Multitafsir Istilah "Lockdown"

Kebijakan sebuah negara perlu mempertimbangkan banyak hal, terutama kesiapan logistik, budaya dan karakter masyarakat, tingkat kedisiplinan, dan lain-lain.

Kamis, 2 April 2020 | 16:41 WIB
0
495
Multitafsir Istilah "Lockdown"
ilustrasi:kumparan.com

Jangankan istilah lockdown yang baru dua bulan populer, kitab suci yang bahasanya diturunkan dari langit sejak masa kenabian 1500 tahun yang lalu pun tak henti-hentinya melahirkan multitafsir di kalangan umat. Karena itu diperlukan kedewasaan bersikap terhadap potensi multitafsir bagi semua orang, terutama para tokoh masyarakat, pemerintah dan wakil rakyat yang setiap kata dan perilakunya menjadi panutan masyarakat umum.

Menurut en.wikipedia.org definisi lockdown adalah : an emergency protocol that usually prevents people or information from leaving an area. Terjemahannya kurang lebih adalah cara atau serangkaian aturan yang biasanya dipakai untuk mencegah orang meninggalkan suatu area disebabkan kondisi darurat.

Sementara, Profesor Hukum Kesehatan dari Washington College of Law Lindsay Wiley, seperti dikutip Vox, Selasa (3/3/2020), mengatakan, istilah lockdown atau penguncian bukan istilah teknis yang digunakan oleh pejabat kesehatan masyarakat atau pengacara. Lockdown dapat digunakan untuk merujuk pada apa saja dari karantina suatu wilayah.

Definisi yang mirip dengan en.wikipedia.org adalah dari kamus Cambridgelockdown adalah sebuah situasi di mana orang tidak diperbolehkan untuk masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau kawasan dengan bebas karena alasan sesuatu yang darurat.

Meskipun lockdown bukan istilah teknis dalam dunia kesehatan, namun mewabahnya virus Corona saat ini menjadikan istilah tersebut paling pas diserap sebagai nama protokol untuk mencegah penyebaran virus Corona.

Namun dalam prakteknya, setiap negara mempunyai ragam penafsiran dan tidak semua negara bisa menerapkan lockdown dengan cara yang sama.

Kesamaannya hanya pada point larangan keluar rumah dan keluar wilayah, penutupan perkantoran dan toko kecuali toko bahan pangan, toko kelontong dan apotek. Sementara perbedaannya, kalau di China lockdown diterapkan secara total. Setiap orang tidak boleh sama sekali keluar rumah. Untuk memenuhi kebutuhan makanan dan obat-obatan, dibuat agenda terjadwal dan tidak setiap anggota keluarga bisa mewakili untuk keluar rumah.

Transportasi umum berhenti total. Kendaraan pribadi juga tidak boleh digunakan. Sementara di Italia dan negara-negara lain tidak dilakukan total lockdown sebagaimana di China sehingga transportasi umum masih boleh beroperasi tetapi sangat dibatasi.

Meskipun beberapa negara sudah menjalankan lockdown sebagai protokol yang sama dalam menanggulangi penyebaran wabah Corona, namun tak semua berjalan mulus dan sukses dengan hasil yang sama. Bahkan Donald Trumph akhirnya membatalkan kebijakan lockdown setelah Gubernur New York, Andrew Cuomo dan Gubernur New Jersey, Ned Lamont mengatakan bahwa langkah menerapkan lockdown akan memicu kepanikan dan menyebabkan kehancuran lebih lanjut dalam hal keuangan.

Trump membatalkan lockdown dan menggantinya dengan ‘travel advisory‘ alias imbauan perjalanan untuk New York.

Bagaimana di negara kita?

Pada tanggal 1 April 2020, telah diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Menurut Presiden, PSBB berbeda dengan lockdown, karena kebijakan ini tidak melarang orang keluar rumah, tetapi dihimbau untuk tidak keluar rumah jika tidak ada keperluan yang sangat penting, misalnya bekerja. Termasuk keperluan sangat penting lainnya adalah membeli kebutuhan primer seperti bahan pangan dan obat-obatan.

Kepada perkantoran juga dikeluarkan peraturan untuk meliburkan karyawan dengan tetap memberikan 90% gaji untuk karyawan tetap dan yang masih bisa melakukan Work From Home. Kebijakan ini memang lebih lunak dibandingkan dengan lockdown, dengan pertimbangan seperti yang disebut oleh Presiden bahwa tidak semua pengalaman negara luar bisa diterapkan begitu saja di negara kita, karena kondisi setiap negara tidak sama.

Apakah solusi ini pasti berhasil? Kita tidak tahu dan hanya bisa berharap semoga saja cara ini berhasil. Bukankah solusi lockdown pun tak semua membawa hasil?

Setiap orang tentu punya pandangan yang berbeda. Itu sah dan wajar. Ahli kesehatan, ahli hukum, ahli ekonomi dan para pakar di bidangnya yang lain boleh memiliki pendapat yang berbeda. Mereka memang fokus sesuai bidangnya. Tetapi seorang kepala negara tidak cukup memiliki satu sudut pandang. Ia berdiri di atas semua itu dan harus memikirkan semuanya.

Karena itulah ada yang menjadi Presiden dan ada yang menjadi ahli di bidangnya. Mereka boleh berbeda, tetapi ketika sudah diputuskan oleh Presiden, kebijakan itu selayaknya dipatuhi. Karena itulah gunanya pemimpin.

Jika penafsiran terhadap sebuah kitab suci atau sabda nabi saja tidak ada yang absolut kebenarannya, apalagi sebuah istilah ciptaan manusia. Karena itu, alangkah indahnya jika para tokoh masyarakat tidak mudah ngambek atau menjustifikasi dengan hal-hal buruk kepada pemegang otoritas apabila solusi lockdown yang masih multitafsir itu tidak dijadikan sebagai pilihan untuk mengatasi wabah pandemic Corona.

Kebijakan sebuah negara perlu mempertimbangkan banyak hal, terutama kesiapan logistik, budaya dan karakter masyarakat, tingkat kedisiplinan, dan lain-lain. Karena jika tidak, bisa terjadi kericuhan dan chaos sebagaimana yang terjadi di India dan Italia.

Saya jadi teringat betapa netizen di negara +62 sangat bebas menafsirkan kata lockdown dengan membuat sebuah video di youtube.  Seorang istri yang menolak ajakan suaminya dengan alasan sedang lockdown. Opo kuwi lockdown? Tanya suaminya. Lock itu kunci, down itu bawah, jawab sang istri. Jadi yang dibawah lagi dikunci. 

Itulah konsekwensi negara demokratis, semua orang bebas berpendapat.

Referensi: 12

***