Dampak Industri Fast Fashion terhadap Keberlanjutan Lingkungan

Kebijakan Indonesia sendiri masih berfokus pada pengembangan ekonomi dan industri dan belum memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya pada lingkup fashion.

Selasa, 11 Oktober 2022 | 10:11 WIB
0
285
Dampak Industri Fast Fashion terhadap Keberlanjutan Lingkungan
source :https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fzerowaste.id%2Fzero-waste-fashion%2Ffesyen-cepat-fast-fashion%2F&psig=AOvVaw0L3zVZIiZMdYg2QIvvuHXc&ust=1665480766075000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjRxqFwoTCLi18r2t1foCFQAAAAAdAAAAABAI

 

PENDAHULUAN

Krisis perubahan iklim merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi akibatnya. Kini, kita sudah familiar dengan suhu udara yang meningkat tajam, curah hujan yang tidak menentu, iklim ekstrem, hingga bencana-bencana alam yang frekuensinya meninggi. Dengan temperatur global dunia yang kian lama semakin meninggi dan dampaknya yang semakin terlihat masif, menunjukkan bahwa masalah iklim ini bukan masalah yang dapat ditunda-tunda lagi. Sebuah laporan dari IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change) (2021) menyebutkan bahwa masa ini adalah kode merah terhadap iklim dan kemanusiaan, dimana tahun-tahun sekarang dan beberapa tahun berikutnya adalah penentu sekaligus kesempatan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan iklim dan pemanasan global ini. IPCC pun menargetkan pencapaian yaitu batas 1,5 derajat untuk kenaikan suhu global dunia, dengan cara menurunkan emisi 15% setiap tahun dimulai dari tahun 2020, sampai dapat mencapai net zero. Krisis perubahan iklim yang kian menjadi urgensi ini pun mendorong kita semua untuk segera mengadaptasi gaya hidup yang semakin berkelanjutan. Jika kita menilik lebih lanjut, ditemukan fakta bahwa industri fashion adalah penyumbang polusi terbesar kedua di dunia setelah industri bahan bakar minyak fosil (de Oliveira, Miranda, & de Paula Dias, 2022). Padahal, industri fashion ini merupakan industri yang sedang gencarnya melakukan produksi di masa ini.

Di zaman globalisasi sekaligus modernisasi ini, di mana akses kita terhadap suatu hal menjadi jauh lebih instan dan mudah, menciptakan suatu hubungan peningkatan fenomena yang diciptakan yang lalu populer dalam jangka waktu tertentu atau yang dapat dikatakan sebagai tren. Akses kita dalam menjangkau tren ini pun semakin mudah, melalui sosial media yang mana merupakan hal yang menjadi makanan kita sehari-hari di era globalisasi ini, kita dapat melihat banyaknya tren yang bermunculan di mana-mana, yang lalu mempersuasi orang yang melihat untuk mengikutinya. Tren ini pun juga menjangkau lingkup fashion, di mana banyaknya sebuah tren yang bermunculan dalam aspek fashion ini yang rata-rata hanya menjamur dalam waktu singkat, tetapi digandrungi masyarakat, mendorong para pemilik industri fashion untuk memenuhi tuntutan fashion yang kian cepat, dan mengembangkan munculnya konsep ready to wear dalam industri fashion. Ready to wear mengimplementasi bentuk tren fashion nasional dan internasional dengan harga yang lebih murah dan mudah didapatkan serta diproduksi dalam jumlah yang banyak (Leman, Soelityowati, & Purnomo, 2020). Tren ini pun mendorong industri fashion menerapkan sebuah konsep yang dapat disebut dengan fast fashion, dimana dalam fast fashion ini, industri fashion memproduksi suatu barang dengan cepat sesuai dengan perubahan tren zaman, dengan bahan yang tidak tahan lama dan tidak berkelanjutan pula, dan lalu setelah model/tren itu sudah perlahan hilang, industri akan memproduksi jenis lain lagi sehingga menjadi cycle yang berulang. Konsep fast fashion ini pun jika dikaji, dapat menuai dampak yang buruk bagi lingkungan, karena konsep ini akan menghasilkan limbah produksi sekaligus limbah pakaian yang menumpuk dan juga penggunaan bahan-bahan yang tidak sustainable dalam proses produksinya.

PEMBAHASAN

Industri fast fashion yang dapat dikatakan sebagai lambang dari kesuksesan industri fashion dan tekstil menyimpan sebuah harga yang harus dibayar. Berkembangnya industri fast fashion yang menekankan pada kecepatan, kuantitas, dan ukuran ini, mendorong naiknya budaya konsumsi, yang akan menyebabkan terjadinya masalah terhadap kesejahteraan manusia, seperti perdagangan yang tidak adil, pemanasan global, polusi, dan peningkatan jumlah sampah (Nidia & Suhartini, 2020). Konsep fast fashion menciptakan sebuah linimasa yang sangat cepat dari masa produksinya, karena berbasis pada sebuah tren dan mode dan mengandalkan selera konsumen atau kebutuhan konsumen yang dibutuhkan pada periode tertentu. Jenahara Nasution, seorang desainer fashion, mengatakan bahwa promosi koleksi fashion berlangsung sangat cepat di masa ini, karena sebelumnya, desainer mengeluarkan koleksi fashion terbaru mereka setidaknya 6 bulan sekali, tetapi sekarang desainer bisa mengeluarkan koleksi baru mereka setiap bulan atau bahkan setiap pekan (Leman et al., 2020). Permasalahan muncul disaat industri fast fashion yang berproduksi melalui mode dan tren yang sedang ada tersebut, memproduksi hasil barang mereka dengan kuantitas yang masif. Karena cepatnya transisi atas suatu tren ke tren lain, apalagi dengan adanya proses modernisasi dan globalisasi, banyak hasil produksi tersebut yang nantinya akan berujung menjadi limbah karena produk yang mereka hasilkan tidak lekang oleh waktu, atau dapat dibilang karena tren dari pakaian tersebut sudah tidak komersial lagi. Sebuah fakta menyatakan bahwa, di Amerika, 85% dari keseluruhan limbah tekstil berujung di tempat pembuangan sampah, yang dalam rentang 10 tahun, limbah tersebut dapat meningkat menjadi 40%, lalu di Canada, tekstil menjadi penyumbang 10% dari keseluruhan limbah yang terbuang di sana (Weber, Lynes, & Young, 2017). Yang perlu digaris bawahi adalah, limbah tekstil mengandung bahan sintetis yang tidak dapat terurai, sehingga dapat berdampak sangat buruk pada lingkungan. Selain dari permasalahan itu, masifnya pertumbuhan dan kepopuleran industri fast fashion ini di kalangan masyarakat menumbuhkan banyaknya kompetisi di pasar industri ini. Dan dari situ, menyebabkan para peritel fashion membutuhkan bahan-bahan produksi yang berbiaya rendah untuk dapat bersaing di tengah kompetitor dan juga untuk bersaing mengejar cepatnya transisi mode yang ada. Untuk dapat menekan biaya produksi, industri fast fashion banyak yang menggunakan materiil dan bahan yang berkualitas murah dan rendah yang juga menjadi faktor perusak lingkungan, contohnya penggunaan pewarna tekstil yang murah dan berbahaya, yang dapat mengakibatkan pencemaran air dan memiliki resiko pada kesehatan manusia.

Proses produksi dari industri fast fashion ini pun dapat terbilang mengorbankan standar etika lingkungan. Karena jika ditinjau lebih lanjut, proses produksi dari industri fast fashion tidak memiliki konsep sustainability di dalamnya. Dalam produksi pakaian, umum digunakan bahan bernama poliester. Poliester ini bersumber dari bahan fosil, yang jika dirinci berasal dari bahan dasar plastik, yang mana plastik terbuat dari minyak bumi. Poliester ini, dapat mengeluarkan microfiber yang menambah kadar plastik ketika dicuci, microfiber ini menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan makhluk hidup karena sulit terurai, dan dapat dimakan oleh hewan-hewan ekosistem yang penting (Enrico, 2019). Sebuah bukti nyata dapat ditunjukkan dari Sungai Citarum di Jawa Barat yang telah menjadi tempat pembuangan limbah kimia industri fashion atau tekstil di sekitarnya selama bertahun-tahun (Leman et al., 2020). Sebuah lembaga bernama Greenpeace berhasil menganalisis kandungan air di sungai tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa air di Sungai Citarum mengandung timah hitam, merkuri, arsenik, dan nonylphenol (pewarna pengganggu endokrin yang telah dilarang dari Uni Eropa karena implikasi lingkungannya). Namun bahkan, permasalahan yang diakibatkan oleh proses produksi fast fashion tidak sampai disitu saja, dikutip dari statistik yang dirilis pada https://earth.org, jumlah pakaian bekas tidak terpakai yang berujung tergeletak di TPA berjumlah kurang lebih 11,3 juta ton limbah tekstil tiap tahunnya, dan itu hanya perhitungan di lingkup Amerika saja. Padahal, ketika pakaian yang berbahan serat alami berakhir di TPA, dapat menimbulkan produksi gas metana rumah kaca yang merupakan aspek besar pemicu pemanasan global. Selain itu, serat sintetis seperti poliester dan nilon ini tidak dapat terurai. Dan juga, beberapa bahan kimia yang terkandung dapat mencemari lingkungan karena dapat terlarut pada tanah dan air tanah.

Dampak dari industri fast fashion ini terhadap lingkungan sudah dapat terbukti memberi banyak kontribusi buruk. Dalam rangka mengikuti wacana untuk net zero untuk menyelamatkan masa depan bumi dan mengurangi perubahan iklim, kita harus dengan cepat beradaptasi pada gaya hidup ramah lingkungan dan juga dapat memerangi sumber-sumber pemicu perubahan iklim, salah satunya industri fast fashion ini. Salah satu cara terbesar untuk dapat mengurangi dampak fast fashion ini adalah dengan cara membangun kesadaran konsumen akan dampak berbahayanya industri ini dan juga konsep fast fashion ini bagi lingkungan. Namun, jika produksi fast fashion ini masih diproduksi secara masif di pasaran dan produksi industri fashion yang sustainable tidak dapat diakses dengan mudah, akan sulit bagi konsumen untuk mengubah sudut pandang sekaligus kebiasaan yang telah lama mereka lakukan. Sehingga, solusi yang paling utama untuk dilakukan adalah dengan mengambil perspektif dari kebijakan publik. Kebijakan publik diharapkan dapat berperan dalam prosesi pengurangan dampak dari industri fast fashion ini. Namun, jika melihat kebijakan publik yang diterapkan di Indonesia mengenai aspek keberlanjutan dalam fashion, itu terbukti masih minim sekali. Bahkan kini, fokus Indonesia justru adalah untuk memanfaatkan konsep fast fashion tersebut untuk ekonomi kreatif dalam rangka memajukan ekonomi Indonesia, sehingga kebijakan Indonesia saat ini justru berfokus pada pengembangan dan dorongan untuk produksi fast fashion dalam lingkup ekonomi kreatif, tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungannya. Padahal, urgensi dari masalah perubahan iklim ini sudah tidak dapat ditunda lagi. Permasalahan perubahan iklim ini adalah masalah global dan masalah eksistensial, yaitu merupakan permasalahan paling utama, dasar, dan besar, yang dimana jika masalah ini tidak segera terselesaikan, tentunya akan sangat berdampak kepada sektor-sektor lainnya, yang salah satunya juga sektor ekonomi. Karena jika ruang dan sumber daya alam serta manusianya rusak, kita tentu saja tidak dapat membangun aspek di sektor lain yang membutuhkan itu.

Jika menilik dari negara-negara lain, banyak negara yang sudah menerapkan kebijakan terkait keberlanjutan lingkungan dalam lingkup fashion, berdasarkan pernyataan dari Parmar (2020), beberapa negara tersebut contohnya Swedia, dimana pada akhir tahun 2019, Swedia menerapkan pajak bahan kimia pada pakaian, dimana disitu setiap penggunaan bahan kimia pada produksi pakaian akan dikenakan pajak tambahan. Selain itu, di negara Prancis juga memiliki kebijakan yang berfungsi untuk mengikat 32 perusahaan fashion untuk berkontribusi pada pengurangan dampak perubahan iklim dalam pengaplikasian pada perusahaan mereka. Lalu, di negara Switzerland, yang dipelopori oleh CEO Agenda 2020 yang dirilis oleh Global Fashion Agenda (GFA), membuat sebuah agenda yang berusaha untuk menyebarkan dan menerapkan hal-hal yang perlu dilakukan industri untuk melindungi satwa liar, ekosistem, dan biodiversity dalam proses produksi industri fashion mereka. Jika dilihat dari negara-negara lain, mereka sudah mampu untuk memulai mengadaptasi sistem keberlanjutan lingkungan dalam pelaksanaan kegiatan perindustrian fashion mereka. Dengan sistem industri yang tetap berjalan, tetapi tetap mengadopsi sistem yang ramah lingkungan. Sementara jika dilihat, kebijakan-kebijakan Indonesia sejauh ini terkait keberlanjutan lingkungan pada lini industri fashion sangat minim dan bahkan legalisasinya di pasal pun belum ditemukan. Indonesia pun terpantau belum mengadopsi dan mengadaptasi penetapan aspek etika lingkungan pada perkembangan industri fashionnya. Jika ditilik dari Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI, Indonesia diketahui akan mengusung evolusi ekonomi kreatif yang akan menggeser era pertanian dan era industrialisasi menjadi era industrialisasi dan informasi dengan berbasis penemuan teknologi informasi dan komunikasi (Nugroho, Cahyadin, Perindustrian, Kebudayaan, & Pariwisata, 2010), yang mana dengan evolusi tersebut, dapat ditunjukkan dengan jelas bahwa orientasi Indonesia akan berfokus pada era pengembangan ekonomi kreatif dan belum menyentuh perbincangan terkait aspek kelingkungannya. Ditambah lagi, ditemukan data dari Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, yang dilansir oleh situs kominfo.go.id, menyebutkan bahwa, berdasarkan data terakhir, sub-sektor fashion menjadi kontributor terbesar kedua setelah sub-sektor kuliner pada sektor ekonomi kreatif dengan jumlah sebesar 18,15%. Itu berarti bahwa, dapat diprediksi jika pemerintah Indonesia akan berfokus pada pengembangan perekonomian industri fashion untuk menjadi fokus dan landasan utama perekonomian Indonesia. Padahal, dalam pengembangan industri bidang tersebut di Indonesia, sistem produksinya masih belum berfokus untuk melibatkan aspek kelingkungan yang berkelanjutan.

Untuk meraih target pemotongan emisi baik secara lokal di Indonesia maupun global, kebijakan Indonesia perlu untuk mengadaptasi aspek berkelanjutan juga dalam perindustrian dan roda perekonomiannya. Karena isu iklim adalah isu yang berkaitan dengan eksistensi, yang mana masalah eksistensi merupakan isu yang harus diprioritaskan, karena tanpa adanya eksistensi dan kesejahteraan pada makhluk hidup dan sarananya yaitu lingkungan, aspek-aspek kehidupan yang lain pun tidak dapat dijalankan. Dari situ menunjukkan pentingnya bagi Indonesia untuk lebih mengkaji kebijakan yang mementingkan aspek lingkungan yang berkelanjutan demi masa depan kelangsungan hidup seluruh umat. Indonesia perlu untuk mengadaptasi kebijakan yang memperhatikan etika lingkungan, bersamaan dengan menjalankan kegiatan industri dan ekonomi khususnya industri fashion di Indonesia, dengan cara mengambil langkah yang sama seperti negara-negara yang sudah mengadaptasi hal tersebut, demi keberlanjutan bumi dan masa depan kita.

PENUTUP

Urgensi perubahan iklim telah mendorong kita semua untuk beralih pada gaya hidup yang memicu pemanasan global menjadi gaya hidup yang berkelanjutan mementingkan etika lingkungan. Dalam target pengurangan emisi dalam rangka tujuan penghentian perubahan iklim, kita harus dapat menurunkan emisi 15% setiap tahun dimulai dari tahun 2020. Kita tidak dapat mencapai tujuan itu jika kita tidak merubah etika kita kepada lingkungan. Jika ditinjau lebih jauh, konsep fast fashion yang kini sedang digandrungi oleh konsumen ternyata menimbulkan banyak permasalahan bagi lingkungan sekaligus menjadi kontributor besar pada perubahan iklim. Dalam rangka pemenuhan gaya hidup berkelanjutan untuk perubahan iklim, diperlukannya kesadaran baru bahwa industri-industri tersebut harus dikurangi produktivitasnya dalam aspek yang merusak lingkungan karena akan berdampak buruk di masa depan nanti. Dalam mengkaji dan menyelesaikan hal tersebut, kesadaran konsumen saja tidak cukup untuk menyelesaikannya. Diperlukan juga peran besar dari pembuat kebijakan untuk dapat menyelesaikan hal ini. Karena tanpa kebijakan yang mendukung, tidak akan adanya perubahan yang masif juga dari produsen dan konsumen.

Kebijakan Indonesia sendiri masih berfokus pada pengembangan ekonomi dan industri dan belum memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya pada lingkup fashion. Indonesia pun justru sedang masifnya mendorong konsep ekonomi kreatif yang belum menginklusi keberlanjutan lingkungan di dalamnya. Jika menilik dari kebijakan negara lain, sudah cukup banyak negara yang dapat mengadaptasi sendi-sendi kehidupan dan aspek kenegaraan mereka dengan konsep keberlanjutan lingkungan, seperti contohnya Swedia, Prancis dan Switzerland. Diharapkan, dalam langkah-langkah kedepannya, Indonesia dapat mengadaptasi kebijakan-kebijakan tersebut dalam rangka mengambil peran dalam mencegah dan mengatasi perubahan iklim.

                                                                      

DAFTAR PUSTAKA

de Oliveira, L. G., Miranda, F. G., & de Paula Dias, M. A. (2022). Sustainable practices in slow and fast fashion stores: What does the customer perceive? Cleaner Engineering and Technology, 6, 100413.

Enrico, E. (2019). Dampak Limbah Cair Industri Tekstil Terhadap Lingkungan Dan Aplikasi Tehnik Eco Printing Sebagai Usaha Mengurangi Limbah. Moda, 1(1), 1-9.

Leman, F. M., Soelityowati, J., & Purnomo, J. (2020). Dampak Fast fashion terhadap lingkungan. Paper presented at the Seminar nasional envisi 2020: Industri kreatif.

McGrath, Matt. (2021). Climate change: IPCC report is ‘code red for humanity’. https://www.bbc.com/news/science-environment-58130705.

Nidia, C., & Suhartini, R. (2020). Dampak Fast Fashion Dan Peran Desainer Dalam Menciptakan Sustainable Fashion. In: e-journal.

Nugroho, P. S., Cahyadin, M., Perindustrian, D., Kebudayaan, D., & Pariwisata, D. K. (2010). Analisis perkembangan industri kreatif di Indonesia. Simposium Ekonomi Indonesia Pasca Krisis Ekonomi Global, Surabaya.

Parmar, Shaelei. (2020), The Fashion Pacts: New Laws and Pacts to Change the Future of Fashion, https://luxiders.com/the-fashion-pacts-new-laws-and-pacts-to-change-the-future-of-fashion/

Weber, S., Lynes, J., & Young, S. B. (2017). Fashion interest as a driver for consumer textile waste management: reuse, recycle or disposal. International Journal of Consumer Studies, 41(2), 207-215.

***