Kala Iwa K Gelisah oleh Radikalisme

Ia mencium ancaman serius jika radikalisme kian merebak dan masyarakat tidak menyadari dampak serius yang bisa tercipta jika itu tidak tertanggulangi.

Jumat, 12 April 2019 | 18:28 WIB
0
586
Kala Iwa K Gelisah oleh Radikalisme

Ia memang terkenal sebagai penyanyi Rap. Bahkan ia terbilang paling disegani di dunia musik karena kiprahnya yang melahirkan banyak lagu bergenre Hip Hop yang akrab dengan pecinta musik Tanah Air. Siapa nyana, kepekaannya dalam bermusik, tak mengurangi kepekaannya atas isu-isu terkini. Persoalan radikalisme dan terorisme, pun tak luput dari perhatiannya.

Ya, dia adalah Iwa Kusuma atau terkenal dengan nama panggung sebagai Iwa K.

Saya berkesempatan mengulik pandangan sosok penyanyi kelahiran 25 Oktober 1970 tersebut. Kebetulan, ia menjadi salah satu anggota Grup WhatsApp (WAG) yang saya tangani: Lingkar Gagasan.

Di sanalah ia bercerita banyak tentang bagaimana persentuhannya dengan dunia radikalisme, dan bagaimana ia menunjukkan penentangan serius atas persoalan tersebut.

"Aku cuma care sama masa depan anakku, Bro," kata penyanyi Rap yang sudah berkarier sejak 1990 itu, menanggapi kenapa ia tertarik terhadap ide-ide pluralisme.

Dia berterus terang, meskipun sekarang ide radikalisme kian meraksasa, tapi ia tak menginginkan anak-anaknya terpengaruh dengan cara-cara beragama yang keliru dan justru menjurus pada sikap merugikan banyak orang.

"Aku enggak mau anakku hidup di udara pengap para pengkhutbah kematian, yang tidak mau mensyukuri kehidupan," katanya dengan gaya bahasa tidak jauh dari lirik-lirik lagu Rap yang kerap ia nyanyikan.

Baginya, menjadi orang Indonesia itu seperti menikmati secangkir kopi. "Untuk menikmati secangkir kopi itu perlu menghormati rasa pahitnya," katanya. "Seperti itulah dalam menikmati Indonesia, perlu menghormati keberagamannya."

Ia juga mengutip pendapat salah satu pakar politik Amerika Serikat, Robert Pape, dalam melihat bagaimana kalangan radikal bekerja, terutama yang getol membawa-bawa nama agama.

"It's a group whose outward expressions of religious fervor serve its secular objectives of controlling resources and territory," Iwa mengutip Robert Pape. Seraya ia menunjukkan bagaimana pengaruh orang-orang yang baru pulang dari daerah konflik kerap dijadikan "bola api" oleh pihak-pihak yang melihat keuntungan dari sana.

Bahkan, menurut dia, pihak-pihak yang mewadahi sepak terjang kalangan radikal, menjadikan mereka sebagai alat untuk membodohi masyarakat.

"Ya, orang-orang tersebut--yang radikal--memanng bisa dijadikan agen sosialisasi pembodohan ke masyarakat awam untuk dimobilisasi secara instan," keluhnya.

Maka itu Iwa menegaskan jika di tengah gempuran radikalisme yang kerap berujung aksi terorisme hingga pemberontakan, hanya ide-ide plural yang penting diketengahkan dan dimasyarakatkan.

"Selain edukasi, sikap plural yang tegas, dan enggak kenal lelah, menurut saya bisa menjadi semacam antibodi bagi 'virus zombie' yang sengaja disebar belasan tahun terakhir ini," ungkapnya, meluapkan kegelisahannya.

Iwa juga berpendapat jika senjata yang dibutuhkan untuk melawan atau menangkal radikalisme itu tidak hanya mengandalkan satu dua cara, tapi memang mesti dengan berbagai cara. Bisa dimaklumi, lantaran kalangan radikal pun menebarkan ide-ide mereka dengan berbagai cara.

Tampaknya kritikan yang disampaikan Iwa tersebut memang tidak lepas dari realitas bagaimana beberapa dekade terakhir kalangan radikal bahkan mengincar kampus sampai sekolah untuk menularkan pemikiran mereka.

Beberapa waktu lalu, CNN Indonesia juga sempat melansir satu berita bertajuk BNPT Sebut Radikalisme Sudah Menyusup ke Kampus, (10/02/2018). Dari laporan media tersebut disebutkan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT memastikan bahwa sel-sel radikalisme telah menyusup ke kampus-kampus.

Walaupun di sisi lain, ini bukanlah fakta baru jika menyelidiki pergerakan di dunia kampus, beberapa universitas ternama saja sempat tidak menyadari keberadaan mereka, dan bahkan mampu mencetak kader dengan leluasa di dunia pendidikan.

Ini juga yang digelisahkan oleh Iwa K, karena ia mencium adanya ancaman serius jika radikalisme kian merebak, dan masyarakat tidak menyadari dampak serius yang bisa tercipta jika itu tidak tertanggulangi secara masif.

"Jadi, dibutuhkan senjata untuk memberantas radikalisme ini, yaitu Undang-Undang, selain juga edukasi, dan sikap kita sebagai manusia yang semestinya dapat bersyukur terhadap adanya keberagaman--yang mestinya adalah kekuatan," Iwa menandaskan.* (Artikel juga tayang di: Tul@rin | Sumber Gambar: brilio.net)

***