Laporan Oxford yang Diplintir Media dan SJW

Dalam kenyataannya, teori soal efek media massa sudah berevolusi. Khalayak bukanlah bebek yang pasif dan lumpuh. Apalagi di Era Internet dan Media Sosial yang interaktif.

Jumat, 11 Oktober 2019 | 14:00 WIB
0
660
Laporan Oxford yang Diplintir Media dan SJW
Ilustrasi buzzer (Foto: LINE today)

Rekan saya, Poltak Hotradero, sarjana Ilmu Komunikasi alumnus Unpad yang kini bekerja di Bursa Efek Indonesia, di serial tweetnya ia membahas laporan Oxford yang dijadikan referensi media dalam menulis soal buzzer atau cybertroops. Silakan dibaca dengan cermat serial tweet sebelum membaca tulisan di bawahnya.

Ia terheran-heran betapa media online terkemuka dan bahkan media cetak serta TV pun memelintir laporan ini, dan tetap curiga bahkan yakin bahwa Istana memelihara cybertroops atau Buzzer. "Ini karena para wartawannya tidak membaca lengkap," tulisnya.

Di acara Satu Meja The Forum KompasTV Rabu 9 Oktober 2019 pun ada dua nara sumber yang yakin bahwa laporan Oxford itu menyebutkan bahwa Pemerintah RI memelihara pasukan Buzzers. Percuma saja Eko Sulistyo (Deputi IV KSP) dan Eko Kunthadi membantah hal ini. Di sini kita melihat fenomena Post-Truth bekerja. Orang lebih memercayai emosi dan persepsinya (yang ngawur) ketimbang fakta.

Pagi ini Harian Kompas di halaman 4 menurunkan rangkuman acara Satu Meja The Forum soal Buzzers. Yang menulis Rini Kustiasih. Saya tak mengenal dia ketika pensiun dari Kompas Desember 2013 lalu.

Dengan gagah ia mengutip soal Propaganda dari pendapat Harold Lasswell, salah satu Bapak Ilmu Komunikasi, tentang Teori Peluru (Bullet Theory) soal begitu kuatnya pengaruh media sementara khalayak begitu tak berdaya. Seharusnya teori Lasswell itu dinamakan "Magic Bullet Theory" bukan "Bullet Theory". Atau disebut juga "Hypodermic Needle Theory". Teori ini sudah jadul, dirumuskan tahun 1927 pasca Perang Dunia I.

Dalam kenyataannya, teori soal efek media massa sudah berevolusi. Khalayak bukanlah bebek yang pasif dan lumpuh. Apalagi di Era Internet dan Media Sosial yang interaktif.

Sayangnya Rini Kustiasih ikut-ikutan bercuriga bahkan mungkin juga meyakini bahwa Pemerintah RI memiliki Buzzers bayaran. Saya tidak yakin ia membaca lengkap laporan Oxford. Padahal Kompas TV sudah menurunkan tabel bahwa Pemerintah RI tidak memelihara pasukan Buzzers.

Eko Sulistyo, Deputi IV KSP sudah menjelaskan bahwa selama ini (terutama pada masa menjelang Pilpres 2019 lalu) terjadi cecaran massif fitnah, ujaran kebencian hingga pembunuhan karakter terhadap Presiden Joko Widodo. Dibilang keturunan PKI, keturunan Tionghoa dan Katolik dll. Jadi wajar jika para relawan media sosial yang pro Jokowi kemudian melakukan Kontra Narasi.

Serampangan

Poltak Hotradero mengungkap sejumlah media online yang memberitakan Laporan Oxford tentang Computational Propaganda dan para Buzzer/Cybertroop di berbagai negara.

Ada media online yang kredibel, ada yang abal-abal. Ternyata sama dan sebangun. Ramai-ramai memframing bahwa Istana Presiden Joko Widodo punya pasukan Buzzer yang busuk.

Akibatnya apa? Ini membentuk Opini Publik. Dan ada wartawan dari media konvensional seperti koran dan majalah ikut-ikutan percaya. Juga menjangkiti para pejuang demokrasi dan keadilan sosial. Apalagi masyarakat awam yang Literasi Digitalnya sebagian masih terbatas.

Lalu ramai-ramailah mereka mendengung: Oh ada Buzzer dan Cybertroop Istana.

Giliran Ninoy Karundeng diperesekusi dan Wiranto ditusuk lalu malah dibully, mereka nyaris semua mingkem. Inilah Standar Ganda yang teramat kasat mata.

***