Seni Membaca "Buku/Kitab Suci"

Jika semua orang membaca buku-buku yang dianggap suci dengan tepat, maka tidak akan ada kebodohan dan konflik atas nama agama. Dunia akan jauh lebih baik.

Minggu, 5 September 2021 | 12:34 WIB
0
172
Seni Membaca "Buku/Kitab Suci"
Buku (Foto: pikist.com)

Kita beranggapan, ada yang disebut sebagai buku atau kitab suci. Buku tersebut ditulis oleh orang-orang suci. Bahkan, buku tersebut dianggap turun langsung dari Sang Pencipta. Isinya dianggap kebenaran mutlak, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.

Anggapan ini salah besar. Tidak ada buku suci di dunia ini. Semua buku, tanpa kecuali, adalah karya manusia. Ia ditulis pada satu waktu dengan tujuan tertentu.

 Maka, tidak ada buku suci. Yang ada adalah “buku yang dianggap suci”. Kesuciannya tergantung pada kesepakatan kita saja. Kita, dengan kekuatan niat dan pikiran kita, yang memberikan kesan kesucian pada buku-buku itu.

Anggapan Berbahaya

Anggapan, bahwa sebuah buku adalah karya langsung dari Tuhan, tidak hanya naif, tetapi juga berbahaya. Buku tersebut dijadikan satu-satunya panduan hidup, sehingga membenarkan kebodohan kita. Kita jadi malas menggunakan akal sehat dan sikap kritis kita. Kita juga jadi tuli pada hati nurani kita.

Kita juga kerap menggunakan buku tersebut untuk kekerasan. Kita membunuh orang yang berbeda pendapat. Kita bersikap tidak adil pada masyarakat luas. Kita membawa bom, hanya karena isi dari buku (sesat) tersebut.

Maka, berbagai “buku yang dianggap suci” tersebut haruslah dibaca dengan tepat. Ia tidak boleh dibaca sembarangan. Ia tidak boleh dibaca secara harafiah. Ia tidak boleh dimengerti mentah-mentah.

Semua buku, termasuk “buku-buku yang dianggap suci” haruslah dibaca dengan akal sehat. Ia harus dibaca dengan sikap kritis. Ia tidak boleh membuat orang menjadi tuli pada suara nurani. Untuk itu, ada empat hal yang perlu diperhatikan.

Empat Prinsip

Pertama, kita harus paham bahasa asli dari buku tersebut. Kita juga harus paham makna asli dari bahasa tersebut di jaman buku itu ditulis. Jika kita hanya membaca karya terjemahan, kita dengan mudah terjatuh pada salah paham. Akhirnya, kita bisa menyakiti diri sendiri, atau orang lain, karena salah paham tersebut.

Dua, kita juga harus paham keadaan, ketika buku itu ditulis. Kita harus mengerti keadaan politik, sosial, ekonomi dan budaya pada masa, ketika buku itu ditulis. Dengan cara ini, kita paham betul tujuan utama dari kehadiran buku tersebut. Kita tidak terjatuh pada salah paham yang berujung pada kebodohan, ataupun konflik dengan orang lain.

Tiga, kita juga harus sadar, bahwa dunia terus berubah. Membaca sebuah buku yang dianggap suci juga harus memperhatikan perubahan jaman tersebut. Makna yang kita tangkap juga harus berubah, seturut dengan perkembangan jaman dan kesadaran manusia.

Sebuah teks dari “buku yang dianggap suci” haruslah berdialog dengan jaman yang semakin kompleks. Hanya dengan cara ini, buku tersebut bisa menawarkan nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan perubahan jaman.

Empat, isi di dalam “buku yang dianggap suci” tersebut tidaklah boleh membuat kita berhenti berpikir dengan akal sehat, sikap kritis dan nurani. Buku tersebut tidak boleh menjadi pembenaran bagi kebodohan. Ia juga tidak boleh jadi dasar untuk kekerasan, apapun bentuknya. Pembacaan terhadap buku yang dianggap suci tersebut haruslah melestarikan dan mengembangkan semua ekspresi kehidupan, tanpa kecuali.

Spiritualitas yang Sejati

Pada akhirnya, kita harus sungguh sadar, bahwa “buku-buku yang dianggap suci” tersebut adalah jalan menuju Tuhan. Ia adalah sekedar alat. Isi dari buku-buku itu tidaklah boleh dituhankan, atau dipercaya secara buta. Jika isinya justru menjauhkan kita dari cinta kasih dan kebijaksanaan, maka buku tersebut haruslah dibaca dengan cara berbeda, atau disingkirkan.

Kita juga tak boleh lupa, bahwa perjalanan spiritual haruslah melampaui semua bentuk buku. Kita harus menyentuh yang melampaui kata dan konsep, yakni Tuhan itu sendiri. Inilah puncak tertinggi perjalanan spiritual. Jangan sampai buku-buku yang dianggap suci membuat kita melekat dan tersesat, sehingga tak mampu menyentuh Tuhan secara langsung.

Menyentuh Tuhan berarti menyentuh cinta universal itu sendiri. Kita bersentuhan dengan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Lalu, kita bisa bertindak sesuai dengan kebutuhan. Jika perlu tegas dan keras, demi keadilan dan kemanusiaan, kita akan melakukannya. Jika perlu lembut dan penuh kehangatan, kita juga akan melakukannya.

Jika semua orang membaca buku-buku yang dianggap suci dengan tepat, maka tidak akan ada kebodohan dan konflik atas nama agama. Dunia akan jauh lebih baik. Agama bisa membawa berkah kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Bukankah itu yang kita semua inginkan?

***