Memahami Estetika Foto Jurnalistik

Demo yang biasanya tampil “menyeramkan”, justru tampil indah. Foto ini juga menjadi sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu.

Senin, 19 Oktober 2020 | 22:15 WIB
0
357
Memahami Estetika Foto Jurnalistik
Bola voli puteri (Foto: Julian Sihombing)

Beberapa waktu lalu rubrik KLIK telah membahas soal etika dalam foto jurnalistik. Kali ini yang akan kita bahas adalah estetika, atau masalah keindahan visual sebuah foto. Almarhum Kartono Ryadi, redaktur fotografi Kompas 1980-1996 dan 2000-2003, mengatakan bahwa foto jurnalistik berhak dan wajib tampil indah.

Kartono Ryadi yang biasa disapa KR ini menegaskan bahwa foto yang biasa-biasa saja tidaklah menarik orang untuk menyerap informasinya. “Koran tidak cuma jualan informasi. Kalau penampilan sebuah koran tidak menarik, orang tidak akan tertarik membaca atau membelinya,” tambah KR kalau memberi pembekalan kepada fotografer baru Kompas.

Lebih jauh, KR pernah mengatakan ini, ”Kalau memotret usahakan menjauhi kameraman televisi. Jangan sampai fotomu cuma versi diam dari adegan yang sudah disaksikan orang di televisi.”

Berpikir Beda

Pedoman yang diberikan almarhum KR sebenarnya masalah estetika. Seorang jurnalis foto harus selalu berpikir untuk menghasilkan foto menarik, berbeda dengan karya fotografer lain yang memotret acara yang sama. Bayangkan kalau semua koran memasang foto yang mirip. Sangat membosankan.

Foto Candi Borobudur yang dipotret dari Puthuk Setumbu, bisa dikatakan dipopuperkan Harian Kompas setelah dimuat sebagai headline pada 2 Januari 2004. Sebelumnya, Candi Borobudur umumnya hanya dipotret dari tempat terdekat.

Setelah pemuatan itu, sangat banyak telepon datang ke redaksi menanyakan tempat pemotretan yang kini makin populer setelah muncul di film “Ada Apa dengan Cinta 2”.

Demikian pula suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok pada 2003 pasca penerangan AS ke Timur Tengah pada Perang Teluk 2. Pemotretan dengan sudut rendah dengan latar belakang matahari, menghasilkan foto yang tidak sekadar tampak itu suasana bongkar muat.

Akan halnya foto pertandingan voli yang dipotret dari atas di Istora, Senayan, sesungguhnya tidak selalu bisa dilakukan karena tergantung adanya tangga yang tersedia. Tangga hanya tersedia biasanya setelah terjadi proses perawatan, dan hanya fotografer yang jeli yang memanfaatkannya.

Almarhum Julian Sihombing telah memakai tangga itu sejak awal tahun 90-an, terutama untuk memotret pertandingan bulutangkis.

Tak bisa dilupakan suasana demo mahasiswa pada peristiwa Mei 1998 karya Eddy Hasby yang memakai teknik backlight. Demo yang biasanya tampil “menyeramkan”, justru tampil indah. Foto ini juga menjadi sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu.

***