Persembahan Abadi dari Bali

Menolong mahluk lain berarti kita menolong diri sendiri. Sudah lama disadari oleh para ahli, bahwa kita perlu banyak menolong, justru ketika kita membutuhkan pertolongan.

Rabu, 28 Juli 2021 | 07:48 WIB
0
103
Persembahan Abadi dari Bali
Ilustrasi sesajen di Bali (Foto: Istimewa)

Maka, memberi berarti menerima, karena sesungguhnya, tak ada perbedaan antara si pemberi dan penerima. Pengorbanan pun, sesungguhnya, tak pernah ada.

Hal serupa terjadi, jika kita menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain, atau mahluk lain, berarti kita menyakiti diri sendiri.

Pertengahan Mei 2021, cuaca dingin pagi hari di Ubud, Bali menusuk ke tulang. Namun, tekad saya sudah bulat.

 Saya akan berangkat di pagi hari, ketika sepi, untuk mengunjungi Gunung Batur di Kintamani, Bali. Matahari baru saja tampil menampakkan diri.

Pada saat yang sama, warga Bali sudah bangun, dan sibuk berkegiatan. Kebanyakan berkegiatan di sekitar Pelinggih, yakni tempat pemujaan yang ada di setiap rumah Bali, jalan raya maupun sawah.

Mereka mebanten, atau menghaturkan saji kepada Yang Mahakuasa. Persembahan dihanturkan sebagai simbol syukur sekaligus mohon perlindungan bagi kehidupan selanjutnya.Kehidupan dilihat sebagai sebuah berkah. Manusia masih diperbolehkan oleh Yang Kuasa untuk menjalani satu hari lagi di bumi pertiwi ini.

Kehidupan juga dilihat sebagai kesempatan untuk mempersembahkan diri dalam bentuk perbuatan-perbuatan baik. Jika ajal tiba, orang bisa lahir di keadaan yang lebih baik pada kehidupan berikutnya.

Menghaturkan persembahan bisa dilakukan kapan pun sepanjang hari. Ini tentunya terngantung pada kesibukan masing-masing orang.

Salah satu persembahan yang dihanturkan disebut juga sebagai canang. Canang sendiri berarti sesuatu yang bertujuan indah. Ca berarti indah, dan Nang berarti tujuan (Arina, 2019)

Dari segi bentuk, canang keseharian sangatlah mungil. Kita bisa melihatnya di berbagai sudut Pulau Bali, atau rumah orang Bali di seluruh penjuru dunia.

Bentuknya pun beragam, sesuai dengan tujuan dari konteksnya. Ada canang yang dihanturkan di Pura, tempat usaha, rumah, jalanan bahkan kendaraan.

Ia terbuat dari berbagai jenis bunga warna warni, dupa dan daun kelapa muda, atau janur. Ia dihaturkan di atas ceper, atau tempat kecil. Detilnya amat tergantung pada upacara apa yang akan dilaksanakan, atau untuk tujuan apa canang tersebut dibuat.

Membuat canang tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keterampilan, waktu dan uang untuk membuatnya.

Walaupun rumit, ia dibuat dan dihaturkan dengan hati yang bebas dari beban. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran maupun rasa syukur pada Yang Kuasa.

Canang kemudian dipadu dengan dupa, bunga warna warni yang segar serta percikan air suci. Ia pun menjadi wangi, dan sedap dipandang mata.

Inilah alasan, mengapa Bali penuh dengan wangi dupa hampir di setiap sudutnya. Di beberapa upacara besar, canang dipadukan dalam susunan yang amat rumit, sehingga ia tampak begitu indah dan agung.

Namun, di mayoritas kesempatan, sesaji dihaturkan dalam hening. Tidak ada ribut-ribut di dalamnya.

Tidak ada hari libur nasional. Tidak ada kehebohan yang mengundang keramaian, terutama di tengah pandemi COVID 19 ini.

Di saat-saat baik, persembahan dihaturkan. Rasa syukur menjadi dorongan utamanya.

Di masa krisis, seperti sekarang ini, persembahkan tetap dengan setia dan rajin dihaturkan. Yang dimohonkan adalah kekuatan untuk melampaui krisis, serta keselamatan untuk terus hidup di kemudian hari.

Dari segi hukum agama, masyarakat Bali wajib menghaturkan persembahan setiap harinya. Di sisi yang lebih luas, Bali sendiri adalah persembahan untuk Indonesia, dan juga untuk dunia.

Pesona alamnya adalah persembahan bagi bagi jutaan seniman maupun pencari spiritual yang memperoleh inspirasi darinya, baik lokal maupun internasional. Pesona budayanya menjadi persembahan bagi orang-orang yang mengalami kehampaan makna, atau hendak bangkit dari bencana.

Bali pun menyumbang besar untuk reputasi Indonesia di mata dunia. Sudah tak terhitung berapa kali ketika di Eropa, saya menyebut asal saya (Indonesia), dan orang langsung menyebut Bali.

Dalam beberapa kesempatan, beberapa orang tak percaya, jika Bali adalah bagian dari Indonesia. Saya kerap kali merasa serupa. Keindahan alam dan budaya Bali tak layak untuk Indonesia yang dipimpin oleh rezim yang menindas, ditikam radikalisme agama serta korup sampai ke akarnya.

Namun, di dalam persembahan, sesungguhnya tidak ada yang dirugikan. Di dalam pengorbanan, semua pihak akan mendapatkan keuntungan.

Yang dipersembahkan memperoleh penghormatan. Yang mempersembahkan memperoleh kesempatan untuk berbuat baik.

Lagi pula, segala hal di alam semesta adalah satu dan sama. Seluruhnya adalah satu energi yang maha besar, dan abadi.

Bentuknya saja yang beragam. Ada bintang, planet, manusia, hewan dan sebagainya.

Maka, memberi berarti menerima, karena sesungguhnya, tak ada perbedaan antara si pemberi dan penerima. Pengorbanan pun, sesungguhnya, tak pernah ada.

Hal serupa terjadi, jika kita menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain, atau mahluk lain, berarti kita menyakiti diri sendiri.

Menolong mahluk lain berarti kita menolong diri sendiri. Sudah lama disadari oleh para ahli, bahwa kita perlu banyak menolong, justru ketika kita membutuhkan pertolongan.

Dengan kesadaran ini, ditemani hening dingin di pagi hari, saya melanjutkan perjalanan. Gunung Batur sudah menanti.

***