Mudikonomic, Rakyat Bahagia dan Investor Gembira

Kenaikan harga tiket yang secara data berakibat pada penurunan jumlah penumpang, berimplikasi positif dengan data kenaikan jumlah pengguna jalur darat.

Minggu, 9 Juni 2019 | 23:43 WIB
0
361
Mudikonomic, Rakyat Bahagia dan Investor Gembira
Pemudik (Foto: Kompas.com)

Mudik atau pulang kampung saat Lebaran sudah menjadi tradisi masif di Indonesia. Biasanya, kota-kota besar adalah titik berangkatnya dan kampung halaman berposisi sebagai tujuan.

Menurut Kementerian Perhubungan, diperkirakan sekitar 23 juta manusia akan bergerak ke kampung halamannya masing-masing pada Lebaran tahun 2019 ini. Angka tersebut diyakini mengalami kenaikan sekitar 1,4 juta dibanding Lebaran tahun lalu.

Pun ada macam-macam moda transportasi yang digunakan, mulai dari bus, kapal laut, kereta api, pesawat terbang, sepeda motor, dan mobil-mobil pribadi.

Semuanya otomatis memperketat arus mobilitas di jalur masing-masing. Akan ada peningkatan signifikan di jalur perjalanan darat, kereta api, kapal laut, walaupun di jalur udara diperkirakan tidak terlalu signifikan karena faktor harga tiket yang menggila.

Lain pula cerita dari Kementerian Pariwisata. Menurut Kemenpar, saat Ramadhan terjadi penurunan wisatawan Nusantara (wisnus) sekitar 50 persen. Biasanya, tercatat rata-rata pergerakan wisnus per bulan sebesar 20 juta, tetapi saat Ramadhan turun menjadi 10 juta.

Namun, memasuki liburan Idul Fitri, jumlah pemudik diperkirakan mencapai 20 juta, sehingga periode Ramadhan-Lebaran bisa terjadi pegerakan 30 juta wisnus atau naik 150 persen.

Lalu terjadi pergerakan uang selama Ramadhan-Lebaran yang diperkirakan Rp 800.000 per orang untuk sekali kunjungan atau diperkirakan ada Rp 200 triliun dari 20 juta pergerakan wisatawan.

Adapun catatan dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk pada H-7 lalu cukup optimistis menggambarkan betapa signifikannya pergerakan transportasi jelang Lebaran.

Ada 57.405 kendaraan yang telah meninggalkan Jakarta melalui Gerbang Tol Cikampek Utama jalur Jakarta-Cikampek pada H-7 Lebaran atau Rabu (29/05/2019) malam.

Menurut Jasa Marga, jumlah tersebut naik sebesar 144,44 persen dari lalu lintas harian (LHR) normal, yakni sebesar 23.484 kendaraan.

Begitu pula dengan tol Trans-Sumatera dari Bakauheni Lampung menuju Kayu Agung Palembang yang sudah beroperasi pada arus mudik Lebaran 2019 ini.

Menurut catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), per hari ada sekitar 4.000 kendaraan yang melintas sejak 29 Mei 2019 lalu di tol Trans-Sumatera. Padahal, biaya bagi pengguna jalan tol tidaklah murah, apalagi jalan tol Trans-Jawa yang Lebaran tahun ini sudah beroperasi. Hasil perhitungan kasar, rata-rata tarif tol Trans-Jawa adalah Rp 2.264,6/km.

Angka tersebut merujuk pada data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU dan Perumahan Rakyat dengan total panjang jalan tol Trans-Jawa 706,09 km. Panjang itu meliputi ruas Jakarta-Cikampek 73 km dan Cikampek-Surabaya (Gempol) 633 km yang jadi inti proyek Trans-Jawa yang mulai dibangun pascakrisis 1998.

Namun, tarif tersebut masih berada di bawah tarif tol Pan Island Expressway (PIE) Singapura, yaitu Rp 2.890,8/km untuk kendaraan berat saat jam sibuk di hari kerja. Itu adalah harga paling tinggi untuk setiap rute jalan tol di ASEAN.

Sekalipun demikian, tarif tersebut menunjukkan bahwa tarif tol di Indonesia, khususnya rata-rata tarif di Trans-Jawa, memang termasuk salah satu yang termahal di ASEAN.

Sebagaimana dikatakan oleh Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, tarif tol Trans-Jawa didasari pada pertimbangan investor. Beberapa pembangunan tol Trans-Jawa dibangun menggunakan dana investor swasta, sehingga penerapan tarif lebih mempertimbangkan pengembalian modal investor tol dari waktu konsesi tol yang diberikan pemerintah, yang biasanya 40 tahun semenjak penandatangan kontrak.

Lihat saja di Filipina, ada Star Tollway yang memiliki tarif Rp 1.831,7 per km. Sementara itu, di Malaysia ada tol North-South Expressway dari pintu masuk Ainsdale hingga Juru yang berjarak 386,5 km, kendaraan paling berat (golongan III) hanya perlu membayar sebesar RM 106,4. Bila dirupiahkan sesuai kurs Rp 3.437,4 per RM pada 8 Februari 2019, nilainya Rp 365.742,6 atau Rp 946,3 per km.

Selain pertimbangan tersebut, besaran tarif tol juga sangat tergantung pada waktu, kapan investasi tol itu berlangsung. Jika tol sudah berumur lama, kemungkinan tarifnya berpotensi lebih rendah karena biaya investasi jauh lebih murah.

Belum lagi faktor lain seperti jenis konstruksi dan medan. Semakin sulit medannya atau banyak menggunakan konstruksi elevated/layang atau terowongan, maka investasinya makin besar, sehingga tarif berpotensi makin tinggi.

Jadi di sinilah kita bisa melihat jelas bahwa Lebaran bukan saja kemeriahan bagi mayoritas penduduk Indonesia beragama Muslim yang juga notabene perantau, tetapi juga kemeriahan luar biasa bagi investor-investor triliunan rupiah yang telah menjadi patner pemerintah dalam mimpi-mimpi infrastruktur, terutama jalan tol.

Namun, kesan kurang baik masih terasa di sini, di mana seolah pemerintah kesulitan dalam mengatasi mahalnya harga tiket pesawat, baik karena faktor duopoli bisnis penerbangan.

Ini terjadi karena memang ada beberapa kenaikan dalam biaya operasi maskapai penerbangan, tapi di sisi lain, pemerintah terkesan sedang mengarahkan sentimen positif kepada bisnis yang melekat pada proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol.

Hal sebaliknya terjadi pada moda transportasi udara. Direktorat Jenderal Perhubungan Kemenhub mencatat, hingga Rabu (29/5/2019) siang atau H-7 Lebaran, terjadi penurunan drastis pada tingkat pergerakan pesawat maupun jumlah penumpang pesawat. Pemantauan dilakukan pada 34 bandara yang sudah melapor ke posko pusat dari total 36 bandara yang seharusnya masuk ke dalam daftar.

Dari data hingga pukul 14.11 WIB H-7, kedatangan pesawat turun 73,43 persen dari 2.264 pada 2018 menjadi 601 penerbangan tahun ini.

Selain itu, terjadi penurunan jumlah penumpang sebanyak 83,01 persen dari 291.704 orang menjadi 49.564 orang.

Keberangkatan pesawat juga turun 66,45 persen dari 2.274 menjadi 763, dengan jumlah penumpang turun 76,94 persen dari 289.522 menjadi 66.766.

Bagi bisnis penerbangan yang hanya dikuasai oleh duopoli raksasa, penurunan jumlah penumpang terasa tidak terlalu mengkhawatirkan jika ada pembiaran kenaikan harga tiket yang luar biasa tinggi.

Di sinilah poin utama persoalannya. Kenaikan harga tiket yang secara data berakibat pada penurunan jumlah penumpang, berimplikasi positif dengan data kenaikan jumlah pengguna jalur darat, terutama pengguna jalan berbayar di Trans-Jawa dan Trans-Sumatera.

Implikasi lainnya, yang masih hangat di telinga kita, kenaikan harga tiket pesawat akan memungkinkan opsi pemain asing untuk masuk di bisnis penerbangan nasional, sama seperti pemain asing yang telah lebih dulu masuk di proyek kemitraan infrastruktur.

Dengan lain perkataan, pemerintah lebih banyak menggunakan wewenangnya untuk menyelesaikan masalah yang ada untuk memasukan berbagai macam kepentingan yang kurang signifikan terhadap substansi persoalan, yakni kepentingan rakyat banyak.

***

Keterangan: Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mudikonomic: Kemeriahan Rakyat dan Kegembiraan Investor"