Cerita tentang Jembatan Merah

Sedemikian populer, hingga di Jatinangor jembatan Kereta Api-pun dibangun dengan model demikian. Walau tentu saja mengandung unsur besi, tapi sangat kurang ditonjolkan.

Sabtu, 27 Februari 2021 | 21:48 WIB
0
275
Cerita tentang Jembatan Merah
Surabaya koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD) circa 1890 (Foto: Dok. pribadi)

Setidaknya, terdapat tiga kota yang memiliki Jembatan Merah sebagai ikon kotanya: Surabaya, Bogor, dan Yogyakarta. Tentu, pemirsa bisa menambahkan yang lain, di kota lain. Misalnya yang terbaru Jembatan Yotefa di Papua. Namun hanya di ketiga kota tersebut, saya mengenalnya dengan baik. Pun ketiga jembatan tersebut memiliki nilai heritage, karena telah berusia lebih dari 100 tahun. Dan masing-masing pernah dan sebagian masih menjadi icon di masing-masing kota.

Jembatan Merah di Surabaya pada masa lalu disebut Roode Brug, melintas di atas Kali Mas, yang menjadi simbol penghubung tiga kawasan non-pribumi (European, Pecinan, dan Kampung Arab). Di bagian barat daerahnya masyarakat Eropa. Bagian timur daerahnya Asia, dengan pembagian wilayah selatan Kalimas itu kawasan Pecinan dan wilayah utara itu kawasan Kampung Arab atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Kampung Ampel. Pembatasnya adalah Hendelstraat atau yang hingga hari ini masyarakat lokal menyebut sebagai Kembang Jepun.

Di Bogor tidak persis, tapi Jembatan Merah juga menjadi simbol penghubung antara kawasan pemerintah dan komersial. Jembatan yang didesain oleh seorang arsitek Gerrit Willem Casimir van Motmann, keluarga carzy rich di Buitenzorg. Dibangun tahun 1881, berdiri di atas Sungai Cikapancilan, yang uniknya bukanlah sungai dalam arti alami. Ia adalah sebuah kanal irigasi yang dibuat untuk mengairi sawah di sekitarnya, yang dibuat di masa Kanjeng Aria Natangegara (seorang demang di Kampoeng Baroe) pada tahun 1776.

Tujuan pembuatan sungai ini antara lain untuk mengaliri persawahan di utara Dayeuh Bogor seperti Kebon Pedes, Cilebut sampai Bojong Gede, Depok dan berakhir di Sungai Ciliwung.

Jembatan Merah di kota Jogja disebut Kreteg Abang, melintas di atas Kali Code ini menjadi jembatan modern pertama yang dibangun di kota ini. Hanya di Jogja sedikit lebih kompleks, karena di luar menyangkut ketiga etnis non-pri tersebut. Walau sangat minoritas, ndilalah ada Kampung Sayidan yang menjadi kawasan Arab di ujung Barat jembatan. Berbatasan dengan kawasan Pecinan di Gondomanan di selatan dan Ketandan di sisi Utara.

Jembatan ini pada dasarnya adalah penghubung utama antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman. Yang mengembang jadi hub antara Pasar Beringharjo dan Pasar Sentul. Antara Gerakan keagamaan Muhammadiyah dengan non-kooperatif Taman Siswa. Antara kawasan Loji Belanda dengan Perumahan Bintaran. Dan yang jelas antara wong kulon kali dengan wetan kali...

Pertanyaan dasarnya, kenapa disebut Jembatan Merah? Atau minimal diwarnai merah? Ternyata alasannya tidak selalu sama.

Walau sebagai sebuah "brand" atau "labeling" bisa saja kita langsung mengarah secara teknis jembatan adalah kalau dalam istilah populer hari ini disebut "hub" (penghubung). Itu senada atau memiliki spirit sebagai "urat nadi" atau jalan darah yang identik dengan warna merah.

Darah merah adalah simbol kehidupan. Sampai saat itu, orang mengenal bahwa darah selalu merah. Bahkan adagium ini makin dipopulerkan pasukan Cakrabirawa dalam peristiwa politik G 30 S PKI PKI: darah itu merah, Jendral....

Hanya itu? Tidak!

Terdapat persamaan pokok, dari ketiga jembatan merah di ketiga kota tersebut bahwa tak jauh dari situs tersebut. Terdapat Klenteng yang identik dengan kawasan Pecinan. Dimana bagi rumpun tersebut, warna merah identik dengan "kemakmuran". Artinya jembatan adalah simbol atau minimal jalan menuju kemakmuran bersama. Hanya itu?

Walau pun sama-sama merah, ternyata material pokok awal untuk membangun ketiga jembatan tersebut berbeda. Di Surabaya, pembatas pinggir jembatan terbuat dari besi baja yang dicat merah.

Di Bogor, justru nyaris konstruksi awal jembatan ini terbuat dari bahan batu bata merah. Dengan konstruksi fondasi model cincin, yang memang sangat populer pada masa itu.

Sedemikian populer, hingga di Jatinangor jembatan Kereta Api-pun dibangun dengan model demikian. Walau tentu saja mengandung unsur besi, tapi sangat kurang ditonjolkan.

Sedangkan di Jogja justru pada awalnya, nyaris seluruh konstruksi awalnya adalah kayu.
Perbedaan lainnya, hanya di Jogja tak pernah didengung2kan arti penting Jembatan Merah ini sebagai bagian kisah heroik revolusi kemerdekaan. Walau banyak peristiwa penting, pada masa Clash 1 dan 2, tak banyak cerita dikaitkan dengan jembatan ini.

Beda di Bogor, jembatan ini sering dikenal sebagai simbol perlawanan BKR melawan pasukan Belanda. Hingga tak jauh dari jembatan ini, ada jalan yang dinamai dengan salah satu tentara yang gugur. Kapten Muslihat.

Apalagi Jembatan Merah di Surabaya, yang terkait langsung dengan pertempuran Surabaya. Sebuah peristiwa heroik yang diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sedemikian banyak putra bangsa yang gugur, hingga mengilhami Gesang, Sang Buaya Keroncong menggubah sebuah lagu yang bahkan tetap populer dan terasa tetap melodius hingga hari ini.

biar jembatan merah
andainya patah, akupun bersumpah
akan kunanti dia disini
bertemu lagi

Apakah ketiga jembatannya masih berwarna merah?

Hanya di Surabaya, walau berbagai partai politik silih berganti menjadi penguasa: warnanya tetap merah. Di Bogor berubah-ubah warnanya, sesuai musimnya. Siapa yang menjadi partai penguasa kota: kuning, hijau, biru (sic). Di Jogja, bahkan namanya hanya tersisa pada jembatan kecil penghubung antar kampung. Itu pun hari ini tak lagi merah...

***