Hoax Lee Kuan Yew

Kamis, 14 Maret 2019 | 22:09 WIB
0
2297
Hoax Lee Kuan Yew
Ilustrasi (Foto: Facebook/Satria Dharma)

“Pak Mohon maaf mengganggu. Saya hanya ingin tahu gambar yang di atas itu hoax atau bukan. Maklum… lagi mau klarifikasi sama teman. Panjenengan 'kan ahlinya mirsani hoax atau bukan. Matur nuwun…!”

Seorang teman yang sangat jarang menghubungi saya tiba-tiba mengirim sebuah gambar Lee Kuan Yew dengan narasi, “Kalian tak mungkin MELAWAN PRIBUMI dengan SENJATA tapi kalian bisa MENGALAHKAN mereka dengan STRATEGI ADU DOMBA seperti itulah kami MENGUASAI Singapura.” Lee Kuan Yew. Kemudian ada tambahan di bawahnya : “Carilah orang-orang munafik karena mereka yang dapat engkau bayar.”

Begitu saya baca langsung saya jawab, “HOAX…!” 

“Caranya ngecek hoax apa nggak pripun nggih?” tanyanya. Tentu saja dia penasaran kok saya begitu baca langsung bisa memutuskan bahwa itu hoax atau bukan. Soalnya dia kan harus menjelaskan pada temannya yang mengirimi itu. (Percaya tidak bahwa hoax dan fitnah semacam ini justru banyak disebarkan pada WAG Pengajian…!).

Jelas sekali bahwa pernyataan demikian yang tidak jelas sumbernya adalah hoax. Siapa saja bisa membuat tulisan dan gambar seperti itu dengan sangat mudah dan jelas tidak mungkin seorang seperti Lee Kuan Yew akan membuat pernyataan seperti itu.

Sebetulnya hal yang segamblang begini tidak perlu ditanyakan. Tapi faktanya teman saya yang sebenarnya berpendidikan tinggi itu pun gamang menentukan apakah WA yang diterimanya itu hoax atau bukan dan perlu bertanya pada saya yang ‘ahlinya ahli, core of the core’ ini. 

Saya lalu jelaskan bahwa Singapura sejak dulu memang dihuni oleh mayoritas keturunan China dan bukan orang Melayu. Dulu Singapura itu satu negara dengan Malaysia tapi kemudian ‘dikhianati’ oleh Malaysia dengan mencampakkannya menjadi negara terpisah dari Malaysia. Jadi bukan kemauan Singapura untuk berpisah dengan Malaysia tapi Malaysia yang melepaskan Singapura karena daerah itu kumuh, tidak aman, miskin, dan banyaknya kerusuhan antar etnis.

Tapi orang yang tidak banyak membaca memang tidak pernah tahu sejarah ini sehingga mereka menelan saja apa pun kebohongan tentang Singapura yang katanya dulunya dikuasai oleh orang Melayu kemudian oleh karena kelicikan Lee Kuan Yew akhirnya mereka tersingkir dari Singapura.

Justru sebaliknya orang-orang Melayu Malaysialah yang memperlakukan keturunan China dengan tidak adil sehingga sering diprotes oleh partai politik utama Singapura yaitu People's Action Party yang sering menyuarakan ketidakpuasan mengenai keistimewaan kaum Bumiputera.

Parlemen Malaysia pun bersidang untuk memutuskan masa depan negeri yang terletak di sisi barat laut Borneo itu: dipertahankan atau disingkirkan.

Hasil sidang menetapkan seluruh anggota dewan sepakat untuk mendepak Singapura. “Ngaleh…Ojok melok aku,” demikian kata Malaysia. Tidak ada pilihan bagi negeri singa selain memulai hidup mandiri. Tanggal 9 Agustus 1965, Singapura resmi berdaulat dan merupakan satu-satunya negara yang merdeka bukan atas keinginan sendiri. Piye maneh wong dicampakkan dari negara perserikatannya. Mau tidak mau ya krengkalan sendiri mencari hidup. 

Perpisahan dengan Malaysia pada 1965 ini sungguh mengagetkan dan menyedihkan Lee Kuan Yew, sebagai pemimpin Singapura saat itu. Singapura saat itu sangatlah miskin. Ia hanya sebuah kota pelabuhan dari era kolonial yang bahkan masih penuh nyamuk di setiap pojoknya. Negara ‘a little dot’ itu tak punya daerah penyangga penghasil produk pangan. Bahkan untuk sumber air saja, Singapura harus bergantung pada Johor, negara bagian Malaysia.

“Bagaimana kami bisa hidup?” tulis Lee dalam bukunya The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew pada 1998. Negeri itu bahkan tak punya modal awal. Mesakke sak jane

Tapi sekarang Singapura begitu luar biasa dan itu semua jelas berkat kehebatan Lee Kuan Yew yang kini difitnah dengan semena-mena. Zizek, filsuf politik kontemporer asal Slovania dan pengkritik kapitalisme modern, bahkan menganggap Lee Kuan Yew sebagai sebuah ikon yang perlu dibuatkan patungnya ketika masih hidup.

Bagi dia, sang pendiri Singapura itu berhasil mengawinkan kapitalisme dan pemerintahan otoriter melebihi siapapun pada abad 20 dan awal abad 21 ini. Sekarang semua negara dan kota ingin belajar pada Singapura meski pun mereka tidak setuju dengan sikap otoritariannya.

Tapi orang-orang gila di luaran sana memang lebih suka memfitnah ketimbang belajar dari Lee Kuan Yew. Sayang sekali…! 

Surabaya, 14 Maret 2018

***