Mereka juga perlu memahami, bagaimana hukum tersebut ditafsirkan. Negara hukum demokratis mengandaikan adanya warga yang melek hukum, sekaligus mampu berpikir kritis.
Negara hukum. Inilah salah satu temuan terpenting filsafat politik di dalam sejarah manusia. Kekuasaan tidak lagi bergantung pada satu orang tertentu. Tidak ada Tuhan ataupun langit sebagai dasar kekuasaan.
Kekuasaan melekat pada hukum yang disepakati bersama. Inilah ide dasar dari supremasi hukum. Hukum pun tidak mutlak. Ia bisa diubah, seturut dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, asal tidak melanggar prinsip-prinsip dasarnya.
Konsep Negara Hukum
Salah satu kesepakatan politik yang penting adalah keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Artinya, bukan presiden atau pemerintah yang berkuasa, tetapi hukum yang telah ditetapkan bersama. Hukum menjadi dasar sekaligus panduan kehidupan bersama. Hanya dengan berpijak pada hukum yang adil, perdamaian yang sesungguhnya bisa terwujud.
Secara umum, ada empat pilar dasar dari negara hukum. Yang pertama adalah akuntabilitas. Artinya, semua kebijakan pemerintah dan swasta, yang terkait dengan kepentingan bersama, haruslah bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum yang berlaku. Di dalam ruang bersama, agama pun harus mematuhi hukum yang berlaku.
Dua, negara hukum berpijak pada hukum yang adil. Hukum tersebut harus dibuat dengan proses yang jelas, terbuka dan adil dari semua pihak yang terkait. Hukum tersebut juga harus diterapkan secara konsisten, tanpa pandang bulu. Setiap orang berhak untuk mendapatkan keamanan, dan diwujudkan hak-hak asasinya sebagai manusia.
Tiga, negara hukum juga harus berpijak pada pemerintahan yang terbuka. Artinya, segala penerapan hukum haruslah terbuka. Ia juga harus adil dan efisien. Tidak boleh ada penciptaan dan penerapan hukum yang rahasia, sehingga menyembunyikan ketidakadilan yang terjadi.
Yang terakhir adalah keadilan. Di dalam negara hukum, keadilan adalah hal yang tertinggi. Para penegak hukum harus memberikan keadilan pada rakyatnya semaksimal mungkin. Keadilan adalah barang publik yang harus tersedia untuk semua, tanpa kecuali.
Indonesia, Pancasila dan Konstitusi
Indonesia adalah negara dengan banyak bangsa. Ini yang rupanya terlupakan. Kita mengira, Indonesia hanyalah milik mayoritas semata, baik mayoritas suku maupun agama. Pemahaman ini amat sesat, dan merusak.
Indonesia juga adalah produk hukum. Ia adalah kesepakatan dari ratusan suku dan kebudayaan yang ada untuk bersatu. Dasarnya adalah kesamaan nasib dan tujuan. Pancasila dan Konstitusi adalah yang mengikat ratusan suku dan budaya tersebut.
Maka, Pancasila dan Konstitusi adalah sebuah kesepakatan yang mengikat. Ia lahir dari kerelaan ratusan suku dan budaya untuk bersatu padu. Di era internasionalisasi dan globalisasi, bersatu lebih kuat daripada tercerai berai. Inilah mimpi besar para pendiri bangsa kita.
Dengan berjalannya waktu, mimpi besar ini berubah menjadi mimpi buruk. Pancasila dan Konstitusi justru menjadi alat penjajah. Perbedaan cara hidup dan budaya dimusnahkan atas nama Pancasila dan Konstitusi. Sila terpenting, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, melorot menjadi keadilan bagi para orang kaya.
Tantangan Hukum di Indonesia
Tentang keadaan politik dan hukum di Indonesia, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, di Indonesia, hukum menjadi hasil kesepakatan para orang kaya. Mereka ingin memperkaya diri maupun kelompok mereka. Hukum pun bukan menjadi produk demokrasi, tetapi produk oligarki yang tidak adil.
Kepentingan rakyat diabaikan. Permasalahan terkait UU Cipta Kerja hanya satu contoh kecil dari masalah yang lebih mendasar. Di Indonesia, hukum tidak mencerminkan keadilan dan kepentingan rakyat. Hukum adalah pelayan para orang kaya semata.
Dua, di Indonesia, hukum bermutu rendah. Banyak hal masih mengambil dari warisan cara berpikir Kolonial Belanda. Epistemologi dari hukum tidak dikembangkan sejalan dengan perubahan yang terjadi. Akhirnya, banyak produk hukum yang justru menghambat kehidupan dan kemajuan masyarakat luas.
Tiga, kekuatan hukum amat tergantung pada kekuatan penerapannya. Para penegak hukum di Indonesia juga masih belum bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Semua perkara butuh uang pelicin. Tanpa itu, tak akan ada kemajuan, apalagi keadilan, untuk korban.
Empat, kekuatan hukum juga tergantung pada tafsirannya. Untuk bisa menafsir dengan tepat, orang butuh logika, nalar sehat dan nurani. Inilah yang kurang di Indonesia. Para penegak hukum masih secara harafiah dan miskin logika di dalam menafsirkan hukum yang ada, sehingga peluang ketidakadilan amatlah besar.
Darurat Negara Hukum
Jelaslah, Indonesia memerlukan kehadiran negara hukum yang kokoh. Kita mengalami keadaan darurat negara hukum. Ada tiga hal yang kiranya bisa segera dilakukan. Pertama, kita harus menjamin, bahwa partai politik dan parlemen diisi dengan orang-orang bermutu tinggi.
Artinya, mereka harus berpijak pada Pancasila dan konstitusi. Mereka tidak boleh main mata dengan radikalisme agama. Mereka juga tidak boleh main mata dengan pengusaha korup. Jika ada partai yang memiliki kader semacam itu, ia tidak boleh dipilih, sehingga partai politik tersebut, pada akhirnya, bisa lenyap secara alami.
Dua, sistem kerja para penegak hukum juga harus mengalami perombakan total. Jangan sampai para penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum. Jangan sampai para penegak hukum menjadi pelaku ketidakadilan baru. Ini sudah lama dirasakan oleh rakyat Indonesia, terutama mereka yang miskin dan lemah.
Tiga, masyarakat luas juga perlu untuk memahami hukum yang ada. Mereka perlu memahami proses pembuatan hukum. Mereka juga perlu memahami, bagaimana hukum tersebut ditafsirkan. Negara hukum demokratis mengandaikan adanya warga yang melek hukum, sekaligus mampu berpikir kritis.
Tiga hal ini kiranya bisa mendekatkan Indonesia pada cita-cita negara hukum. Masyarakat yang adil dan makmur pun bisa mulai tercipta. Ini merupakan tantangan terbesar sekaligus terpenting bagi Indonesia di abad 21 ini. Apakah kita bisa melampauinya? Saya dan anda yang bisa menjawabnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews