Pada dasarnya, kita adalah mahluk yang merindukan sensasi. Ada semacam kehausan akan sensasi bercokol di kodrat kita sebagai manusia. Sayangnya, ia cenderung tak dikenali, dan diabaikan. Dampaknya pun beragam, mulai dari kenikmatan sesaat sampai dengan tindakan yang merusak.
Drama terkait Ratna Sarumpaet dan Tim Koalisi Prabowo-Sandi juga adalah ujung yang tampak dari dahaga akan sensasi. Orang mencari popularitas dengan menyebarkan kebohongan yang menggemparkan. Padahal, ada masalah lain yang jauh lebih menuntut perhatian, yakni bencana yang menimpa saudari-saudara kita di Lombok dan Sulawesi Tengah.
Dahaga akan sensasi berujung tidak hanya pada pengalihan fokus masyarakat, tetapi juga ancaman kekalahan telak salah satu calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Sensasi
Apa itu sensasi? Ia adalah kenikmatan sesaat. Ia muncul, menghibur dan pergi dalam sekejap mata. Ia dicari dan dirindukan, namun sayang justru kerap berakhir dengan kehampaan.
Orang mencari sensasi, juga karena ia takut akan rasa bosan. Bosan membuat hidup terasa hampa dan sepi. Ini bahkan lebih menyakitkan, daripada rasa sakit dan penderitaan itu sendiri. Tak heran, orang bersedia melakukan hal-hal berbahaya, guna menghindari rasa bosan.
Dahaga yang sama yang membuat orang kalap berbelanja. Orang membeli dan menumpuk hal-hal yang ia tak perlukan, dengan uang yang tak ia punya, karena hatinya hampa. Industri kapitalis global mengenali hal ini. Jasa kartu kredit persis untuk mengisi kebutuhan yang tak masuk akal ini.
Dahaga akan sensasi juga mendorong orang memakai narkoba dalam segala bentuknya. Orang merasa, hidup ini begitu dangkal dan tak bermakna. Akibatnya, untuk menciptakan pengalihan dari perasaan semacam itu, narkoba pun terlihat sebagai jalan keluar. Dahaga akan sensasi pun berubah wujud menjadi dahaga akan zat adiktif.
Pada dasarnya, korupsi juga merupakan perwujudan dari dahaga akan sensasi. Orang merasa tak puas dengan apa yang ada, lalu mencuri, guna memperoleh lebih. Segala cara ditempuh, termasuk mencuri, memfitnah dan bahkan membunuh. Dahaga akan sensasi pun berubah menjadi kekejaman tanpa ampun.
Sampai batas tertentu, pertengkaran antar manusia juga terjadi, karena dahaga akan sensasi. Dua orang jenuh dengan keseharian. Pertengkaran pun menjadi semacam tarian yang, sekalipun terlihat brutal, menyembunyikan cinta yang dalam. Dalam hal ini, pertengkaran adalah wujud dari dahaga akan sensasi.
Mengenali Sensasi
Dahaga akan sensasi pula yang mendorong terjadinya perang dan krisis di berbagai belahan dunia. Seperti kata Herakleitos, seorang pemikir Yunani, perang membuat manusia waspada dan kuat. Perang juga menjadi warna dari keseharian yang seringkali terasa begitu hampa. Dahaga akan sensasi, sayangnya, bisa menjelma menjadi dahaga untuk saling memusnahkan.
Tersembunyi di dalamnya adalah dahaga akan masalah. Hidup tanpa masalah, seperti kata Jean-Paul Sartre, seorang pemikir Prancis, bagaikan minum anggur tanpa rasa. Masalah membuat hidup menjadi berarti dan warna warni. Tentu saja, dahaga akan sensasi, bergandengan dengan dahaga akan masalah, akan berbuah kerusakan-kerusakan yang tak perlu.
Kerinduan akan hoaks (apusan) juga berada di jalur yang sama. Orang tahu, bahwa ia mendengar hoaks. Namun, ia tetap memakannya, bahkan menyebarkannya. Dahaga akan sensasi, dibalut pada kerinduan untuk dibohongi, membuat orang yang cerdas pun memakan hoaks, tanpa rasa ragu.
Sensasi tak perlu diikuti. Ia juga tak perlu ditekan. Sensasi hanya perlu dikenali dan disadari. Dengan begitu, kita tak lagi diperbudak olehnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews