Mutiara Pancasila di Kaki Gunung Meja

Di pesantren ini doktrin tauhid ditafsirkan sebagai kesatuan asal dan kesatuan tujuan dari semua makhluk, untuk menjaga dan memuliakan hidup yang utuh.

Rabu, 11 September 2019 | 19:29 WIB
0
438
Mutiara Pancasila di Kaki Gunung Meja
Dua santriwati Pondok Pesantren Walisongo menyanyi diiringi Frate (Foto: Dok pribadi)

Betapapun perbedaan yang mewarisi identitas kita, sesungguhnya kita dihubungkan dalam jaringan penciptaan yang satu, dengan menjunjung tujuan hidup bersama. 

Di usia kemerdekaan yang sudah mencapai angka 74, bangsa Indonesia masih dihadapkan pada kasak-kusuk persoalan kekerasaan atas nama radikalisme agama dan kepercayaan serta ras.

Di dunia maya, menggunakan akun palsu atau asli, masyarakat terpecah-belah ke dalam kelompok-kelompok, melakukan debat kusir, saling balas-membalas komentar, disertai dengan hujatan dan umpatan.

Di dunia maya, kekerasan berbasis SARA mendapatkan tempat yang pas sebagai tempat persemaian intolerasi. Sarkasisme tumbuh paling subur. Sedihnya, perilaku di dunia maya tersebut bermuara ke dunia nyata yang memunculkan kekerasan dan intoleransi. 

Semua hal ini tentu saja menjadi kecemasan kita bersama. Negara mesti waspada akan ancaman teroris yang sesungguhnya.

Untungnya, di tengah kegalauan di atas, masih ada banyak harapan, salah satunya dari Pondok Pesantren Walisongo di kaki Gunung Meja, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Dari pondok pesantren yang sangat bersahaja ini terdapat benih-benih kerukunan yang terus dijaga, dan dipelihara menjadi pohon rindang yang menghembuskan angin kedamaian dan membawa kesejukan bagi Indonesia.

Hembusan angin kedamaian dan semangat menjunjung toleransi sangat nyata terlihat begitu memasuki area pondok Pesantren Walisongo. Sekelompok santri berbaju koko didampingi dua orang Frater (calon imam/pastor) bergamis putih menyambut kedatangan kami di halaman masjid As-Syukur. 

Masjid tersebut merupakan salah satu bangunan, selain asrama santri dan sekolah, yang berada di komplek pesantren yang dipimpin oleh Siti Halimatus Sadiyah, putri dari pendiri pesantren, Alm K.H Mahmud EK.

Dari perbincangan beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa keberadaan 2 orang frater tersebut bukan sekedar bagian dari tim penyambutan. 

Kedua orang frater tersebut berada di pondok pesantren sebagai bagian dari kerjasama antara Pondok Pesantren Walisongo dan  konggregasi Serikat Sabda Allah - Societas Verbi Devini (SVD) yang sudah berlangsung sejak masa awal pendirian pondok pesantren. Mereka mengajar musik, bahasa Inggris dan komputer.

Bukan hanya menjadi guru, seperti dikatakan pengasuh pondok pesantren Siti Halimatus Saidayah atau oleh para santri biasa dipanggil Ibu Nona, Frater yang mondok di pesantren tersebut juga diberi tanggung jawab untuk mengurus asrama dan mendampingi anak-anak belajar, termasuk membangunkan santri untuk sholat Subuh.

"Benar sekali, setiap pagi, bersama para santri lain saya ikut membantu membangunkan para santri dan penghuni asrama untuk melakukan sholat Subuh. 

Setelah itu saya kembali sejenak ke SVD untuk melakukan pelayanan Jemaah, baru kembali ke pondok untuk mengajar dan membantu pengurusan lainnya di pondok, termasuk belanja ke pasar untuk membeli bahan makanan pokok untuk konsumsi di pondok," ujar Frater Morgan salah seorang frater yang mondok di Pesantren.

"Para Frater tersebut kami 'magangkan' di pondok pesantren agar mereka bisa belajar mengenai Islam yang sesungguhnya, bukan Islam seperti yang sering muncul di media sosial. 

Sehingga saat mereka nanti menjalankan penugasan gereja ke berbagai tempat, termasuk ke luar negeri, mereka bisa menjelaskan mengenai Islam yang yang ramah, bukan Islam yang marah," ujar Romo Lukas Aja, pimpinan SVD Ende.

Dari penuturan di atas, terlihat bahwa kerukunan antar umat beragama di pondok pesantren ini sejatinya telah terjalin dengan baik sejak lama. Tidak ada pertentangan antar agama karena kuatnya sikap toleransi antar warga Muslim dan Katholik. 

Mereka hidup rukun dan harmonis meski memiliki keyakinan agama yang berbeda. Dan malam itu keharmonisan di pondok pesantren diperlihatkan dengan apik antara lain lewat tembang "Zaenudin Nachiro" dan "Ya Maulana" yang dibawakan para santriwati dan diiringi petikan gitar Frater Morgan.

Semua keharmonisan tersebut di atas tentu saja tidak terlepas dari ketekunan dan tangan dingin Alm. K.H Mahmud EK yang mendirikan pondok Pesantren Walisongo pada sekitar tahun 1980-an.   

"Pesantren Walisongo didirikan Abah (Alm. K.H Mahmud EK) di atas tanah seluas 3 hektar pada sekitar akhir tahun 1980an, antara lain berkat bantuan Kakak Taufik (Razen).  Sejak awal berupaya membangun sikap toleran dan gotong royong kepada sekitar 200-an anak asuhnya, yang sebagian besar di antaranya merupakan anak-anak terlantar dan tidak mampu. Bahkan banyak di antaranya tidak mengenal siapa orang tuanya," papar Ibu Nona. 

"Dengan semangat bergotong-royong, Abah mendirikan pesantren ini untuk menampung anak-anak kurang mampu di Ende dan sekitarnya. Abah tidak pernah memungut biaya dan tidak pernah mempertanyakan latar belakang anak-anak terlantar tersebut," ujar ibu Nona menambahkan

"Abah percaya bahwa setiap anak bisa mandiri dan layak untuk menata kehidupan masa depannya, tanpa terjebak pada masa lalu orang tuanya. Karena itu Abah hanya berniat menampung anak-anak terlantar tersebut, membekalinya dengan ajaran dan pengetahuan agama Islam serta memberikan pelatihan ketrampilan. 

Tujuannya agar anak-anak tersebut memiliki bekal agama dan dapat menghidupi dirinya sendiri dengan ketrampilan yang dikuasainya," demikian ditambahkan oleh Ibu Nona lebih lanjut. 

"Awal pendirian dan pengelolaan pondok Pesantren Walisongo tidaklah mudah. Berbekal dana dari kocek sendiri dan donasi berbagai pihak, Abah mulai merintis pembangunan pesantren dengan antara lain membabat hutan di bawah kaki Gunung Meja, mencari tenaga pengajar dan mencari dana untuk kegiatan pesantren dan lain sebagainya. Selama proses tersebut saya tidak pernah melihat Abah bercerita mengenai kesulitan yang dihadapinya." ujar Ibu Nona

Pernyataan Ibu Nona diperkuat oleh pendapat Budayawan Taufik Razen. "Saya ingat betul, pada sekitar tahun 1986 saya berkunjung ke tempat ini dan bertemu dengan Alm. 

Mahmud EK yang merupakan sahabat almarhum ayah saya sejak lama. Pada saat itu kami sering berjalan menyusuri kali mati kawasan di kaki Gunung Meja dan membicarakan berbagai hal, termasuk membangun tempat pendidikan di kaki Gunung Meja. 

Setelah beberapa waktu, kami akhirnya menemukan tempat ini yang dianggap cocok sebagai "pesantren" bagi anak-anak tidak mampu," ujar Taufik 

"Berbekal antara lain dari sisa uang hasil pameran sekitar USD 7.000, kami berhasil membeli lahan seluas sekitar 3 hektar," ujar Taufik lebih lanjut.

"Lama tidak berjumpa, pada awal tahun 2000-an saya kembali berkunjung ke Ende dan mampir ke tempat pak Mahmud. Saya kaget bahwa ternyata tanah kosong di kawasan kaki Gunung Meja sudah berubah menjadi pondok pesantren modern dengan bangunan masjid dan asrama yang permanen," papar Taufik  

"Rupanya dengan tekun Pak Mahmud membangun dan mengembangkan pondok pesantren, yang diberi nama Pondok Pesantren Walisongo. Dulu saya ingat, anak-anak ditampung di tenda-tenda darurat. Tapi sekarang mereka sudah tinggal di bangunan asrama bertingkat tiga dan belajar di madrasah berlantai tiga," ujar Taufik kemudian. 

Menyikapi pendirian pondok pesantren Walisongo dan "ketidaklazimannya" untuk menerima frater sebagai guru, tanpa khawatir para santri akan terpapar ajaran Katholik, Taufik Razen mengatakan bahwa "pada fase tertentu, setiap orang atau komunitas akan kembali pada nilai dasar kehidupan bersama. 

Salah satu nilai adalah kesatuan penciptaan yang tercermin dalam sila pertama dan ketiga Pancasila yaitu Ketuhanan dan Persatuan. Betapapun perbedaan yang mewarisi identitas kita, sesungguhnya kita dihubungkan dalam jaringan penciptaan yang satu, dengan menjunjung tujuan hidup bersama yang satu."

Ditambahkan oleh Taufik bahwa pondok pesantren Walisongo adalah lembaga pendidikan yang sejak pendiriannya menganut faham kesatuan penciptaan. Doktrin Tauhid ditafsirkan sebagai kesatuan asal dan kesatuan tujuan dari semua makhluk, untuk menjaga dan memuliakan hidup yang utuh. 

Segala perbedaan etnis, warna kulit, bahasa dan agama hanyalah pijakan untuk menuju tujuan yang sama. Dalam bahasa sang pendiri Pondok Pesantren Walisongo, Alm KH Mahmud EK, "... jika kita mendaki Gunung Meja dari manapun kita bermula, dengan niat mendaki yang sama, maka kita akan mencapai puncak yang sama."

***

Keterangan: Tulisan sebelumnya telah tayang di Kompasiana.com dengan judul yang sama.