Dalam kenyataannya, teori soal efek media massa sudah berevolusi. Khalayak bukanlah bebek yang pasif dan lumpuh. Apalagi di Era Internet dan Media Sosial yang interaktif.
Rekan saya, Poltak Hotradero, sarjana Ilmu Komunikasi alumnus Unpad yang kini bekerja di Bursa Efek Indonesia, di serial tweetnya ia membahas laporan Oxford yang dijadikan referensi media dalam menulis soal buzzer atau cybertroops. Silakan dibaca dengan cermat serial tweet sebelum membaca tulisan di bawahnya.
Ia terheran-heran betapa media online terkemuka dan bahkan media cetak serta TV pun memelintir laporan ini, dan tetap curiga bahkan yakin bahwa Istana memelihara cybertroops atau Buzzer. "Ini karena para wartawannya tidak membaca lengkap," tulisnya.
Di acara Satu Meja The Forum KompasTV Rabu 9 Oktober 2019 pun ada dua nara sumber yang yakin bahwa laporan Oxford itu menyebutkan bahwa Pemerintah RI memelihara pasukan Buzzers. Percuma saja Eko Sulistyo (Deputi IV KSP) dan Eko Kunthadi membantah hal ini. Di sini kita melihat fenomena Post-Truth bekerja. Orang lebih memercayai emosi dan persepsinya (yang ngawur) ketimbang fakta.
Pagi ini Harian Kompas di halaman 4 menurunkan rangkuman acara Satu Meja The Forum soal Buzzers. Yang menulis Rini Kustiasih. Saya tak mengenal dia ketika pensiun dari Kompas Desember 2013 lalu.
Dengan gagah ia mengutip soal Propaganda dari pendapat Harold Lasswell, salah satu Bapak Ilmu Komunikasi, tentang Teori Peluru (Bullet Theory) soal begitu kuatnya pengaruh media sementara khalayak begitu tak berdaya. Seharusnya teori Lasswell itu dinamakan "Magic Bullet Theory" bukan "Bullet Theory". Atau disebut juga "Hypodermic Needle Theory". Teori ini sudah jadul, dirumuskan tahun 1927 pasca Perang Dunia I.
Dalam kenyataannya, teori soal efek media massa sudah berevolusi. Khalayak bukanlah bebek yang pasif dan lumpuh. Apalagi di Era Internet dan Media Sosial yang interaktif.
Sayangnya Rini Kustiasih ikut-ikutan bercuriga bahkan mungkin juga meyakini bahwa Pemerintah RI memiliki Buzzers bayaran. Saya tidak yakin ia membaca lengkap laporan Oxford. Padahal Kompas TV sudah menurunkan tabel bahwa Pemerintah RI tidak memelihara pasukan Buzzers.
Eko Sulistyo, Deputi IV KSP sudah menjelaskan bahwa selama ini (terutama pada masa menjelang Pilpres 2019 lalu) terjadi cecaran massif fitnah, ujaran kebencian hingga pembunuhan karakter terhadap Presiden Joko Widodo. Dibilang keturunan PKI, keturunan Tionghoa dan Katolik dll. Jadi wajar jika para relawan media sosial yang pro Jokowi kemudian melakukan Kontra Narasi.
Serampangan
Poltak Hotradero mengungkap sejumlah media online yang memberitakan Laporan Oxford tentang Computational Propaganda dan para Buzzer/Cybertroop di berbagai negara.
Ada media online yang kredibel, ada yang abal-abal. Ternyata sama dan sebangun. Ramai-ramai memframing bahwa Istana Presiden Joko Widodo punya pasukan Buzzer yang busuk.
Akibatnya apa? Ini membentuk Opini Publik. Dan ada wartawan dari media konvensional seperti koran dan majalah ikut-ikutan percaya. Juga menjangkiti para pejuang demokrasi dan keadilan sosial. Apalagi masyarakat awam yang Literasi Digitalnya sebagian masih terbatas.
Lalu ramai-ramailah mereka mendengung: Oh ada Buzzer dan Cybertroop Istana.
Giliran Ninoy Karundeng diperesekusi dan Wiranto ditusuk lalu malah dibully, mereka nyaris semua mingkem. Inilah Standar Ganda yang teramat kasat mata.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews