyaman...

(BERSAMBUNG)

NB: Dari diaspora anak jalanan ini, banyak sekali para tekyan generasi awal menemukan kehidupan barunya. Tak sedikit, dari para tekyan itu yang juga berhasil jadi sarjana. Memiliki intelektual dan silogisme yang jauh lebih canggih dari para guru besar. Dalam dunia spiritual, mereka adalah "para pencari" yang tak lelah mencari dan menemu. Tak selalu ketemu memang, karena jalanan selalu saja tak pernah berujung.

Lalu dimana ujungnya? Rumah.

Ya rumah adalah tempat semua manusia untuk pulang. Untuk kembali dalam kehidupan yang "meneng". Sedikit dari mereka ini adalah orang-orang yang bisa menemukan makna "laku" dan "mlaku". Dua teks yang secara fonotik tampak sama, tetapi sama sekali berbeda. Hanya dengan keseimbangan "laku" dan"mlaku" itulah mereka beroleh kebijakan baru, yang barangkali oleh sebagian orang beragama dianggap sesuatu yang "take dan gift". Yang terlalu mudah didapat, karenanya menjelaskan kenapa ia sering jatuh jadi hampa makna.

Walau realitasnya, justru dari pejalan jalanan itulah cara-cara itu bisa ditemukan dengan nilai dasar yang paling hakiki. Tak mudah, tak cepat, tak murah. Anehnya mereka malah sering bisa sampai....

Catatan akhir: Foto suasana jalanan Malioboro lama koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD), c. 2020) diposting seizin pemilik kolektor buku aslinya Eva Mentari Christoph. Buku ini aslinya berjudul Das Land der Tausend Inseln, Jaroslav Novotný - Jirí Marek, Cekoslovakia, 1957 yang diperolehnya dari hobinya hunting buku di pasar-pasar loak di Jerman.

Matur nuwun loh, mbak diajeng...