Sing Waras Ngalah

Sebaik-baik perubahan, ke arah kebaikan, adalah dari diri-sendiri. Tumbuhnya individu yang kuat dan matang.

Kamis, 6 Januari 2022 | 13:25 WIB
0
152
Sing Waras Ngalah

Penulis buku jarang intelektual. Intelektual ialah mereka yang berbicara tentang buku yang ditulis orang lain. Itu kata Françoise Sagan. Sinisme yang keren.

Sebagaimana ujar Dhaniel Patrick Moynihan; Orang yang mencemarkan udara dengan pabriknya, dan anak ghetto yang memecahkan kaca etalase toko, menunjukkan hal yang sama. Mereka tidak peduli pada orang lain.

Apa hubungan dua kutipan itu? Tak ada. Meski bisa dicari-cari. Tetapi hidup di Indonesia, betapa membutuhkan syarat yang jauh lebih banyak, dibanding di Negara lain.

Saudara-saudara kita, yang tinggal di negeri yang lebih matang struktur dan system sosialnya, tidak sangat problematis dan ribet dalam menjalani kehidupan sosialnya. 

Di Indonesia, kita seperti anak-anak sekolah, yang begitu overloaded dengan beban kata-kata. Dan hasilnya ada dua. Generasi yang tidak memiliki keberanian berinisiasi, atau menjadi begitu cerewet, sibuk mencari pembenaran. Keduanya sama, cerminan dari inferiority complex.

Komunalisme adalah ideologi mencari kawan, karena alangkah menderita dan sunyinya tanpa dukungan.

Dukung-mendukung, yang pada akhirnya adalah tuding-menuding antarkelompok, antarkomunitas. Psikologisme kaum gerombolan. Dan dari Indonesia ditemukan sejarah kata ‘amook’, yang suka menyembunyikan tanggungjawab individual.

Sementara revolusi (atau resolusi?) mental, belum juga mendapatkan uraiannya yang jelas. Elite penguasa, partai politik, tidak bisa mengartikulasikannya, dan bukan alamat yang tepat untuk tumbuhnya harapan, karena mereka bagian dari masalah.

Ilmu pengetahuan dan agama, sama saja. Belum juga mampu menyelesaikan problematika mereka sendiri. Yang ada kemudian gerungwan-gerungwati dalam berbagai bentuk dan kelasnya.

Sebaik-baik perubahan, ke arah kebaikan, adalah dari diri-sendiri. Tumbuhnya individu yang kuat dan matang. Dan itu tantangan hari ini. Orang memerlukan dua tahun untuk (bisa) berbicara, kata sastrawan Ernest Hemingway, tetapi limapuluh tahun untuk belajar tutup mulut. 

Dan, kita bukan bangsa tutup mulut. Kecuali mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil dan dikalahkan atau mengalah, berdiam diri dalam senyap, di pojokan sejarah. Merayakan kekalahan dengan kata-kata; Sing waras ngalah. 

Padahal pembiaran adalah sama jahatnya. Dan kita masih begitu suka dengan romantisme moral itu. 

Hormat saya pada Wiji Thukul, yang berani berkata; Lawan! 

Sunardian Wirodono, 2022