Pak Jokowi hadirlah dengan lebih pasti lagi, supaya kita tidak berlari di tanah yang sama dengan ketakutan lama… Selesaikanlah bencana ini dengan kekuasaan Anda.
Terbit sebelumnya dengan sampul kontroversial bergambarkan Presiden Joko Widodo dengan bayangan hidung panjang, kali ini Tempo edisi 23-29 September terbit dengan laporan utama seputar kebakarah hutan dan lahan di Riau. Sampulnya berisi ilustrasi Jokowi dan orangutan sedang bersalaman sementara api menyala di punggung keduanya.
Penggemar musik rock lawas era 1970-1980-an tentu tahu bahwa ilustrator Tempo, Kendra Paramita mengambil ide dari sampul album rock “Wish You Were Here” band rock Pink Floyd (gambar kanan). Projek disain cover itu dilakukan oleh Hipgnosis bentukan Storm Thorgerson, yang mejadi rekan kreatif Pink Floyd.
Cover ini sebetulnya merupakan kritik Pink Floyd kepada para pengusaha rekaman yang tidak adil dalam berbisnis dengan para musisi. Thorgerson terinspirasi oleh para seniman “silent majority” yang takut bicara tentang royalti yang murah. Mereka takut “dibakar” (getting burned) oleh para industriawan musik. Kalau “dibakar”, para seniman itu kehilangan kesempatan pekerjaan. Jadi mending diam dengan royalti murah.
Pink Floyd dan Thiorgerson ingin mengubah nasib musisi, maka dibuatlah cover ini. Dalam cover album Wish You Were Here, dua stuntmen Ronnie Rondels (pria yang terbakar) dan Danny Rogers memerankan dua tokoh itu. Lokasi pemotretan adalah Warner Bros Studio Los Angeles. Tadinya Rondels berada di sebelah kiri. Namun karena angin berubah arah, Rondels pindah ke sebelah kanan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Tempo?
Dan fotografer Aubrey “Po” Powel mengabadikannya dalam hitungan detik. Kemudian, foto itu di-reverse, sehingga menjadi bentuk yang seperti di atas. Dalam proses itu, kumis dan alis Rondels dikabarkan terbakar, tapi dia selamat.
Pink Floyd memang fenomenal. Adalah Syd Barret yang mendirikan grup beraliran psychedellic rock ini pada 1965. Personel lainnya Roger Waters (vokal, bass), David Gilmour (gitar), Richard Wright (keyboard), Bob Klose, dan Nick Mason (drum). Barret dan Klose mundur, sehingga Pink Floyd beranggotakan empat orang saja sampai grup ini bubar pada 2014.
Terbedakan dari karakter eksperimen suara (sonic experiment), live show yang detail dan rumit (elaborate) Pink Floyd dikenal dengan lirik-lirik filosofis dan kritis. Mereka misalnya menulis lagu “Us and Them” yang menolak perang Vietnam.
Tahun 1980, rezim Apartheid Afrika Selatan melarang album Another Brick on the Wall (2). Lagu itu mengkritik keras sistem pendidikan inferior kulit hitam.
We don’t need no education
We don’t need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers leave them kids alone
Hey, teachers, leave them kids alone
All in all it’s just another brick in the wall
All in all you’re just another brick in the wall
Tapi Roger Waters si penulis lirik, juga menggunakan lagu the Wall ini sebagai alat protes dia terhadap Israel. Tentu saja, karena Israel memasang dinding, atau setidaknya pagar-pagar yang memisahkan anak-anak Palestina di tanahnya sendiri. Malah Waters sendiri adalah penyeru paling depan gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions terhadap Israel .
Baca Juga: "Tempo" Riwayatmu Kini, Terpojok tanpa Pembelaan Suara Pakar
Tentang Wish You Were Here, lirik ini ditulis bareng Roger Waters dengan David Gilmour. Syair ini ditulis untuk Syd Baret yang kecanduan obat-obat terlarang. Syd Barret keluar dari Pink Floyd karena alasan harus menjalani perawatan mental. Namun, ada yang mengatakan juga bahwa Baret ditendang keluar oleh keempat personel Pink Floyd lainnya.
So, so you think you can tell
Heaven from hell
Blue skies from pain
Can you tell a green field
From a cold steel rail?
A smile from a veil?
Do you think you can tell?
Did they get you to trade
Your heroes for ghosts?
Hot ashes for trees?
Hot air for a cool breeze?
Cold comfort for change?
Did you exchange
A walk on part in the war
For a lead role in a cage?
How I wish, how I wish you were here
We’re just two lost souls
Swimming in a fish bowl
Year after year
Running over the same old ground
And how we found
The same old fears
Wish you were here
(Ingin rasanya menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, tapi saya tidak berani, takut maknanya hilang).
Tempo via Kendra Paramita mungkin ingin menanyakan hal-hal yang sama yang tertulis dalam syair itu kepada Jokowi. Sang orangutan bertanya kepada Jokowi:
Pak, apakah bapak bisa merasakan bedanya surga dari neraka?
Atau bedanya langit biru dari rasa sakit?
Mengapa pahlawan-pahlawan itu kini berubah jadi hantu?
Mengapa abu panas sudah menggantikan pohon, udara sejuk menjadi panas?
Pak… Mengapa kita ini seperti dua ikan mungil yang tersesat di dalam mangkok kecil?
Tahun demi tahun kita berlari di tanah yang sama dengan ketakutan yang sama?
Kami ingin (kepemimpinan) bapak hadir di sini.
Jadi album cover Wish You Were Here adalah kritik kepada kaum kapitalis indistri rekaman. Sedangkan lirik Wish You Were Here adalah adalah untuk Syd Barret. Namun, saya yakin, Kendra tidak bermaksud mengasosiasikan Pak Jokowi dengan Syd. Tapi kondisi yang ingin disampaikan ada dalam lirik Wish You Were Here. Jokowi harus menghentikan para pengusaha pembakar hutan yang berhasil membungkam para pejabat, karena takut “getting burned.”
Pak Jokowi hadirlah dengan lebih pasti lagi, supaya kita tidak berlari di tanah yang sama dengan ketakutan lama… Selesaikanlah bencana ini dengan kekuasaan Anda.
***
Keterangan" artikel telah tayang sebelumnya di personal blog Budhiana.id.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews