Dewasa ini, kita sering mendengar istilah “Generasi Aku”, atau “Me Generation”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pola pikir sekaligus pola perilaku manusia-manusia jaman ini. “Generasi aku” dianggap sebagai generasi yang egois. Mereka hanya mementingkan kepentingannya sendiri, tanpa peduli pada persoalan-persoalan yang lebih besar.
Generasi aku ini juga dianggap sebagai generasi narsis. Mereka senang dipuji. Mereka senang memamerkan diri mereka. Jika tidak ada prestasi nyata, yang dipamerkan adalah wajah ganteng dan cantik hasil polesan aplikasi ponsel cerdas terbaru.
Generasi Aku
Generasi Aku lahir dan berkembang dengan humanisme sebagai agamanya. Humanisme menempatkan manusia sebagai tolok ukur dari segala bentuk kebenaran. Tatanan lama yang berpijak pada agama rontok bersama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Yang menjadi acuan adalah pertimbangan diri dan hati nurani pribadi.
Sebagaimana dinyatakan oleh David Brooks dalam tulisannya yang berjudul The Morality of Selfism, Generasi Aku ini memiliki beberapa ciri mendasar. Pertama, sebagai bentuk dari pemujaan diri yang berlebihan, Generasi Aku ini aktif sekali di media sosial untuk memamerkan dirinya. Hal ini bisa dianalisis secara kuantitatif maupun kualitatif, yakni terkait isi dari media sosial yang biasanya merupakan foto diri dengan segala variasinya.
Dua, Generasi Aku melihat dirinya sebagai pusat dunia. Ukuran kehidupan adalah manfaat untuk diriku dan diriku sendiri. Egoisme ekstrem dalam artinya yang paling dangkal berkobar besar di sini. Kata-kata luhur, seperti pengorbanan, komitmen dan prioritas, adalah kata-kata asing yang sedapat mungkin dihindari. (Brooks, 2018)
Tiga, sebagai dampaknya, Generasi Aku ini mengalami krisis komitmen. Datanya juga bisa langsung terlihat. Mereka begitu mudah berpindah pekerjaan. Sedikit ketidaknyamanan akan langsung mendorong mereka mencari tempat kerja baru.
Ini juga ditambah dengan sulitnya menjalin hubungan intim di era generasi aku ini. Perselingkuhan menjadi begitu mudah dan sering dewasa ini. Di ranah pernikahan, tingkat perceraian, dengan berbagai sebab, secara global menyentuh 40 sampai 50 persen dari pernikahan yang ada. (Data Business Insider 2014) Ketika komitmen lemah, maka semua institusi sosial yang menopang hidup manusia juga turut menjadi lemah.
Generasi Dilematis
Jika dilihat lebih dalam, Generasi Aku memiliki hati yang baik dan idealisme yang tinggi. Mereka ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Mereka mudah tergerak oleh cita-cita luhur, seperti emansipasi perempuan, kesetaraan gender dan perjuangan hak-hak asasi manusia.
Namun, semua hal tersebut tentu butuh pengorbanan dan komitmen. Padahal, kedua hal itu amat dijauhi oleh Generasi Aku. Ketegangan antara idealisme tinggi di satu sisi, dan keengganan untuk berkorban di sisi lain, membuat Generasi Aku berubah menjadi Generasi Galau. Ketika galau tak tertangani, depresi adalah buahnya.
Inilah dilema dari Generasi Aku. Secara khusus di Indonesia, dengan mutu pendidikan nasional yang amat rendah, Generasi Aku amat sulit untuk berpikir kritis. Akibatnya, mereka dengan mudah jatuh ke dalam perilaku konsumtif dangkal, bahkan ke dalam radikalisme agama yang sifatnya sesaat, namun amat merusak.
Memang, setiap generasi pasti punya cacat, maupun kelebihan tertentu. Dalam konteks Generasi Aku, saya tak mau buru-buru menawarkan jalan keluar. Cukuplah karakteristik unik generasi ini dipahami betul. Walaupun begitu, secercah pengorbanan dan komitmen pada prioritas tertentu bisa membuat hidup yang sesaat ini terasa jauh lebih bermakna.
Bukankah begitu?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews