Tentang "Barang Dagangan" Bernama Poligami

Praktik dagang poligami sungguh keterlaluan banalnya. Jauh panggang dari api dengan semangat luhur Islam rahmatan lil alamin. Apalagi bila dipahamimunculnya justru di masa pandemik.

Minggu, 21 Juni 2020 | 06:56 WIB
1
490
Tentang "Barang Dagangan" Bernama Poligami
Ilustrasi poligami (Foto: infosurabaya.id)

Hari ini membicarakan (atau malah menuliskan) hal-hal yang berbau sejenis poligami, itu bisa diidentikkan atau minimal dituduh sebagai "anti Islam". Perihal sejenis juga berlaku untuk banyak topik lain seperti jilbab, niqab, atau yang barangkali paling aneh orang shalat (sendirian atau berjamaah) di jalanan. Zaman absurd di mana demokrasi atau kebebasan berpendapat juga selalu harus dianggap berjalan tidak seimbang atas nama "menjaga perasaan mayoritas" yang bebas berbicara apa saja dan berperilaku semau-mau mereka.

Artinya jika kita minoritas, selain harus siap dipersekusi atas dasar alasan apa pun juga harus bersedia bersikap tenggang rasa. Tidak boleh menyakiti, tapi harus siap disakiti. Itu tampaknya akan menjadi hukum yang semakin lumrah di zaman serba boleh, sekaligus tidak boleh ini!

Biarpun "minoritas dalam mayoritas", tapi karena "mayoritas dalam mayoritasnya" diam. Maka suara minoritas dalam mayoritas-lah yang harus didengar, terus diberitakan, dan tidak boleh dikritik. Apalagi dianggap salah. Pertanyaannya: Apakah Ini (atau itu ya) dilema Islam kontemporer di hari ini?

Tidak! Itulah dilema Islam sepanjang sejarah negeri ini. Mari kita belajar sejarah bersama...

Sesudah Indonesia merdeka (atau lebih tepat saya sebut "memaksakan diri merdeka"). Dalam perdebatan lain, malah ada yang beranggapan "kemerdekaan Indonesia adalah sebuah hadiah". Anehnya hadiah kok dari penjajah yang kalah. Logikanya akan mudah patah, karena akan menjadi sulit diterima oleh negara pemenang. Masa revolusi yang berlarut-larut bahkan tak pernah selesai, mungkin hingga hari ini.

Masa empat tahun sesudahnya, bahkan lebih panjang lagi hingga nyaris lima belas tahun. Apa yang disebut adalah "menyatukan" kembali daerah-daerah atau lebih tepat gagasan yang nyaris terpecah belah. Hal tersebut kelak di hari ini, muncul istilah NKRI Harga Mati. Ya, karena di masa lalu NKRI memang diperoleh dengan perjuangan yang tidak ringan. Di masa yang fragile (rapuh), tidak aman, tidak mapan, tanpa stabilitas juga pertumbuhan, dengan gejolak yang tak pernah padam.

Pada situasi itulah, salah satu isu yang paling menonjol adalah poligami.....

Dan sialnya, representasi yang paling mencolok mata justru dicontohkan oleh presidennya sendiri: Soekarno! Tidak sekedar sekali, tapi kawin-cerai sebanyak sembilan kali. Sebagian para pembela dan pemujanya, selalu beragumentasi bahwa kita harus (mau) memahami betapa beratnya sikon yang harus dihadapi Sukarno.

Tak hanya masalah internal dengan bangsanya sendiri, juga dengan masalah eksternal dengan sikapnya yang dianggap sebagai garda paling depan anti imperialis dan kolonialis. Artinya "perempuan" dianggap sebagai penyeimbang dalam hidup Sukarno. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, harus diterima sebagai suatu keniscayaan.

Tapi apakah sikap dan perilaku itu didiamkan saja oleh publik? Tidak!

Saya mencatat pada masa itu, banyak organisasi wanita yang menentangnya. Namun tentu saja yang paling keras adalah Gerwani, sebagai salah satu organisasi underbouw PKI. Alasan Gerwani menolak poligami karena di dalamnya mengandung unsur kawin paksa dan kekerasan seksual.

Argumentasi kawin paksa selalu berujung masalah sosial-ekonomi. Ketidakstabilan harus dikoreksi dengan sedikit stabilitas melalui pansos. Sedangkan alasan kekerasan seksual sebagaimana lazimnya, dalam sebagian besar kasus poligami melulu hanya bermanfaat "menyembuhkan" sakit para lelaki yang memiliki hasrat seksual berlebih. Berkat kampanye-nya ini, pada masanya Gerwani menjadi organisasi wanita terkuat secara politik! Bahkan terbesar dari jumlah pengikutnya.

Jadi bila hari-hari ini, walau PKI telah lama dibubarkan, dan dilarang, tetapi tetaplah ia dijadikan hantu. Sejenis shadow boxing, terus diantemi walau sekedar bayang-bayang masa lalunya.

Adalah sangat wajar bagi kelompok paranoia itu masih dianggap sebagai ancaman. Silogismenya jadi sederhana (dan harusnya gampang saja dipahami) bahwa siapa yang menentang poligami dengan mudah akan dicap sebagai anti-Islam dan pewaris PKI! Atau PKI gaya baru atau bibit baru atau apa saja. Pokoknya harus ada stigma PKI-nya...

Barangkali hal inilah yang terjadi. Nyaris di setiap saat, selalu bermunculan promosi ajakan untuk melakukan "praktek poligami". Sebagian besar tentu dengan bisik-bisik dan jalan tertutup. Namun yang menonjol, sudah sangat terbuka bahkan dengan ini yang paling bajingan. Dengan kurus singkat terbuka dengan biaya yang walau sudah disikon tetap saja sangat mahal?

Praktik dagang yang menurut saya sungguh keterlaluan banalnya. Jauh panggang dari api dengan semangat luhur Islam rahmatan lil alamin. Apalagi bila dipahami bahwa munculnya justru di masa pandemik global Covid-19. Kok tega dan tidak mau ya.

Tentu saya tidak sedang mempermasalahkan tentang diperbolehkannya poligami dalam Islam bagi mereka yang mampu dan dengan syarat yang ketat. Tapi bila itu "diperdagangkan, didiklatkan, lalu diberi short-cut panduan". Diberi ilusi-ilusi memudahkan, diberi mimpi-mimpi memabokkan. Hingga muncul jargon baru aneh: "suamimu, surgamu". Dan imbalan bagi perempuan yang mau dimadu adalah menjadi bidadari surga. Yang kelak akan kembali menjadi pelayan bagi......

Ah sudahlah! Pancen ...

Sekali lagi, bila belajar dari sejarah. Minimal sejarah Indonesia modern. Isu poligami itu bukan melulu isu agama, tetapi terutama sosial-politik. Poligami (juga radikalisme) bisa tumbuh subur dalam masyarakat yang sakit, timpang secara ekonomi dan keadilan hukum masih merupakan mimpi.

Sebetapa pun era reformasi ini menjanjikan banyak hal baik, tapi sesungguhnya adalah masa instabilitas yang berkepanjangan. Kalau tidak mau dikatakan hanya pengulangan masa gaduh dan rapuh Orde Lama.

Kemana semua ini berujung? Sebagaimana juga dengan isu merebaknya wahabisme dan kadrunisasi. Semua didorong untuk merindukan masa-masa stabil seperti Orde Baru. Masa di mana poligami nyaris mati kutu, agama tidak jadi persoalan harian yang bikin sesak di dada. Korupsi boleh ada, asal semua berharga murah. Zaman normal, bukan new-normal yang aneh ini, yang kita dipaksa untuk menerimanya....

Dan siapa dibelakang itu semua? Kan sudah jelas......

***