Hannah Arendt Platz dan Hannah Arendt StraBer

Bagus juga bila kelak nama filsuf Indonesia dijadikan nama jalan atau alun-alun di Indonesia, misalnya Jalan Gadis Arivia atau Alun-alun Karlina Supelli atau Jalan Rocky Gerung.

Kamis, 20 Juli 2023 | 07:00 WIB
0
73
Hannah Arendt Platz dan Hannah Arendt StraBer
Hannah Arendt Platz (Foto: Usman Landong)

Saya sedang membaca bab-bab awal buku "How the World Thinks." Buku yang ditulis Julian Baggini ini membahas pemikiran filsafat Jepang, India, Tiongkok, Dunia Islam, selain filsafat Barat. Baggini hendak mengatakan filsafat itu bukan hanya berkembang di Barat, melainkan juga belahan dunia lain. Baggini mengajak kita keluar dari Barat-sentris ketika mempelajari filsafat.

Saya membeli buku "How the World Think" di satu toko buku di Kota Hannover Jerman, pada April 2023, beberapa hari menjelang Lebaran 2023. Toko buku itu tentu menjual kebanyakan buku-buku berbahasa Jerman. Ada satu sudut memajang buku-buku berbahasa Inggris. Di situlah saya menemukan "How the World Thinks."

Suatu petang saya bersama sejumlah teman makan malam di satu restoran yang terletak di pusat perbelanjaan. Seorang teman yang pernah tinggal di Jerman mengatakan di sekitar situ ada Jalan Hannah Arendt, perempuan filsuf. Saya mengajak teman-teman menengok jalan tersebut. Namun, kami menjumpai plang bertuliskan Hannah Arendt Platz. Platz artinya plaza atau alun-alun.

Tempat yang saya kunjungi ternyata alun-alun Hannah Arendt. Kami tak sempat menengok Jalan Hannah Arendt (Hannah Arendt StaBer) karena kami harus bergegas menuju restoran. Saya cukup puas mampir di Hannah Arendt Platz, meski tak sempat singgah ke Hannah Arendt StaBer.

Hannah Arendt lahir dari.keluarga Yahudi sekuler di Hannover, Jerman, pada 1906. Filsuf Martin Heidegger menjadi dosennya di Universitas Marburg. Hannah Arendt menjalin hubungan asmara dengan dosennya itu. Dia menerima gelar doktor dalam filsafat di Universitas Heidelberg. Pada 1933, dia ditangkap dan dipenjara oleh Gestapo.

Bebas dari penjara dia meninggalkan Jerman menuju Paris, Prancis. Pada 1937, kewarganegaraan Jermannya dilucuti. Pada 1940 dia menikah dengan filsuf Marxis, Heinrich Blucher.

Pada tahun yang sama dia ditahan di tahanan interniran di barat daya Prancis. Setelah bebas, dia meninggalkan Eropa menuju Amerika dan menjadi warga negara Amerika 10 tahun kemudian. Hannah Arendt meninggal pada Desember 1975.

Selama di Amerika, Hannah Arendt menjadi Direktur Riset Konferensi tentang relasi Yahudi (Conference on Jewish Relations), editor kepala Schocken Books, Direktur Eksekutif Rekonstruksi Kebudayaan Yahudi di New York dan profesor tamu di sejumah universitas termasuk Princeton University tempat dia menjadi pengajar perempuan pertama.

Hannah Arendt menulis sejumlah buku, yakni The Origin of Totalitarianism (1951), The Human Condition (1958), dan Eichmann Jerussalem (1963) yang di dalamnya terdapat frasa terkenal 'banalitas kekerasan' (banality of evil). Pemikirannya tentang banalitas kekerasan dan salah satu bukunya yang saya miliki, yakni "The Origin of Totalitarianism", yang membuat saya antusias mengunjungi Hannah Arendt Platz dan Hannah Arendt StaBer.

Saya mengenal frasa 'banalitas kekerasan' dari satu berita koran yang memberitakan Rieke Diah Pitaloka mendapat gelar master dengan tesis tentang pemikiran Hannah Arendt di jurusan Filsafat UI. Tesis artis yang kemudian menjadi anggota parlemen itu sudah dibukukan.

Saya membeli buku "The Origin of Totalitarianism" di toko buku Universitas di Kota Dunedin, Selandia Baru, pada 2018. Saya mengutipnya untuk disertasi saya tentang populisme Islam di Pilkada DKI 2017:

"Itulah sebabnya bisa dikatakan kelompok populis Islam hanya menggunakan demokrasi atau lebih tepatnya menunggangi demokrasi. Mereka menunggangi demokrasi untuk memobilisasi massa demi memaksakan rigiditas doktrinal mereka. Unjuk rasa bergelombang yang mereka lakukan di Pilkada DKI bukanlah demokrasi, melainkan, meminjam istilah Majalah TEMPO, mobokrasi. Mobokrasi ialah aksi massa tidak permanen, atau yang dalam istilah Arendt (2017: 427) “aliansi temporer massa dan elite.” Demokrasi lebih permanen, sedangkan mobokrasi tidak mewakili rakyat atau yang dalam istilah Arendt (2017: 138) “berteriak untuk ‘orang kuat,’ ‘pemimpin hebat,’ membenci rakyat yang tidak ikut serta di dalamnya.”

Atas kontribusi pemikiran dan aktivitasnya, Pemerintah Kota Hannover mengabadikan Hannah Arendt menjadi nama jalan dan alun-alun di kota itu.

Di Indonesia, tepatnya di Solo, ada nama jalan yang diambil dari nama filsuf, yakni Jalan Tagore. Tagore tiada lain Rabindranath Tagore, filsuf India, yang pernah berkunjung ke Solo pada 1927.

Bagus juga bila kelak nama filsuf Indonesia dijadikan nama jalan atau alun-alun di Indonesia, misalnya Jalan Gadis Arivia atau Alun-alun Karlina Supelli atau Jalan Rocky Gerung.

***