Bukan Metafakta Aristoteles

Apa yang dilakukan Ibnu Sina, menjelaskan, meski telah membaca sampai tamat, bahkan berkali-kali, belum tentu bisa memahaminya. Kadang, diperlukan bala-bantuan.

Kamis, 14 Juli 2022 | 07:51 WIB
2
268
Bukan Metafakta Aristoteles
Ibnu Sina (Foto: Facebook.com)

Pada suatu ketika, Ibnu Sina dibikin pusing sebuah buku berjudul Metaphysics karya Aristoteles. Bahkan pun konon ketika Bapak Kedokteran Modern itu telah membaca karya filsuf Yunani Kuna itu sebanyak 40 kali.

Karena Ibnu Sina bodoh? Tentu tidak. Bukunya berjudul The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At-Thibb) menjadi buku teks utama bidang kedokteran di seantero Eropa sampai abad ke-18. Itu menunjukkan kelas Ibnu Sina. Ibnu Sina (980–22 Juni 1037), dikenal juga sebagai Avicenna di dunia Barat, menghasilkan 450 buku di bidang filsafat, kedokteran, metafisika, dan etika.

Pada umur 10 tahun, sudah hafal Al-Qur’an. Kalau saja itu terjadi di Indonesia saat ini, mungkin ia diterima di beberapa perguruan tinggi Indonesia, tanpa melalui tes. Karena hafal Alquran. Dikiranya kalau hafal Alquran berarti pinter segalanya, ya, Mas Bechi?

Ibnu Sina seorang pembelajar. Pembaca buku sejak kecil. Banyak membaca literatur Yunani seperti Organon, karya Aristoteles yang membahas logika. Elements karya Euclid mengenai matematika, dan Almagest dari Ptolomeus tentang astronomi dengan pendekatan matematis.

Ayahnya, pejabat di Bukhara (Iran saat itu, Uzbekistan saat ini), pernah meminta tolong ahli filsafat, Abu Abdallah An-Natili menjadi guru privat Ibnu Sina.Tapi, An-Natili sering kewalahan, dan Ibnu Sina sering meneruskan belajar sendiri.

Apa yang menjadi musabab kepusingannya akan buku Aristoteles? Sang filsuf Yunani Kuna itu juga bukan manusia paripurna. Beberapa pemikirannya dikritik dan dikoreksi filsuf lainnya atau generasi sesudahnya. Untunglah watak Aristoteles cukup anoraga.

Yang paling bijaksana, katanya, ialah mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Ia penganut teori geocentris, meski tak pernah menyatakan bumi itu datar kata pendapat para kadrun.

Pandangannya dikoreksi para pemikir astronomi, seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler yang dapat menunjukkan pemikiran Aristoteles adalah salah.

Balik ke Ibnu Sina yang masih pusing, suatu sore ketika berjalan di pojok kota, dia menemukan seorang penjual buku bekas. Awalnya Ibu Sina tidak tertarik, sampai penjualnya mengatakan, bahwa yang mempunyai buku membutuhkan uang, dan bukunya dijual murah. Buku itu pun akhirnya dibeli Ibnu Sina seharga tiga dirham. Ternyata buku tersebut karya Ibnu Nasr Al-Farabi, berjudul On the Purpose of the Metaphysics, berisi telaah kritis atas buku Aristoteles.

Ibnu Sina bergegas pulang ke rumah, dan segera membacanya. Akhirnya, Ibnu Sina merasa paham metafisika. Apa dilakukannya kemudian? Ibnu Sina memberikan sedekah yang sangat banyak kepada fakir miskin, sebagai ungkapan syukur karena memahami metafisika.

Apa yang dilakukan Ibnu Sina, menjelaskan, meski telah membaca sampai tamat, bahkan berkali-kali, belum tentu bisa memahaminya. Kadang, diperlukan bala-bantuan. Dengan membandingkan pemahaman liyan atas suatu masalah yang sama. Crosscheck, konfirmasi, atau istilah sok rilijiyesnya, tabayun.

Cerita ini, tentu tidak menyenangkan bagi para pembaca medsos. Yang kebanyakan membaca tulisan kurang dari 3 menit pun sudah pusing (walaupun medsosan 24 jam full). Padal, internet dan dunia digital, memudahkan untuk mendapatkan berbagai perbandingan.

Sayangnya yang terjadi adalah pandangan myopic. Hanya membaca hal yang menyenang-nyenangkan hati, yang sekeberpihakan. Karena kalau beda pendapat, dan kemudian berdebat (apalagi kalah debat), sebagaimana kata Aristoteles; When the debate is lost, slander becomes the tool of the loser. Ketika kalah dalam debat, fitnah menjadi alat bagi pecundang.

Dalam ilmu untung Jawa, ‘beruntunglah’ Ibnu Sina tidak bertemu Mas Bechi, yang mempunyai mahakarya bertitel ‘Metafakta’. Mungkin lebih hebat dari Metaphysics Aristoteles. Karena tak bisa diajarkan pada sembarang murid. Mesti memakai penis sebagai penanda terjadinya transfer of knowledge yang mbelgedhes itu.

Sunardian Wirodono

***