Jurnalisme Warga, Preman Pun Tak Soal

Meski perbedaan itu ada, tapi kita mungkin sepakat bahwa aktivitas "Pewarta Warga" itu harus diatur oleh standar etika yang sama, layaknya jurnalis profesional.

Minggu, 22 Agustus 2021 | 14:57 WIB
0
297
Jurnalisme Warga, Preman Pun Tak Soal
Jurnalisme warga dan preman

Duhh!!! tak sengaja gerutu keluar dari mulutku ketika mendengar sejumlah orang  di dekatku menyebut-nyebut dirinya pengurus daerah salah satu organisasi  jurnalis warga.

Keluhanku itu melanting  seiring dengan sinismeku  melihat perangai orang-orang,  yang menurutku  lebih pantas disebut  preman dari pada wartawan, ocehannya kasar  penuh ancaman,  topik  perbincangannya  tak jauh-jauh  dari perkara orang dan jumlah uang.

Dalam pikiranku, lakon orang-orang itu bak episode "remake"  drama  wartawan "bodrex' yang pernah jadi tontonan,   orang-orang yang tak punya kompetensi jurnalistik  dan hanya bermodalkan identitas   kartu pers  abal-abal, kemudian  memaksa  orang untuk diwawancarai dan  dimintai uang.

Hari ini ketika orang-orang itu belum juga  mencapai standar kompetensi, tak cukup syarat menjadi anggota  pers dan tak memiliki media terverifikasi Dewan Pers, maka   "Jurnalisme Warga" pun jadi permainan. Muncul forum atau  organisasi dengan label jurnalis  warga,    tujuannya tak lebih  hanya  mendompleng   identitas kewartawanan.

Situasi itu sungguh paradoks dengan kemestian  "jurnalisme warga", yang menempatkan  "independensi  dan  partisipasi" sebagai keutamaanya. Independensi yang manakala tak ada keterikatan, paksaan  dan tekanan  dari apapun dan siapapun. Partisipasi  yang  bilamana hanya digerakkan oleh kepedulian, tanggung jawab dan kreatifitas.

Independensi dan partisipasi itu kemudian menjadi ironis takala  "jurnalis warga atau pewarta warga"  dipaksa  atau  diseret-seret  menjadi profesi tertentu.

Tak soal,  jika kemudian ia beralih menjadi jurnalis konvensional " atau memiliki  etika dan kompetensi "setara  dengan wartawan  profesional, tanpa  menjadikan ia sebuah  profesi atau klaim milik profesi tertentu. Karena, jurnalis warga itu mestinya milik semua warga dan  semua  profesi, yang tidak dilimitasi oleh partisi status,   strata  dan profesi tertentu.

Logika sederhananya begini, seorang yang berprofesi sebagai, misalnya "guru, dokter, pedagang, petani, ojol dan lain sebagainya" bahkan wartawan profesional sekalipun memiliki kebebasan untuk  berpartisipasi dalam aktivitas jurnalisme warga. Tidak ada kewajiban, ikatan dan apalagi  pemaksaan. Sama halnya ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan  sosial di lingkungannya.

Partisipasi yang  dijalani pun sebanding  dengan pengetahuan dan kenyamanan  mereka. Seorang pendeta mungkin lebih tertarik melaporkan  berita yang berkaitan dengan aktivitas keagamaannya, seorang guru mungkin lebih faham menginformasikan seluk beluk  pembelajaran  di tempatnya mengajar, atau seorang polisi lalu lintas merasa lebih nyaman jika  mereportase situasi  lalu lintas yang dipantaunya. Lalu, bagaimana dengan seorang preman?

Bukankah aktivitas bercerita atau menyimak  cerita, berkabar  atau mendengar  kabar merupakan aktivitas universal manusia sejak dulu kala. Ia  merasa "bangga dan puas" apabila   menjadi orang yang pertama yang tahu atau pertama menyampaikan  info terbaru kepada  orang lain.

Kebetulan saja aktivitas  itu dikaitkan dengan  istilah  jurnalistik,  atau sejarah perkembangannya  dihubung-hubungkan dengan  “Acta Diurna”  Romawi Kuno, atau dikaitkan dengan mesin cetak Gutenberg dan koran pertama ' Frankfurter Journal.' Yang kemudian pada masanya, aktivitas   jurnalistik  berubah  menjadi komoditas  "industri media"  yang mahal dan mewah bagi warga biasa.

Banyak pendapat yang kemudian mengaitkan perkembangan  aktivitas "jurnalisme warga" belakangan ini dengan ketidakpuasan warga atas media mainstream, yang dianggap lebih berpihak pada  kepentingan pemilik modal dan penguasa dibandingkan kepentingan warga 

Meski persoalan ketidakpuasan dan ketidakberpihakan itu   adalah realitas yang terjadi hari ini, tapi tidak lantas dikaitkan dengan  tumbuhnya  "jurnalisme warga" dewasa ini.

Apakah kemudian video rekaman Cut Putri pada tsunami Aceh tahun 2004 lalu adalah bentuk kekecewaan dirinya  pada  media mainstream, kemudian ia merekamnya. Atau, apakah tulisan Zakki Amali mengangkat  isu plagiat seorang rektor, lahir dari  kekecewaannya pada media mainstream yang tidak memihak  dirinya. Itulah   naluri kodrati "jurnalistik" seorang warga,  ketika  merespon peristiwa dan sumber informasi yang ada di sekitarnya.

Aktivitas jurnalistik warga bersemai dan semakin disadari   warga  ketika  perkembangan  teknologi  digital memunculkan  media baru dengan  beragam platform internet, yang  lebih murah, lebih cepat dan lebih mudah dimiliki, dikelola dan diakses oleh warga di banding media konvensional.

Platform  media baru  memungkinkan  hasrat jurnalistik yang sebelumnya terbatas  oleh model, produk dan praktik medium media mainstream, kini menyediakan kebebasan bagi  warga  untuk menerobos berbagai limitasi ruang dan waktu yang lebih terbuka, independen dan egaliter.

Maka itu, jurnalistik warga tidak mesti  difasilitasi   media  pers (badan hukum pers),  tidak butuh atasan yang   mengendalikannya, Ia  pun tak butuh  organisasi atau forum apapun yang  mengatur independensinya, jikapun ada, itu hanya wadah dunia maya,   yang ada di group media sosial, yang cukup dikelola admin tanpa harus ada ketua dan pengurusnya.

Pandangan  ini bisa jadi perdebatan. Tak masalah jika banyak yang tidak sefaham. Toh,  Selama ini juga  kita tak selalu sama dalam memahami praktik dan paradigmatik "jurnalisme warga". Setiap orang  masih berbicara dalam keterbatasan perspektif mereka masing -masing, yang   dipengaruhi oleh posisi, pengalaman dan kepentingannya. 

Meski perbedaan itu ada,  tapi kita  mungkin  sepakat bahwa aktivitas "Pewarta Warga" itu harus diatur oleh  standar etika  yang sama, layaknya  jurnalis profesional. Jadi, tak  soal seandainya ada  preman, narapidana atau gangster sekalipun berpartisipasi pada aktivitas "jurnaslime warga", selama kode etik itu ada, difahami, dipatuhi dan diterapkan,  malah   itu akan menciptakan kultur  literasi yang baru   untuk membentuk mereka  menjadi warga yang beretika,  bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.

***