Kultum Tarawih [19]: Al-I'tiraf

Kita bertaubat atas segala dosa kita, dan menyadari bahwa hanya Allah yang Maha Pengampun, yang bisa mengampuni dosa-dosa kita.

Jumat, 15 Mei 2020 | 11:10 WIB
0
296
Kultum Tarawih [19]: Al-I'tiraf
Ilustrasi neraka-surga (Foto: Hijaz.id)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih mengizinkan kita untuk menjalani bulan Ramadan hingga kita bisa sampai pada malam kesembilanbelas. Semoga semangat ibadah dan takwa kita tetap terjaga dan terus bertambah, dan semoga Allah berikan kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, juga agar kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.

Saat jeda antara adzan dan iqamah, banyak masjid-masjid di Indonesia mengisinya dengan puji-pujian. Puji-pujian ini bisa berupa salawat (salawat Badar, salawat Asyghil, salawat Nariyah, dan semacamnya), atau syiir.

Salah satu syiir yang terkenal dan sering dilantunkan dalam puji-pujian adalah Syiir Al-I’tiraf, yang diciptakan oleh Abu Nawas.

Syiir ini sebenarnya terdiri dari beberapa bait, namun yang sering dilantunkan adalah bait pertama sebagai berikut:

Ilahi lastu lil firdausi ahlan (Wahai Tuhanku, aku bukanlah penghuni surga)

Wa la aqwa ‘alan naril jahimi (Dan aku tidak kuat berada di dalam neraka Jahim)

Fa habli taubatan waghfir zunubi (Maka terimalah taubatku, dan ampunilah dosaku)

Fa innaka ghafirudz dzanbil azhimi (Sesungguhnya Engkau Maha Mengampuni dosa-dosa yang besar)

Ada yang menganggap bahwa syiir ini dilantunkan oleh orang yang tidak jelas maunya apa. Masuk surga tidak pantas, masuk neraka juga tidak mau, terus maunya apa? Padahal jika kita cermati, makna di balik syiir ini sangat mengena.

Pada baris pertama, kita menyadari bahwa untuk menjadi penghuni surga itu syaratnya berat. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda bahwa yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga adalah rahmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Amalan seseorang, tidak bisa memasukkannya ke surga dan menyelamatkannya dari neraka. Bahkan Rasulullah sendiri meskipun dijamin atas surga, itu semata-mata karena rahmat Allah, bukan karena amalan beliau.

Meskipun kita melakukan salat, puasa, zakat, haji, bersedekah jariyah, dan seabrek amalan baik lainnya, tak pantas kita merasa bahwa amalan ini akan membawa kita ke dalam surga. Apabila Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memberi rahmat-Nya pada kita, amalan itu tidak akan bisa menyelamatkan kita.

Itulah mengapa sesuai kultum kemarin, kita bertanya pada diri kita, sudahkah niat beribadah kita ikhlas semata karena Allah, atau karena mengharap surga? Karena amalan baik tidak sertamerta menjamin kita menjadi penghuni surga.

Pada baris kedua, kita menyadari bahwa neraka yang diciptakan Allah merupakan tempat yang sangat buruk. Kita tidak akan tahan berada di sana, padahal kita adalah manusia yang senantiasa berbuat dosa. 

Maka kemudian pada baris ketiga dan keempat syiir ini, kita memohon kepada Allah agar pertaubatan kita diterima, dan agar Allah mengampuni dosa-dosa kita. Kita bertaubat atas segala dosa kita, dan menyadari bahwa hanya Allah yang Maha Pengampun, yang bisa mengampuni dosa-dosa kita. Hanya Allah yang kuasa memberikan rahmat-Nya agar kita diampuni, diselamatkan, dan dimasukkan ke dalam surga-Nya.

Semoga Allah memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada kita, dan agar kita menjadi orang-orang yang selamat.

Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

***