Kompas Inside [1] Saya Sedang Ingin Bercerita tentang Koran

Ada banyak nilai positif kehidupan yang ditularkan para petinggi Kompas di dalamnya atau code of conduct ketat yang harus dilaksanakan setiap karyawan dan pemangku kepentingan di dalamnya.

Rabu, 4 September 2019 | 09:03 WIB
0
938
Kompas Inside [1] Saya Sedang Ingin Bercerita tentang Koran
Ilustrasi orang membaca koran (Foto: Medium)

Mukadimah

Dari jauh saya mendengar dan melihat meski samar-samar, kapal besar yang tengah berlayar di lautan itu tengah terguncang oleh ombak dan badai yang bergulung, datang silih berganti.

Sejauh ini para penumpang di dalamnya masih berusaha tenang meski ada beberapa di antaranya sudah mengenakan pelampung dan mendekati sekoci yang siap diturunkan. Sang Nakhoda juga mampu menyembunyikan kekhawatirannya, meski ia gamang kemana kapal besar itu harus diarahkan secara tepat untuk bisa membawa kapal besar itu sampai tujuan. Di depan sang nakhoda, terbentang kabut tebal penghalang-pandang yang sulit ditembus penglihatan.

Boleh jadi terlalu ekstrem saya membayangkan Harian Kompas, tempat di mana separuh nyawa dan keluarga saya titipkan,  sebagai sebuah kapal besar yang sedang oleng. Mungkin tidak demikian, hanya empasan ombak dan badai yang melingkupinya saja yang telah sedemikian mengguncang perjalanannya. Sebagai orang Kompas, meski itu sekadar mantan (bukan pula mantan terindah), saya tetap berdoa, berharap, mendorong, agar kapal besar itu tetap aman menempuh perjalanannya yang penuh gelombang itu.

Saya tidak berpretensi sok tahu. Tak ingin sok tahu menulis tentang keadaan koran yang pernah menyandang sebagai harian terbesar se-Asia Tenggara itu, toh saya bukan orang dalam lagi. Saya sudah di luar, sudah menjadi manusia bebas, tanpa dikangkangi keharusan berkantor setiap hari, turun ke lapangan, mewawancarai banyak narasumber, melobi, dan seterusnya. Sebagai orang yang sudah berada di luar, saya hanya bisa mendengar dan melihat dari kejauhan, tidak tahu persis apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam.

Namun demikian, saya punya keterikatan batin yang kuat dengan kampus kehidupan bernama Kompas ini. Dari hasil memeras tenaga dan pikiran selama 26 tahun, toh saya masih menikmati uang pensiunan yang dibayar secara rutin setiap bulan, persis seperti para pegawai negeri. Uang pensiunan bulanan itulah yang menjamin dapur tetap ngebul di rumah. Sesekali melancong ke luar jika ada sisa uang dapur.

Saat saya bercerita tentang keadaan Kompas dari dalam (Inside Kompas) tentu saja saya sedang bercerita masa lalu, bernostalgia, bahwa saya pernah bergabung dengan perusahaan koran terbesar di Tanah Air ini. Itu menjadi kebanggaan saya.

Kalaupun saya tidak sedang bernostalgia, barangkali saya sedang beropini, sedang berangan-angan, bagaimana seharusnya Kompas bertindak dan berlaku ke depan, meski sekali lagi, sekadar urun saran.

Saya sedang ingin bercerita tentang hal-hal apa saja yang pernah saya alami. Peristiwa remeh-temeh, yang kebanyakan menyangkut interaksi saya dengan Kompas sebagai lembaga, dengan para pejabat di dalamnya, para kolega, para wartawan, dan para karyawan lainnya. Namun demikian, sebisa mungkin untuk tidak menyebut nama jika persoalannya bernuansa negatif atau sesuatu yang mengusik martabat si empunya nama. Saya akan jaga itu.

Ada banyak nilai-nilai positif kehidupan yang ditularkan oleh para petinggi Kompas di dalamnya atau code of conduct ketat yang harus dilaksanakan setiap karyawan dan pemangku kepentingan di dalamnya. Hal-hal positif yang menjadi penyemangat itulah yang akan saya tulis, hal-hal inspiratif dari kesederhanaan hidup seseorang yang kebetulan pernah bernaung di bawah payung Kompas.

Adapun kalau dalam tulisan ini saya menyinggung orang-orang yang punya karakter negatif -dalam arti di luar akhlak baik secara umum- bukan berarti saya sedang "ngomongin", "ngerumpiin" atau "ngata-ngatain" orang itu. Tidak.

Jika itu terpaksa saya ceritakan, tidak lain dan tidak bukan sebagai cermin kehidupan saja, bahwa hal semacam itu harus dihindari, bukan contoh yang baik, sesuatu yang merugikan diri sendiri, dan seterusnya.

Are you ready, Guys!

(Bersambung)

***