Saya membaca tuntas buku setebal 500 halaman ini. Selain kontennya menarik, desainnya luar biasa apik.
Setiap buku punya kisah kepemilikannya masing-masing, serupa semua buku punya kisah kepenulisannya sendiri-sendiri.
Kisah kepemilikan saya atas buku berjudul "Memikirkan Kata: Panduan Menulis untuk Semua" berawal di satu kafe." Bakoel Koffie namanya. Di Cikini, Jakarta, lokasinya.
Satu petang di akhir 2021 saya menyambangi Bakoel Koffie, kafe favorit saya, bersama staf saya. Saya memilih lantai atas. Seraya menanti pesanan saya disiapkan, saya melihat-lihat deretan buku di rak buku yang terletak di semacam "ruang eksekutif" kafe tersebut. Ruang itu biasa dipakai untuk pertemuan atau diskusi. Untuk memakai ruang itu, pengunjung biasanya dikenakan pembelian makanan dan minuman dalam jumlah minimum tertentu.
Mata saya tertumbuk pada buku lumayan tebal bersampul dominasi warna kuning. Saya menerka-nerka ini buku yang diterbitkan secara independen. Mungkin tidak dijual di toko buku dan hanya bisa dibeli daring. Saya membaca halaman belakang berisi kutipan pernyataan perempuan penulis hebat Virginia Wolf. Judul buku ini kiranya dinukil dari pernyataan Wolf itu.
"Kata-kata seperti halnya kita, untuk dapat hidup dalam ketenangannya, membutuhkan wilayah pribadi mereka. Kata-kata menginginkan kita untuk berpikir, dan mereka menginginkan kita merasa; sebelum kita menggunakannnya; tetapi mereka juga ingin kita berhenti sejenak; untuk menjadi tak sadar. Ketidaksadaran kita adalah wilayah pribadi mereka; kegelapan kita adalah cahaya bagi mereka". Begitu Wolf berkata-kata.
Saya kembali ke meja saya, menyeruput vietnam drip yang susu kental manisnya saya minta dikurangi, juga mengunyah pisang goreng. Saya meninggalkan Bakoel Koffie dihantui keinginan kuat memiliki "Memikirkan Kata."
Pekan depannya saya kembali ke Bakoel Koffie, memilih lantai atas. Pula seraya menunggu pesanan makanan dan minuman disajikan, saya melongok rak buku. Kali ini saya menjumpai dua eksemplar "Memikirkan Kata". Satu yang saya baca-baca pekan sebelumnya dan satu lagi masih terbungkus plastik.
Didorong hasrat kuat memilikinya, saya bertanya kepada pramusaji, apakah saya bisa membeli satu di antaranya, yang masih terbungkus plastik. Sang pramusaji awalnya mengatakan tidak bisa.
Sejurus berikutnya ia mengatakan akan menanyakan kepada bosnya. Dia meminta nomor telepon selular staf saya.
Beberapa hari kemudian sang pramusaji menghubungi staf saya, menyampaikan bosnya mengijinkan saya membelinya. Sopir saya kemudian ke Bakoel Koffie untuk membeli buku terbitan Galeri Buku Jakarta itu. Harganya, seingat saya, Rp200-an ribu.
Untuk apa memikirkan kata? Senior saya di Metro TV dan Media Indonesia Saur Hutabarat mengajarkan kepada para penulis editorial, termasuk saya, untuk menulis serupa "buang angin." Lepaskan dan lampiaskan saja kata-kata. Jangan terlalu dipikirkan. Toh Anda bisa mengeditnya kelak, seusai kata-kata tuntas terlampiaskan.
Seirama dengan Saur, penulis Natalie Goldberg memberi tips menulis: teruskan tanganmu bergerak menulis; menulislah serupa kehilangan kendali; jangan berpikir; tak perlu mengkhawatirkan tanda baca; Anda bebas menuliskan kata-kata, kata-kata sampah sekalipun.
"Memikirkan Kata" memuat tips menulis Wolf dan Goldberg. Wolf dan Goldberg hanyalah dua dari begitu banyak kisah kepenulisan penulis-penulis hebat dunia yang termuat di buku ini. Sebutlah di antaranya George Orwell, Gabriel Garcia Marquez, , Ernest Hemingway, Haruki Murakami, Orhan Pamuk, termasuk penulis Indonesia seperti Rendra, Afrizal Malna, Joko Pinurbo. Terserah pembaca tips menulis atau kisah kepenulisan mana yang akan diadopsi.
Saya membaca tuntas buku setebal 500 halaman ini. Selain kontennya menarik, desainnya luar biasa apik.
"Memikirkan Kata" buku kedua bagi saya yang kisah kepemilikannya berawal dari kafe. Buku pertama, "Kisah Pendekar Kopi", kisah kepemilikannya berawal dari rak buku di satu kafe di Bogor, Jawa Barat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews