Kecerdasan Buatan Akhirnya Hadir di Keluarga Kami

Berkarya dan berguna itu bisa di mana saja, karena toh agama kita seharusnya adalah kemanusiaan!

Sabtu, 29 Januari 2022 | 19:11 WIB
0
264
Kecerdasan Buatan Akhirnya Hadir di Keluarga Kami
AI (Foto: harapanrakyat.com)

Beberapa waktu yang lalu, anak sulung saya berkirim kabar. Tepatnya berkirim pertanyaan, atau lebih sempit lagi minta pendapat saya. Bagaimana kalau dirinya mulai ikut bisnis trading? Ya, tentu saja dia mulai punya sedikit uang lebih setelah sekian lama. Nyaris 8 tahun tinggal di Jerman, kuliah sambil bekerja. 

Tentu saja, ini pertanyaan yang sulit buat saya. Secara saya ini orang lawas, kuno, dan old-school. Pakai WA saja ribet, seumur-umur belum pernah pesan makanan pakai go-food atau apalah namanya secara on-line. Apalagi beli barang secara daring. Kalau pun saya tiba-tiba butuh, buku misalnya. Saya tentu akan merlokne nyuwun tulung. Minta bantuan dari orang lain untuk mewujudkannya. Saya sadar sedemikian katro dalam hal-hal beginian...

Pertanyaan seperti itu, tentu saya jawab dengan dasar keterbatasan saya itu. Saya bilang, kita ini tidak pernah punya sejarah memiliki uang berlebih, tidak piawai mengikuti trend, dan lebih suka memilih menabung daripada belanja-belanji. Saya bilang tradisi kita itu, urip sakmadyo, prasodjo, dan selebihnya santai. Kita hanya serius saat berpikir dan bila hendak berbagi. Selebihnya, sebisa mungkin tidak pernah menciptakan beban hidup baru. Tak boleh terlalu ngoyo dengan target ini-itu....

Karenanya, saya sebagai bapak tak pernah ambil pusing kapan anak-anak saya harus kelar kuliah. Karena itulah, saya tak juga tergoda sejak awal atau malah secara tegas selalu bilang jangan pernah cari beasiswa yang mengikat terlalu kuat. Kita harus bebas dari hutang budi kepada siapa pun. Hidup terlalu singkat dan berharga hanya untuk itung-itungan balas budi. Yang secara matematika pasti selalu ujungnya adalah gagal lunas bayar itu. 

Anak-anak sudah saya anggap lulus, ketika ia berani keluar dari rumah dan hidup mandiri di negara barunya...

Malam ini, anak sulung saya itu: Ayodya Bhagaskara Setiono tiba-tiba mengirim pesan singkat. Pesan yang tampak lumrah saja, saat ia mohon doa restu dalam tahap akhir penulisan tesisnya. Yang mengagetkan buat saya adalah judul tesis yang akan dituliskan. Saya kutipkan secara bebas dan apa adanya: "Artificial Intelligent Introduction for Small-Medium Logistic Company".

Saya awalnya geli, dan becanda. Iki judul film apa judul sebuah teks books. Woalah! Hakok tiba-tiba dia ternyata sudah bisa bikin "artificial intelegent". Kecerdasan Buatan? Apa tumon anakku sejauh itu.... 

Tapi pelan-pelan saya mulai paham dan menyadari bahwa demikianlah dirinya. Ia memang telah menekuninya secara teori dan praktek sekian lama. Di tempat kuliahnya, ia belajar di jurusan yang namanya aneh untuk ukuran Indonesia: "Teknik dan Management Logistik".

Semula saya pikir ini berkaitan dengan masalah mengatur pembagian beras atau minimal sembako-lah. Bapaknya memang dongoknya ampun-ampunanan. Belakangan, saya baru tahu ini adalah jenis ilmu baru yang secara digital mengatur perpindahan barang dan jasa secara sangat efisien, terukur dengan akurasi tinggi. 

Ini adalah teknologi digital yang singkatnya mengatur bagaimana sebuah produk (apa pun itu) bisa didelivery dengan biaya yang sangat murah tapi bisa sampai dengan waktu secepat-cepatnya.

Tampak sederhana, tapi inilah metode atau cara bagaimana China bisa merajalela dan berkuasa dalam bisnis internasional. Bagaimana efisiensi dan efektifitas diprogram sedemikian rupa, hingga memiliki keunggulan komparatif dan absolute yang luar biasa. 

Bayangkan bagaimana mungkin kita bisa beli peniti seharga 1000 rupiah, dikirim dari China dan bisa sampai ke rumah kita. Tanpa ongkos kirim. Ternyata itu ada teori dan ilmunya...

Dalam dunia nyata, sejak sekira lima tahun yang lalu, dia bersama beberapa temannya mendirikan (atau lebih tepatnya diajak) membangun start-up bisnis baru di Hamburg. Bisnis yang dibangun cukup aneh untuk ukuran Jerman: bisnis bumbu masak.

Sebagaimana kita tahu, Jerman itu dongok banget kalau dibanding tetangganya Perancis dalam urusan kuliner. Perancis sedemikian sophisticated, sedang selera memasak orang Jerman itu payah saja pake banget. Gak pernah jauh-jauh dari sosis dan burger. Bahkan di jalanan yang banyak kita temukan justru makanan Turki sejenis kebab. 

Lah ini tiba-tiba ia mau menjalankan bisnis bumbu dapur....

Dari semula mereka hanya berempat, tiga tahun kemudian ia telah menjadi perusahaan yang ia sebut "small-medium company". Mungkin kalau di Indonesia UMKM kali ya. Mereka bisa mempekerjakan 300 karyawan.

Dari bermula kerja di garasi rumah, mereka bisa membangun ruang usaha yang sangat representatif. Tentu wujudnya adalah ruang produksi dan pergudangan. Perusahaan ini kemudian menjadi salah satu penyedia produk bumbu dapur yang paling populer di Jerman. 

Sayangnya, ketika ia telah sedikit mengecap sukses. Ia berkabar resign dari perusahaan tersebut. Pindah ke perusahaan dengan level yang lebih tinggi katanya. Walau tentu saja ditahan-tahan oleh teman-temannya. Ia bilang secara sederhana: "tak ada lagi tantangan di sini". Dia bilang harus masuk ke apa yang dia sebut sebagai "next-step". Halah, dasar anak milenial....

Jadi harusnya, kalau ia kemudian menuliskan tesis tersebut tidak aneh. Saya saja yang terkaget-kaget, saking ndesitnya.

Tentu saya senang, sesedikit apa pun ia sudah menjadi bagian dari masa depan. Minimal keberaniannya menggunakan teks "artificial intellegence" bagi saya patut diacungi jempol.

Tentu ia punya landasan untuk itu. Tapi bahwa ia memilih untuk skala "small and medium company", saya tak bisa menyembunyikan kebanggaan. Jejaknya sebagai anak Jogja, murid Taman Siswa. Kultur peduli, keinginan untuk selalu berbagi itu nyata ada padanya. 

Sungguh saya tak bisa menyembunyikan kebanggaan saya, sebagai bapak. Ia berani keluar dari zona nyaman masa lalunya, tapi tetap kuat mempertahankan akarnya. 

Setidaknya, ia tak jadi seorang sarjana yang menuliskan karya tulisan seperti: "Pengaruh pembacaan ayat suci bla-bla-bla terhadap produktifitas ayam petelur". Atau "Efektifitas penyetelan surat jiralupat terhadap pertumbuhan perkecambahan kacang hijau". Suatu paramater yang menyedihkan yang sekarang tanpa rasa malu justru menjadi trend di negeri ini. 

Tapi di sisi lain sangat menjelaskan ketidak siapan kita untuk menyambut hari esok, di mana akan semakin banyak fungsi manusia yang tergantikan oleh artificial intelegence. Entah itu pada manusia android, robot, atau ribuan aplikasi lainnya. Suatu tradisi buruk, yang hanya melahirkan manusia nyinyir, yang selalu saja kata-kata buruknya meluncur lebih cepat dari cara otaknya bekerja. Menjelaskan kenapa kelompok-kelompok seperti ini akan abadi merasa terzalimi selamanya. 

Ini hanya suatu cara berbagi kebahagiaan kecil: sebagai anak sulung, bagi saya ia telah memberi jejak yang baik dan teladan bagi adik-nya yang juga belajar di negara yang sama. 

Bagi saya itu sudah lebih daripada cukup....

NB: Dia selalu bilang "mungkin" tak akan pernah kembali ke tanah airnya. Saya tentu mendukungnya. Di sini, apa pun jenis profesinya dalam KTP seseorang, di hari-hari ini semua orang, pada dasarnya adalah sama: sama-sama pedagang dan makelar. Yang hanya mengenal kata untung dan untung. Mereka-mereka yang hanya mau sedikit bersusah payah, tetapi selalu menuntut hak yang sama besar. Sial-sial malah lebih besar, karena merasa menang posisi.

Saya sadar, biarlah ia menjadi warga negara dunia, dan tak terlalu terbebani untuk berbakti pada nusa dan bangsanya. Saya sudah cukup senang, bila ilmunya bisa bermanfaat (juga) untuk negara-negara lain seperti Ethiopia, atau Bangladesh atau Chili. Apa saja. Di Indonesia, kultur yang berkembang sedemikian buruk. Orang hanya selalu ingin menunggangi, mengklaim, dengan bayaran balik menstigma. Suatu preseden yang makin lama makin menyedihkan. 

Berkarya dan berguna itu bisa di mana saja, karena toh agama kita seharusnya adalah kemanusiaan!

***