Menolong mahluk lain berarti kita menolong diri sendiri. Sudah lama disadari oleh para ahli, bahwa kita perlu banyak menolong, justru ketika kita membutuhkan pertolongan.
Maka, memberi berarti menerima, karena sesungguhnya, tak ada perbedaan antara si pemberi dan penerima. Pengorbanan pun, sesungguhnya, tak pernah ada.
Hal serupa terjadi, jika kita menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain, atau mahluk lain, berarti kita menyakiti diri sendiri.
Pertengahan Mei 2021, cuaca dingin pagi hari di Ubud, Bali menusuk ke tulang. Namun, tekad saya sudah bulat.
Saya akan berangkat di pagi hari, ketika sepi, untuk mengunjungi Gunung Batur di Kintamani, Bali. Matahari baru saja tampil menampakkan diri.
Pada saat yang sama, warga Bali sudah bangun, dan sibuk berkegiatan. Kebanyakan berkegiatan di sekitar Pelinggih, yakni tempat pemujaan yang ada di setiap rumah Bali, jalan raya maupun sawah.
Mereka mebanten, atau menghaturkan saji kepada Yang Mahakuasa. Persembahan dihanturkan sebagai simbol syukur sekaligus mohon perlindungan bagi kehidupan selanjutnya.Kehidupan dilihat sebagai sebuah berkah. Manusia masih diperbolehkan oleh Yang Kuasa untuk menjalani satu hari lagi di bumi pertiwi ini.
Kehidupan juga dilihat sebagai kesempatan untuk mempersembahkan diri dalam bentuk perbuatan-perbuatan baik. Jika ajal tiba, orang bisa lahir di keadaan yang lebih baik pada kehidupan berikutnya.
Menghaturkan persembahan bisa dilakukan kapan pun sepanjang hari. Ini tentunya terngantung pada kesibukan masing-masing orang.
Salah satu persembahan yang dihanturkan disebut juga sebagai canang. Canang sendiri berarti sesuatu yang bertujuan indah. Ca berarti indah, dan Nang berarti tujuan (Arina, 2019)
Dari segi bentuk, canang keseharian sangatlah mungil. Kita bisa melihatnya di berbagai sudut Pulau Bali, atau rumah orang Bali di seluruh penjuru dunia.
Bentuknya pun beragam, sesuai dengan tujuan dari konteksnya. Ada canang yang dihanturkan di Pura, tempat usaha, rumah, jalanan bahkan kendaraan.
Ia terbuat dari berbagai jenis bunga warna warni, dupa dan daun kelapa muda, atau janur. Ia dihaturkan di atas ceper, atau tempat kecil. Detilnya amat tergantung pada upacara apa yang akan dilaksanakan, atau untuk tujuan apa canang tersebut dibuat.
Membuat canang tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keterampilan, waktu dan uang untuk membuatnya.
Walaupun rumit, ia dibuat dan dihaturkan dengan hati yang bebas dari beban. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran maupun rasa syukur pada Yang Kuasa.
Canang kemudian dipadu dengan dupa, bunga warna warni yang segar serta percikan air suci. Ia pun menjadi wangi, dan sedap dipandang mata.
Inilah alasan, mengapa Bali penuh dengan wangi dupa hampir di setiap sudutnya. Di beberapa upacara besar, canang dipadukan dalam susunan yang amat rumit, sehingga ia tampak begitu indah dan agung.
Namun, di mayoritas kesempatan, sesaji dihaturkan dalam hening. Tidak ada ribut-ribut di dalamnya.
Tidak ada hari libur nasional. Tidak ada kehebohan yang mengundang keramaian, terutama di tengah pandemi COVID 19 ini.
Di saat-saat baik, persembahan dihaturkan. Rasa syukur menjadi dorongan utamanya.
Di masa krisis, seperti sekarang ini, persembahkan tetap dengan setia dan rajin dihaturkan. Yang dimohonkan adalah kekuatan untuk melampaui krisis, serta keselamatan untuk terus hidup di kemudian hari.
Dari segi hukum agama, masyarakat Bali wajib menghaturkan persembahan setiap harinya. Di sisi yang lebih luas, Bali sendiri adalah persembahan untuk Indonesia, dan juga untuk dunia.
Pesona alamnya adalah persembahan bagi bagi jutaan seniman maupun pencari spiritual yang memperoleh inspirasi darinya, baik lokal maupun internasional. Pesona budayanya menjadi persembahan bagi orang-orang yang mengalami kehampaan makna, atau hendak bangkit dari bencana.
Bali pun menyumbang besar untuk reputasi Indonesia di mata dunia. Sudah tak terhitung berapa kali ketika di Eropa, saya menyebut asal saya (Indonesia), dan orang langsung menyebut Bali.
Dalam beberapa kesempatan, beberapa orang tak percaya, jika Bali adalah bagian dari Indonesia. Saya kerap kali merasa serupa. Keindahan alam dan budaya Bali tak layak untuk Indonesia yang dipimpin oleh rezim yang menindas, ditikam radikalisme agama serta korup sampai ke akarnya.
Namun, di dalam persembahan, sesungguhnya tidak ada yang dirugikan. Di dalam pengorbanan, semua pihak akan mendapatkan keuntungan.
Yang dipersembahkan memperoleh penghormatan. Yang mempersembahkan memperoleh kesempatan untuk berbuat baik.
Lagi pula, segala hal di alam semesta adalah satu dan sama. Seluruhnya adalah satu energi yang maha besar, dan abadi.
Bentuknya saja yang beragam. Ada bintang, planet, manusia, hewan dan sebagainya.
Maka, memberi berarti menerima, karena sesungguhnya, tak ada perbedaan antara si pemberi dan penerima. Pengorbanan pun, sesungguhnya, tak pernah ada.
Hal serupa terjadi, jika kita menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain, atau mahluk lain, berarti kita menyakiti diri sendiri.
Menolong mahluk lain berarti kita menolong diri sendiri. Sudah lama disadari oleh para ahli, bahwa kita perlu banyak menolong, justru ketika kita membutuhkan pertolongan.
Dengan kesadaran ini, ditemani hening dingin di pagi hari, saya melanjutkan perjalanan. Gunung Batur sudah menanti.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews