Saat menjadi Presiden, Megawati pernah instruksikan membangun landasan helikopter (Helipad) di Lembaga Pemasyarakat Nusakambangan di mana anak bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy) ditahan.
Saya teringat peristiwa naas pada Sabtu, 27 Juli 1996 di Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl. Pangeran Diponegoro No.58, RT.1/RW.2, Menteng, Kota Jakarta Pusat, kenapa sangat memorable bagi saya? Saat itu saya masih sebagai karyawan magang di sebuah majalah berita nasional di jalan MH Thamrin, hampir setiap hari melewati kantor pusat PDI itu.
Menjelang penyerbuan Kantor PDI tersebut, dari hari Senin - Jumat saat melintas, saya sering melihat kerumunan aktifis PDI Pro - Mega yang di halaman dan depan kantor tersebut paska penolakan terhadap Megawati sebagai Ketua PDI oleh rezim Orde Baru (Orba).
Sempat terpikirkan saat itu, kenapa penggerudukan kantor PDI oleh massa Pro- Soerjadi (Ketua PDI Konggres Medan) yang didukung aparat militer tersebut dilakukan pada hari Sabtu? Ternyata untuk menghindari kekacauan pada saat hari kerja, pada masa itu rezim Orde Baru digadang - gadang sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia.
Tentu pertimbangannya adalah kekacauan yang ditimbulkan bakal menganggu aktivitas bisnis di Jalan Pangeran Diponegoro dan sekitarnya, seperti kawasan Jalan Thamrin, Menteng, dan Sudirman yang posisinya tak terlalu jauh.
Pada hari senin, 29 Juli 1996 sejumlah media cetak menurunkan berita penyerbuan pendukung PDI Pro-Soerjadi ke Kantor PDI yang diduduki oleh massa Pro- Megawati. Sejumlah orang ditangkap, beberapa orang dikabarkan hilang dan menurut tuturan tetangga saya yang saat itu bekerja di RSCM ratusan orang meninggal di lokasi kejadian.
Namun sampai hari ini saya belum menemukan data pasti, berapa korban nyawa pada peristiwa tersebut, beberapa tahun lalu Komnas HAM pernah merilis data korban meninggal hanya 5 orang.
Sampai hari ini jumlah nyawa melayang dari peristiwa tersebut masih gelap, terbesit dalam pikiran saya, mengapa saat Megawati menjadi Presiden RI ke-4 tak berupaya mengungkap secara resmi peristiwa tersebut?
Dalam satu kesempatan diskusi dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Wasekjen, Ahmad Basarah di lokasi peristiwa berdarah 27 Juli 1996 itu, saya menangkap sebuah penjelasan, kenapa Megawati tak membalas dendam saat berkuasa.
Menurut Hasto, Megawati adalah Rekonsiliator sejati, beliau tidak mau mendendam terhadap pihak-pihak yang pernah menyakitinya dengan kejam.
Megawati tidak mau mewariskan dendam kepada bangsa ini. Mak Jleb, luar biasa keteladanan yang dicontohkannya sebagai seorang Pemimpin, bila mengingat cara - cara rezim Soeharto memperlakukan Ayahandanya, Presiden Soekarno yang diusir dari Istana Negara tak persiapan apapun
Sudah terbukti, di banyak media, buku - buku memori sejarah bercerita tentang bagaimana perlakuan rezim Orde Baru terhadap Keluarga Besar Soekarno termasuk Megawati jauh sebelum dia menjadi Ketua PDI terpilih di Kongres Surabaya tahun 1996 dan Ketua PDIP paska Reformasi.
Saat menjadi Presiden, Megawati pernah instruksikan membangun landasan helikopter (Helipad) di Lembaga Pemasyarakat Nusakambangan di mana anak bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy) ditahan.
Pertimbangannya saat itu sederhana, alasan kemanusiaan, Tommy Soeharto adalah anak kesayangan dari mantan orang nomer satu di era Orde Baru. Saya baru mendengar cerita ini dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Jalan P. Diponegoro, Kantor DPP PDIP dalam sebuah acara jelang Ultah ke-46 PDIP.
Bahkan, saat menjadi RI-1 Megawati mengangkat Kolonel Pramono Edhi sebagai ajudan pribadinya, Pramono adalah anak dari Letjen Sarwo Edhi die harder Soeharto saat menjatuhkan Presiden Soekarno dari kursi Presiden. Tak hanya itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) , kakak ipar Pramono Edhi pun diangkat sebagai Menkopolkam. Belakangan SBY diam - diam menggalang kekuatan di belakang Megawati, menjadi lawan Megawati pada Pilpres 2009.
Ironis, Megawati sebagai petahana kalah dari SBY nota bene sebagai Pembantunya saat berkuasa, padahal bila ingin bermain curang Megawati bisa melakukan, toh tidak dilakukan. Megawati adalah sosok yang taat konstitusi, terbukti saat dirinya dihancurkan oleh rezim Orde Baru pada 27 Juli 1996 ia lebih suka menempuh jalur hukum, meski dirinya tahu saat itu aparat Kepolisian, Kehakiman dan Kejaksaan dibawah pengaruh kuat rezim Soeharto.
Namun jalan terjal tersebutlah yang dipilih, menurut Hasto sebagian pendukung Megawati saat itu termasuk dirinya pernah tidak menyetujuinya. Keputusan Megawati tersebut ternyata berbuah kebenaran, apa jadinya bila Megawati mengikuti ide sebagian pendukungnya, yakni mencari keadilan lewat jalan diluar Konstitusi?
Barangkali Megawati tak akan pernah dikenang sebagai seorang Presiden Wanita Indonesia I, Ketua Partai Terbesar di Indonesia dan Presiden RI ke-4, mengingat pada saat itu rezim Orde Baru sedang dipuncak hegemoni-nya.
Secara pribadi, saya pernah merasakan getirnya hegemoni Orba saat aktif di organisasi mahasiswa berhaluan Marhaen pada era Orde Baru. Setiap kegiatan kami di Kampus atau di luar Kampus harus pandai - pandai bersiasat menghindari intel - intel kepolisian atau aparat militer, bahkan untuk kegiatan diskusi mahasiswa sekalipun.
Ketatnya pengawasan rezim Orde Baru terhadap simpatisan dan pendukung Soekarno membuat regenerasi kader - kader Marhaenisme tidak berjalan lancar. Banyak ilmuwan, mahasiswa atau profesional saat itu tidak berani terang - terangan mendukung atau mempelajari secara akademis Marhaenisme.
Tak mengherankan bila saat itu Megawati lebih banyak didukung oleh kalangan bawah dan terpinggir atau Wong Cilik, sehingga PDIP pernah mendapat sebutan Partai Sandal Jepit. Dengan kondisi seperti itu tak mematahkan semangat Megawati terus berjuang demi NKRI yang pernah diperjuangkan sang Ayahanda, Ir. Soekarno, Proklamator Indonesia.
MERDEKA !!!!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews