Solusi untuk mengatasi perilaku agresif menurut kedua teori tersebut meliputi pengurangan paparan terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat memicu.
Perilaku agresif merupakan fenomena sosial yang mengkhawatirkan banyak orang karena efeknya yang merugikan bagi individu dan masyarakat. Banyak peristiwa yang terjadi sebagai bentuk dari perilaku agresif, baik verbal maupun non verbal.
Saat ini, ditemukan berbagai bentuk perilaku agresif hampir di semua media, termasuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Perilaku agresif merupakan tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menyerang atau merusak orang atau benda di sekitar individu yang bersangkutan.
Fenomena perilaku agresif dapat terjadi dalam berbagai situasi, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, hingga lingkungan masyarakat yang lebih luas. Perilaku agresif dapat berupa tindakan fisik seperti pemukulan atau penganiayaan, atau berupa tindakan non-fisik seperti penghinaan atau ancaman.
Dalam situasi yang merugikan, seperti mengalami ketidakadilan atau perlakuan negatif dari orang lain, perilaku agresif bisa timbul sebagai respons. Namun, perilaku agresif juga dapat muncul tanpa adanya rangsangan yang jelas, dan terjadi karena faktor-faktor seperti gangguan emosi atau kecemasan.
Perilaku agresif dapat memiliki dampak yang merugikan bagi individu yang bersangkutan, orang lain di sekitarnya, serta masyarakat secara umum. Banyak kasus yang terjadi melalui perilaku agresif seperti bullying, kekerasan dalam rumah tangga, tindakan kriminal, maupun kekerasan lainnya.
Semua ini menunjukkan betapa umum perilaku agresif yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Perilaku agresif dapat menyebabkan kerugian fisik dan psikologis bagi orang yang menjadi sasaran, serta dapat mengancam keamanan dan stabilitas lingkungan yang berada di sekitarnya.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku agresif antara lain, anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak stabil, seperti keluarga dengan orang tua yang sering bertengkar atau bercerai, lebih rentan mengalami stres dan kecemasan. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi mudah marah dan frustasi, dan akhirnya melampiaskan emosinya dengan perilaku agresif, pengalaman masa lalu yang traumatis, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual, dapat mempengaruhi perkembangan psikologis seseorang dan membuatnya lebih rentan terhadap perilaku agresif.
Orang yang mengalami trauma seringkali mengalami gangguan emosi dan kesulitan dalam mengatasi konflik, sehingga mereka lebih mudah terlibat dalam perilaku agresif, paparan media yang berlebihan terhadap kekerasan seperti media, seperti film, televisi, dan video game, dapat mempengaruhi perilaku seseorang terutama jika terlalu banyak dan sering terpapar. Paparan media yang berlebihan terhadap kekerasan dapat membuat seseorang menjadi kurang sensitif terhadap kekerasan dan menyebabkan mereka lebih cenderung meniru perilaku agresif, orang yang kurang memiliki keterampilan dalam mengelola emosi dan mengatasi konflik seringkali mengalami kesulitan dalam mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang tepat dan memilih perilaku agresif sebagai cara untuk melampiaskan emosi mereka.
Perilaku agresif memiliki kaitan yang erat dengan psikologi sosial karena perilaku agresif disebabkan oleh faktor-faktor sosial juga. Psikologi sosial merupakan ilmu yang mempelajari darimana asal perilaku dan pemikiran dari individu dalam konteks sosial. Salah satu teori dalam psikologi sosial yang bisa menjelaskan perilaku agresif adalah teori belajar sosial dan meniru (imitasi) Neal E. Miller dan John Dollard.
Dalam teori psikologi sosial imitasi atau peniruan Dollard dan Miller, perilaku manusia diperoleh dengan belajar. Untuk itu, perlu diketahui prinsip-prinsip dari psikologi belajar yang ditekankan Dollar dan Miller untuk memahami darimana asal perilaku. Dalam penelitiannya, Dollard dan Miller menjabarkan empat prinsip dasar belajar yang meliputi dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward). Dorongan (drive) merupakan rangsangan kuat yang mendorong individu untuk bertingkah laku misalnya, ketika seseorang merasa lapar maka dorongan untuk mencari makanan akan meningkat dan mendorong individu untuk mencari makanan. Isyarat (cue) adalah rangsangan yang menentukan kapan dan di mana suatu tingkah laku balas akan terjadi dan jenis tingkah laku balas apa yang akan muncul sebagai respons.
Tingkah laku balas (response) adalah perilaku yang muncul setelah diberikan beberapa kali ganjaran atau hukuman. Prinsip ini adalah bawaan (innate) dan tersusun secara hierarkis, artinya suatu tingkah laku balas akan muncul secara otomatis ketika dorongan dan isyarat terpenuhi. Ganjaran (reward) adalah rangsangan yang menentukan apakah suatu tingkah laku balas akan diulang atau tidak di masa yang akan datang. Jika suatu tingkah laku balas mendapatkan ganjaran atau hadiah, maka individu akan lebih cenderung untuk melakukan tingkah laku balas tersebut lagi di masa depan. Sebaliknya, jika suatu tingkah laku balas mendapatkan hukuman atau tidak mendapatkan ganjaran, individu akan kurang cenderung untuk melakukan tingkah laku balas tersebut lagi di masa depan.. Dalam konteks imitasi pada perilaku agresif, teori Dollard dan Miller menjelaskan bahwa perilaku agresif dipelajari melalui proses belajar. Individu yang mengamati model yang menggunakan agresi sebagai cara untuk mengatasi masalah cenderung meniru perilaku tersebut.
Dalam kasus perilaku agresif, individu yang meniru perilaku tersebut kemungkinan akan mengulang perilaku tersebut jika mereka memperoleh ganjaran dari perilaku agresif tersebut. Namun, jika individu tersebut mendapatkan hukuman atau konsekuensi yang merugikan dari perilaku tersebut, mereka mungkin akan berhenti meniru perilaku tersebut. Secara keseluruhan, teori Dollard dan Miller menyatakan bahwa perilaku agresif dipelajari melalui proses belajar yang melibatkan dorongan, isyarat, tingkah laku balas, dan ganjaran.
Dengan demikian, individu yang terpapar dengan perilaku agresif dalam lingkungan sosialnya cenderung mengembangkan perilaku agresif karena mereka belajar untuk meniru perilaku tersebut melalui proses belajar. Perilaku agresif dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk faktor sosial seperti lingkungan keluarga yang tidak stabil, pengalaman masa lalu yang traumatis, paparan media yang berlebihan terhadap kekerasan, serta kurangnya keterampilan dalam mengelola emosi dan mengatasi konflik. Teori kognitif sosial Bandura juga dapat dikaitkan dengan perilaku agresif, terutama dalam konteks pembelajaran agresi dari model-model sosial. Teori kognitif sosial Bandura menekankan bahwa sebagian besar proses belajar manusia terjadi melalui interaksi dengan lingkungan sosial di sekitar mereka.
Dalam proses ini, manusia memperoleh pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-keterampilan, strategi-strategi, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap dengan mengamati orang lain. Individu-individu dapat mempelajari perilaku dari contoh atau model yang dilihatnya dan menilai kegunaan serta kesesuaian perilaku tersebut.
Selanjutnya, Jika individu memiliki keyakinan tentang kemampuannya dan mengharapkan hasil yang baik dari tindakannya, maka mereka cenderung untuk bertindak sesuai dengan keyakinan tersebut.
Teori kognitif sosial memiliki karakteristik khas dalam pemberian peran utama pada fungsi-fungsi pengaturan diri. Hal ini memungkinkan individu untuk mengendalikan peristiwa dalam hidup mereka dengan cara mengatur pikiran dan tindakan mereka. Dengan pengaturan diri yang tepat, individu dapat mencapai tujuan mereka dan menghindari perilaku yang tidak diinginkan.
Menurut Bandura, individu dapat memperoleh pengetahuan tentang cara-cara untuk berperilaku agresif dengan mengamati dan meniru model sosial yang menunjukkan perilaku agresif. Individu kemudian dapat menilai kegunaan dan kesesuaian dari perilaku agresif, serta mengatur diri mereka sendiri dalam memilih perilaku yang tepat dalam situasi tertentu. Selain itu, teori kognitif sosial Bandura juga menekankan peran penting dari fungsi pengaturan diri dalam mengendalikan perilaku agresif. Individu yang memiliki standar internal yang baik dan mampu mengevaluasi kemajuan dalam mencapai tujuan mereka, lebih mungkin mampu mengendalikan perilaku agresif mereka. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki standar internal yang kuat dan kurang mampu mengendalikan emosi dan tindakan mereka, lebih rentan terhadap perilaku agresif. Kesimpulan dari teori Dollar dan Miller adalah bahwa perilaku agresif terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengaruh sosial yang terjadi di sekitar individu.
Oleh karena itu, untuk mengatasi perilaku agresif, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang dapat memicu atau memperkuat perilaku agresif, seperti kekerasan dalam media dan pengaruh teman sebaya yang agresif, dan mengambil tindakan untuk membatasi atau mengurangi paparan terhadap faktor-faktor tersebut. Sementara itu, teori Bandura menekankan pentingnya pembelajaran sosial dalam pembentukan perilaku agresif.
Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi perilaku agresif menurut teori Bandura adalah dengan memberikan peran model atau contoh yang positif bagi individu, baik itu melalui lingkungan keluarga, teman sebaya, maupun media. Selain itu, penting untuk memperkuat pengaturan diri dan pembentukan self-efficacy (keyakinan akan kemampuan diri sendiri) individu, sehingga mereka dapat mengendalikan dan mengatur perilaku agresif mereka dengan lebih efektif. Secara keseluruhan, solusi untuk mengatasi perilaku agresif menurut kedua teori tersebut meliputi pengurangan paparan terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat memicu atau memperkuat perilaku agresif, memberikan contoh atau peran model yang positif, dan memperkuat kemampuan pengaturan diri dan self-efficacy individu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews