Ramai juga diskusi di lapak rekan saya Tomi Satryatomo yang mempertanyakan kebijakan Harian Kompas. Pada edisi Senin, 3 Desember 2018 ini, Harian Kompas menempatkan peristiwa Reuni 212 di Monas yang dihadiri massa yang masif, panitia konon mengklaim ada 8-10 juta massa yang hadir di sana, di halaman 15. Bukan di halaman utama atau Headline.
Sebelum mengomentari persoalan media ini -dan saya hanya ingin menyoroti dari sisi ilmu jurnalistik- saya ingin mengutip unek-unek Mas Tomi selengkapnya sebagai berikut:
"Kebijakan redaksional memang diskresi redaksi. Tapi menyengaja menutup mata atas fakta berkumpulnya jutaan orang dengan damai sebagai ekspresi demokrasi yang dijamin konstitusi, sama saja dengan merenggut hak publik untuk tahu.
Pesannya jelas, buat redaksi Harian Kompas, kebebasan umat Islam untuk mengekspresikan pandangan yang berbeda dengan penguasa, kalah penting daripada sampah plastik.
.
Bye Kompas..."
Benar seperti dikatakan rekan saya itu, bahwa redaksi, termasuk Harian Kompas, punya kebijakan sendiri dalam hal redaksional. Punya kebijakan tertentu dalam hal menurunkan atau tidak menurunkan sebuah berita peristiwa, apalagi berita yang sifatnya agenda. Misal soal pemuatan sampah plastik di hari yang sama dengan pemuatan peristiwa Reuni 212, yang pemuatannya bisa kapan-kapan (timeless).
Mestinya diskusi selesai dengan memahami adanya pakem atau "aturan" ini. Bahkan secara ekstrem, Harian Kompas boleh-boleh saja tidak menurunkan berita peristiwa itu (istilah Mas Tomi "menutup mata") meski terjadi di depan mata sekalipun dengan melibatkan jumlah massa yang demikian besar.
Toh hal itu kembali kepada kebijakan redaksional. Itu sebabnya siapapun bisa menjelaskan mengapa Republika justru menempatkan berita peristiwa itu sebagai Headline. Khalayak pembaca adalah salah satunya. "Known your audiences", selalu berulang-ulang saya katakan dalam setiap sesi pelatihan menulis.
Saya yang menggeluti jurnalistik dan biasa mengajar ilmu jurnalistik, termasuk menulis berita peristiwa, terpaksa harus mengunyah kembali pemahaman sekaligus penerapan apa yang disebut "News Value" atau Nilai Berita di sini, dalam forum ini.
"Penting" atau "Menarik" sabagai unsur-unsur Nilai Berita mungkin tidak relevan lagi saat menilai peristiwa Reuni 212. "Menarik" mungkin ya, karena acara itu dihadari massa yang sedemikian masif. "Penting", ini ada pertanyaan lain; penting buat siapa? Buat pembaca atau peserta Reuni 212? Bagi peserta Reuni 212, jelas itu sangat penting! Tetapi bagi pembaca Kompas yang bersifat umum, belum tentu penting, malah ga penting sama sekali.
"Berdampak" (Impact) sebagai salah satu Nilai Berita, juga menjadi ukuran apakah berita peristiwa itu layak di-HL-kan di halaman 1 atau cukup berita tanpa foto di halaman 15, sebagaimana yang ditempuh Harian Kompas edisi hari ini. Dampak di sini harus selalu berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Nah, mengukur dampak itu sederhana, cukup dengan pertanyaan asumtif. Misalnya, apa dampak Reuni 212 itu buat masyarakat luas? Apakah kalau berita peristiwa itu dimuat sebagai berita utama akan menjadikan kesejahteraan masyarakat menurun atau malah sebaliknya. Apakah jalannya kendaraan pemerintah terguncang dan roda-rodanya macet?
Setiap jawaban asumtif atas pertanyaan itu akan mempengaruhi kebijakan redaksional (Newsroom) dalam menentukan pilihannya.
Jika jawabannya tidak berdampak sama sekali terhadap jalannya pemerintahan, roda perekonomian tidak terganggu, masyarakat bersama TNI/Polri adem ayem saja menanggapinya, maka peristiwa itu tidak berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan berbagsa dan bernegara lainnya.
Untuk contoh kontrasnya, pemberlakukan nomor kendaraan roda empat ganjil genap akan berdampak bagi warga Jakarta yang biasa masuk ke jalan-jalan protokol Jakarta. Atau pelemahan rupiah jelas berdampak bagi masyarakat luas. Apakah Reuni 212 berdampak bagi masyarakat luas khususnya pembaca Harian Kompas?
Satu-satunya Nilai Berita yang mungkin disoroti mas Tomi adalah "Magnitude" (besaran) atau sementara orang menyebutnya "Numbers" (angka-angka).
Benar, bahwa massa yang besar, apalagi jumlahnya diklaim antara 8-10 juta orang (artinya hampir seluruh penduduk DKI Jakarta tumplek blek di satu titik), itu punya nilai berita. "Magnitude" dan "Numbers" dalam ilmu jurnalistik adalah Nilai Berita.
Tetapi bagi saya, dan mungkin juga redaksi Harian Kompas, "Magnitude" dan "Numbers" ini kalah bersaing atau bahkan kalah penting dengan Nilai Berita lainnya, yaitu "Dampak" itu tadi. Besaran angka atau jumlah peserta boleh jadi hanya ditempatkan sebagai memenuhi unsur "Menarik" daripada "Penting".
Dan, bagi koran umum seperti Harian Kompas, atau koran manapun, berlaku "kaidah jurnalistik", yaitu ke depankan (tampilkan) yang penting-penting terlebih dahulu, baru kemudian yang kurang penting. "Menarik", meski itu sebuah Nilai Berita, bisa saja dimasukkan kepada berita kurang penting, untuk mengatakan tidak penting.
Tetapi toh Harian Kompas tidak menganggap peristiwa Reuni 212 yang berlangsung pada 2 Desember 2018 kemarin sebagai tidak penting. Buktinya ia memuatnya, meski tidak dipilih sebagai berita utama atau Headline.
Status panjang di Facebook ini menjadi bahan perbincangan hangat antarteman dan pengikut atau bahkan mengundang pengguna lainnya. Saya menandai dan menyebut dua guru jurnalistik saya Ashadi Siregar dan Masmimar Mangiang. Sehari kemudian Masmimar "menanggapi" status saya dengan membuat status terkait.
Begini bunyi statusnya:
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews