Kabaperan dalam Bermedsos

Apakah buzzer bayaran (hanya) milik Jokowi, atau Pemerintah, dan memakai APBN? Di dunia maling, teknik bluffing yang sering dipakai ialah ‘maling teriak maling’, atau ‘copet teriak copet’.

Sabtu, 20 Februari 2021 | 07:16 WIB
0
170
Kabaperan dalam Bermedsos
Buzzer (Foto: kumparan.com)

Di jaman teknologi digital, urusan ‘foto editan’ bisa jadi perbincangan politik. Dari sini, kita akan tahu bagaimana proses kelahiran penumpang gelap di jaman disrupsi informasi. Yang membuat kita baperan, dan mudah menuding ‘BuzzerRp’, bahkan tudingan itu dilakukan oleh buzzer bayaran karena haluan politiknya berbeda.

Debat-kusir photo Gunung Pangrango, hanya contoh kecil perdebatan media kita. Tapi debat kusir platform medsos pun bisa menyeret ormas macam MUI dan lembaga yang berani menamakan dirinya Dewan Pers.

Demikian pula para ortu yang gagal dalam karir politik, terutama yang bangga tapi baperan jadi oposan. Sering menunjukkan kedunguan mereka dalam berkomunikasi di abad berubah ini. Kedunguan itu termasuk dilakukan oleh manusia yang suka menuding orang lain dungu. Padal, hanya dia yang dungu, dan pengikutnya tentu.

Sementara, perubahan bukan sesuatu yang menyenangkan, bagi mereka yang mau mempertahankan kekuasaannya, dan sedang berada di zona nyaman. Lebih karena ketidakmampuannya untuk beradaptasi atau berubah pula. Di semua level, termasuk elite politik, lembaga media, bahkan kalangan akademik itu sendiri.

Senyampang itu, masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Fenomena ini tentunya didukung karena munculnya teknologi digital, yang memudahkan aktivitas masyarakat.

Kemudahan itu, yang tidak pernah dilihat sebagai sebab-musabab, ketika pada sisi lain kita mengeluhkan mengenai tingkat kualitas SDM kita, kualitas kompetensi dan kompetisi kita. Kemampuan literasi masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif rendah. Belum lagi lemahnya kebijakan pemerintah, di sektor pendidikan, pendataan, serta UU serta peraturan mengenai komunikasi digital .

Dari situasi-situasi semacam itu, wajar jika yang terjadi adalah keriuhrendahan komunikasi dan informasi. Lebih besar dampak buruk daripada dampak baiknya. Karena rasa frustrasi, kemudian muncul sebutan ‘BuzzerRp’, yang oleh MUI hal itu disebutkan sebagai haram. Bahkan Dewan Pers menyatakan semestinya hal itu ditiadakan atau dilarang. Belum pula, yang nampak a-historis, para oposan Jokowi, menuding yang memusuhi mereka sebagai ‘BuzzerRp’.

Celakanya, para penuduh itu sebagiannya adalah buzzer bayaran dari pihak kepentingan politik yang memusuhi Jokowi. Padal, kelahiran ‘buzzer’ di Indonesia tak lepas dari praktik politik elite yang jadi penumpang gelap dalam proses demokratisasi kita.

PKS, sebuah partai kader dengan ideologi agama, adalah partai yang paling sadar untuk menggunakan ‘disrupsi informasi’, dengan merekrut 500.000 kadernya pada tahun 2011. Sebagaimana dikatakan Anies Matta, Presiden PKS waktu itu, untuk meraih 3 besar dalam Pemilu 2014.

Dalam Pilpres 2014, PKS memegang kendali pemenangan kampanye Capres Prabowo-Hatta Radjasa. Untuk itu PKS mendapatkan gelontoran dana besar, yang tentu tidak mudah (dan tidak mungkin) diaudit. Mulai Pilpres 2014 itu pula, muncul fenoemena hoax, hate speech, plintiran media, meme, merasuk massif di medsos. Korban terbesar dalam Pilpres 2014, capres Jokowi dengan tudingan anak PKI, keturunan China, bukan beragama Islam, dan seterusnya dan sebagainya.

Fenomena 2014 itu memakan korban Ahok di tahun 2017, dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Sehingga wajar jika dalam situasi itu yang tak layak pilih bisa terpilih.
Di Indonesia, elite politik adalah penumpang gelap terbesar proses disrupsi informasi itu.

Revolusi Industri 4.0 yang mestinya mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang, ditumpangi kepentingan praktis dunia politik. Mereka membajak buzzer information untuk membangun dan merusak citra.

Dalam teori bisnis, dikenal istilah “inovasi disruptif” (disruptive innovation). Inovasi yang menciptakan pasar baru dan jaringan nilai, yang akhirnya mengganggu pasar dan jaringan nilai yang ada (lama). Menggantikan perusahaan, produk, dan aliansi terkemuka di pasar yang sudah mapan.

Disrupsi di bidang politik, misal kampanye yang kini lebih meriah di media sosial, dengan daya jangkau audiens jauh lebih luas dan merata. Kampanye di medsos, seperti “perang tagar” dan “tweet war” (twar) lebih seru ketimbang orasi di lapangan terbuka dengan ribuan orang.

Namun karakter media yang menuntut perubahan penyikapan itu, tak mendapatkan respons memadai. Di samping karena sikap mental ‘masih analog’, juga tiadanya frame of view yang jelas dari sisi regulasi Pemerintah. Di situ buzzer bayaran bisa tumbuh sebagai konsekuensi ketidaksiapan kita.

Apakah buzzer bayaran (hanya) milik Jokowi, atau Pemerintah, dan memakai APBN? Di dunia maling, teknik bluffing yang sering dipakai ialah ‘maling teriak maling’, atau ‘copet teriak copet’. Karena dalam area politiklah lahir buzzer dalam pengertian negatif. Yakni hanya berideologi merusak citra (lawan). Bukan membangun sistem citra menemukan jalan kebenarannya. Dengan prestasi, reputasi, dan sejenis-jenis itu.

Pendiri Alibaba, Jack Ma, mengatakan fungsi guru pada era digital berbeda dibandingkan guru masa lalu. Kini, guru tak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita, apalagi yang pelupa dan baperan.

Karena itu, fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai, etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman, yang tak dapat diajarkan oleh Google atau mesin pencari. Sayangnya, ortu yang tak terdidik wajar pula jika tak bisa mendidik. Dan bisanya main larang ini-itu, haram, kafir, dan sejenisnya.

Jika disrupsi di berbagai bidang tak berhasil diantisipasi, bahkan melahirkan ortu-ortu ortodoks, tapi maunya terus berkuasa, yang bangkrut bukan hanya mereka, tetapi Indonesia secara keseluruhan. Kalau capres kita besok ketemu orang jadul, masih ada MUI dan Dewan Pers yang kek sekarang, juga SJW (social; joker warrior) yang sok pintar tapi strategi politiknya masih nasbung, bonus demografi kita tak bisa dipetik di 2045.

Kalau kita teriak-teriak soal new-era atau new-normal, tapi masih baperan dalam ber-medsos (maunya melarang-larang dan mengharamkan doang), itu artinya akan tetap ada orang dungu teriak dungu, maling teriak maling, copet teriak copet, buzzer bayaran teriak buzzer-rp. Dan buruk muka cermin pun digadaikan.

@sunardianwirodono