Tak Perlu 'Instant'

Biarlah yang instant itu mie saja, bukan manusia, bukan anda. Semoga sharing renungan sederhana ini bermanfaat.

Jumat, 10 Januari 2020 | 13:52 WIB
0
393
Tak Perlu 'Instant'
ilustr: makassar.terkini.id

Apakah anda suka ke counter-counter fast food? Suka mie instant? Suka makanan kaleng? Suka susu bubuk instant? Tentu saja anda suka. Apalagi produk-produk macam begini kan sedang ngetren dan praktis. Kalau tidak suka, takut diolok-olok kuno, kuper, ndeso, dan sebagainya.

Namun anda mesti sadar bahwa anda sedang hidup di jaman instant, di jaman serba cepat. Mau bukti lagi? Lihat saja: kereta api ekspres, cetak film cepat, photocopy, fax, internet, handphone, komputer dan lain-lain. Semuanya serba semakin cepat. Secara tidak sadar kita terbawa hanyut dalam arus yang cepat, cepat, cepat itu. Faster, faster, faster and faster !.

Situasi jaman ini merasuk ke tulang sumsum kita semua. Jadinya kita mau segalanya cepat selesai. Tidak sabaran. Sehingga kalau kita mendapatkan dalam diri kita there is something wrong, inginnya cepat-cepat menekan tombol delete dan menghapus something wrong tersebut.

Repotnya kalau something wrong itu, misalnya saja: males, sombong, pemarah, pelit-kikir, rakus, suka ngiri, suka memikirkan yang ngeres-ngeres, tidak hilang-hilang, dan terus saja berada di dalam diri anda, bisa-bisa anda menjadi depresi. Lalu berbuat yang tidak-tidak. Padahal manusia bukan robot yang bisa diprogram dengan instant.

Inilah budaya ‘instant’ yang memikat anda dengan pesona “kecepatan cahaya”-nya. Budaya ini bisa memproduksi manusia-manusia yang tidak bisa lagi bersikap wajar sebagai manusia. Manusia yang tidak bisa lagi bermain, menikmati keindahan alam, bersantai, mencinta, dan lain-lain.

Mencinta? Ya, harta milik manusia yang paling berharga inilah yang paling tercabik-cabik oleh budaya instant. Perhatikan saja, ada pengantin baru. Selang beberapa hari, atau minggu, atau bulan, atau paling lama setahun, sudah pada divorce (cerai). Alasannya sederhana saja: “Nggak ada kecocokan lagi di antara kami!”. Inilah cara yang paling baik, menurut orang-orang itu, untuk menyelesaikan masalah dengan cepat dan praktis. Putus.

Cari yang lain yang lebih cocok. Coba beberapa waktu. Kalau tidak cocok lagi, ya putus lagi. Kalau dipikir-pikir orang yang life-style-nya seperti itu perilakunya seperti ayam. Padahal merpati saja bisa setia dengan pasangannya. Rupanya cengkeraman budaya instant sudah merusak cinta manusia yang sejati.

Selanjutnya kalau sudah demikian bagaimana menyikapinya?

Belajarlah untuk tekun. Menurut Merriem Webster Dictionary, tekun (persistent) berarti: tetap “bandel” walaupun banyak kesulitan yang menghadang (stubbornly in spite of difficulties). “Bandel” dalam arti tenang atau sabar, tidak terburu-buru. Tahu kapan harus berlari cepat, kapan harus berlari kecil, kapan harus jalan cepat, kapan harus melenggang atau mengendap-endap. Ada banyak hal dalam hidup ini yang membutuhkan sikap tekun dan tenang.

Seorang panglima perang yang baik tidak akan dengan serta merta (instant) begitu saja mengerahkan semua pasukannya untuk menghantam musuh. Seringkali ia harus berdiam diri, menarik pasukan untuk mundur, dengan tekun mempelajari medan laga dan dengan tenang memetakan serangan terhadap lawan, baru kemudian maju bertempur. Kalau panglima itu maunya cepat-cepat merebut kemenangan (kemenangan instant), bisa dipastikan dia akan kalah dan hancur lebur.

Konfusius, orang bijak dari Tiongkok yang hidup berabad-abad yang lampau menasihati: Suatu waktu orang perlu mundur satu langkah, untuk dapat maju seribu langkah. Nah, anda harus hati-hati terhadap semangat serba cepat dari budaya instant. Bijaksanalah dalam melangkah, kalau tidak mau salah langkah dan terjerumus.

Biarlah yang instant itu mie saja, bukan manusia, bukan anda. Semoga sharing renungan sederhana ini bermanfaat.

***
Solo, Jumat, 10 Januari 2020. 1:44 pm
'salam hangat penuh cinta'
Suko Waspodo
suka idea
antologi puisi suko