Tidak jelas mulai kapan kegiatan anak-anak penyelam koin itu dilakukan. Tetapi buku ini adalah buku tertua yang mengisahkan tentang kegiatan itu.
Persinggungan saya dengan anak-anak yang menyelam untuk mengambil koin yang dilemparkan ke laut pertama kali terjadi pada tahun 1969. Pada waktu saya berada di dalam ferry di pelabuhan Ketapang yang akan menuju ke pelabuhan Gilimanuk, Bali, saya melihat ada beberapa anak tengah berenang di laut dan berteriak kepada penumpang untuk membuang koin ke laut.
Begitu koin dilempar dan tercebur di laut, anak-anak itu akan berebutan mengambil koin yang bergilap-gilap di dalam laut yang jernih airnya.
Pada saat itu, saya masih berumur 13 tahun. Saya duduk di kelas VI Sekolah Dasar, dan menjelang Natal saya berlibur ke Bali, atas undangan tante saya yang menjadi dokter di Bali Beach Hotel, Sanur. Dari Jakarta, kami naik kereta api Bima ke Surabaya. Dari Surabaya, kami naik mikro bus Mercedes Benz ”Elteha” ke Bali.
Pada tahun 1969, Bali berbeda dengan sekarang. Pada waktu itu, jika ada anjing yang tidur di tengah-tengah ruas jalan, tidak ada yang berani mengusirnya sehingga mobil yang akan lewat harus menunggu sampai anjing itu pergi dengan sendirinya. Saat akan kembali ke hotel, mobil yang kami naiki, jip Toyota kanvas, menunggu hampir 1 jam, sampai anjing itu menyingkir sendiri.
Tapi, kali ini saya ingin memusatkan perhatian pada anak-anak penyelam koin. Sejak pertemuan pertama pada tahun 1969 itu, saya berulang kali bersinggungan dengan anak-anak penyelam koin di pelabuhan Ketapang. Yang terakhir adalah tahun 2010, pada saat saya melakukan test drive Hyundai H-1 Jawa-Bali Overland tahap II yang sekaligus menapaktilasi rute lomba nonstop Batavia-Surabaya tahun 1911.
Pada saat itu, yang terpikir dari atas kabin ferry itu adalah betapa kegiatan anak-anak penyelam koin itu adalah kegiatan yang dilakukan turun-temurun selama 41 tahun lebih (1969-2010). Luar biasa…
Dan, kegiatan anak-anak penyelam koin itu tidak hanya berlangsung di pelabuhan Ketapang, tetapi juga di pelabuhan-pelabuhan lain. Namun, yang saya saksikan langsung antara lain di pelabuhan Ketapang dan Gilimanuk.
Dalam benak saya, mungkin kegiatan anak-anak penyelam koin itu dimulai pada tahun 1960-an. Sebab itu, betapa saya terkejut ketika membaca buku ”Kisah Perjalanan Pangeran Soeparto, Jawa-Belanda, 14 Juni-17 Juli 1913", yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada tahun 2017. Ternyata, anak-anak penyelam koin sudah ada pada tahun 1913, tepatnya 108 tahun yang lalu.
Pangeran Soeparto, atau Raden Mas Haryo Soerjosoeparto (Mangkunegoro VII) menjelang keberangkatannya ke Belanda di pelabuhan Tanjung Priok mengisahkan,
”Anak-anak lelaki yang telanjang bulat berenang-renang di dekat kapal. Mereka berteriak agar orang melemparkan uang kecil ke laut. Setiap ada koin yang dilemparkan dari kapal, anak-anak itu secepat kilat menyelam dan berusaha meraih koin -koin yang tenggelam perlahan karena dilemparkan ke dalam air laut yang asin… Tak jarang, koin yang dilemparkan sudah tertangkap sebelum benda itu menyentuh permukaan air. Lebih banyak koin yang terjatuh ke dalam air; anak-anak itu menyelam, berbenturan kepala dan berebut meraih mata uang itu.”
”Penumpang-penumpasng tetap tinggal di kapal menghibur diri dengan tontonan ini. Orang yang berdiri di dermaga pun menonton dan ikut senang, terutama bila salah seorang anak menari-nari gembira karena berhasil meraih koin yang diincarnya.”
Tidak jelas mulai kapan kegiatan anak-anak penyelam koin itu dilakukan. Tetapi buku ini adalah buku tertua yang mengisahkan tentang kegiatan itu. Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Jawa pada tahun 1916, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada tahun 1970-an.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews