Butet Nemu Babad Sultan Agung

Gusti Puruboyo inilah yang jadi Hamengku Buwana VIII setelah HB VII lengser keprabon. Mengundurkan diri dari jabatan raja, dan madeg pandhita sebelum meninggal.

Selasa, 15 Juni 2021 | 09:47 WIB
0
298
Butet Nemu Babad Sultan Agung
Butet Kartaredjasa (Foto: Jimmy S. Hariato)

Seniman monolog dan juga aktor kondang Butet Kartaredjasa mengaku dalam hidupnya ia sering menemui kebetulan. Entah menyangkut soal pusaka, soal berbagai kejadian sehari-hari maupun soal perjalanan nasib. Termasuk ketika tanpa sengaja ada “harta karun” yang datang ke rumahnya.

Suatu hari sekitar limabelas tahun lalu datang seorang pedagang antik ke rumah putra seniman koreografer, Bagong Kussudiardja ini di Komplek Padepokan Seni Bagong di desa Kembara, Taman Tirto Kasihan, Bantul. Orang itu menawarkan padanya setumpuk naskah kuno, tebal-tebal, bertuliskan aksara Jawa tulisan tangan yang ia sendiri tidak bisa membaca, ataupun tahu apa isi kitab-kitab tebal yang dibawa bakul antik itu.

“Saya beli saja buku-buku itu dan saya simpan. Ada sembilan buku tebal, judul-judulnya pun saya nggak tahu…,” tutur Butet (59), yang saya temui di rumahnya di Yogyakarta bulan lalu. Karena ketidak-tahuan itu, maka Butet pun cerita pada teman dekatnya, Bakdi Soemanto seorang sastrawan yang juga Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

“Saya katakan padanya, siapa yang bisa membaca buku-buku ini, saya pengen tahu isinya…,” tutur Butet pula. Sebuah kebetulan, kata Bakdi Soemanto, ada seorang dosen di FIB Gadjah Mada, namanya Mbak Sekti, “Dia trah Pakualaman, tinggal di Jalan Taman Siswa, kakak kelas saya waktu SMP yang bisa membaca buku-buku seperti itu. Saya undang dia ke rumah untuk melihat buku-buku yang saya beli dari penjual antik itu,” tutur Butet.

“Wah, mas… aku nemu dalanku. Rupanya ini memang jodoh. Aku baru saja melatinkan (memindah aksara naskah, dari huruf Jawa ke huruf Latin) Babad Senopati. Aku sedang mencari Babad Sultan Agung, tidak ketemu-ketemu. Mau aku teruskan untuk tesis doktorku. Lha kok malah nemune nang kene? (Lha kok malah ketemunya di sini),” ungkap mbak Sekti seperti dituturkan Butet. Ia kegirangan melihat tumpukan naskah tebal-tebal beraksara Jawa milik Butet tersebut.

Rupanya salah satu buku tebal yang dibeli Butet dari tukang antik itu salah satunya adalah Babad Sultan Agung. Dan ternyata nggak hanya Babad Sultan Agung saja. Ada juga di antara sembilan naskah kuno itu, Babad Pajajaran dan juga buku-buku klasik Jawa lainnya yang ia tak ingat judulnya.

Akhirnya oleh mbak Sekti buku Babad Sultan Agung itu dilatinkan. Supaya orang bisa membaca semuanya. Dan bahkan mbak Sekti lulus doktor berkat naskah dari tukang antik yang dibeli Butet itu.

Dan ternyata pula, Babad Sultan Agung itu tidak hanya memuat kisah perjalanan hidup Sultan Agung. Akan tetapi juga catatan strategi perang waktu beliau menyerang Betawi (1628 dan 1629). Catatan itu juga menguraikan, bagaimana Sultan Agung mengatur sistem pangan dalam perjalanan pasukan Mataram sampai hari peperangan menuju Batavia.

“Ilmu-ilmu itu ditulis di buku dalam bentuk tembang-tembang,” kata Butet, yang mengaku ingin suatu hari saya terbitkan dalam sebuah buku berbentuk prosa lirik dalam bahasa Indonesia,” kata Butet, “Pengennya yang nulis (penyair) Landung Sumatupang dan Gunawan Maryanto,”

Ide itu sudah disampaikan pada yang bersangkutan. Dan kini Butet tinggal konsentrasi penuh untuk menyusunnya, dan harus mencari sponsor untuk menerbitkannya. “Siapa tahu, ada menteri atau politisi yang gila mau mendanainya, ha, ha, ha…,” kata Butet.

Rupanya Butet merasa, ia mendapat sebuah kebetulan lain lagi. “Saya mbatin (pikir) jangan-jangan ini eyang saya yang nyerat…,” kata Butet pula. Menurut Butet, ayah Bagong Kussudiardja adalah abdi dalem Kraton Ngayogyakarta yang tidak pernah naik pangkat gara-gara ia keturunan Gusti Djuminah.

“Nama eyang saya Raden Bekel Tjandrasentana, putra langsung Gusti Djuminah. Pekerjaannya memindahaksarakan, menyalin dari kitab-kitab lama di Kraton dengan tulisan tangan (belum model foto kopi ataupun scanner) ke dalam salinan baru. Namun karena ia keturunan Gusti Djuminah, maka ia menjadi Bekel dari awal sampai meninggal. Ayah saya (Pak Bagong) nggak punya salinan dokumen dari eyang,” kata Butet. Kalau bener ini kitab-kitab tulisan Eyang Raden Bekel Tjandrasentana, maka sebuah kebetulan Butet kini mendapatkan "pusaka" warisan eyang.

Tentang Eyang Raden Bekel Tjandrasentana yang terus berpangkat Bekel sampai meninggal lantaran ia putra langsung Gusti Djuminah, tentu ada kisahnya sendiri. Gusti Djuminah – eyang buyutnya Butet dan eyang dari Bagong Kussudiardja -- pernah diangkat oleh Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwana VII sebagai putra mahkota Ngayogyakarta Hadiningrat, lantaran putra mahkota sebelumnya, putra sulung dari permaisuri GKR Hemas, GRM Akhadiyat meninggal setelah dinobatkan sebagai putra mahkota.

Hamengku Buwana VII kemudian mengangkat GRM Pratistha sebagai pengganti putra mahkota GRM Akhadiyat yang mangkat. Putra kedua yang di kemudian hari diangkat sebagai putra mahkota, bergelar Adipati Djuminah ini, gelarnya kemudian dicabut dengan alasan “kesehatan” (rumor yang beredar, sengaja dibuat sakit agar diganti). 

Maka kemudian Hamengku Buwana VII pun mengangkat GRM Sujadi, yang kemudian bergelar sebagai Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo. Nantinya, Gusti Puruboyo inilah yang jadi Hamengku Buwana VIII setelah HB VII lengser keprabon. Mengundurkan diri dari jabatan raja, dan madeg pandhita sebelum meninggal…

***

Jimmy S Harianto 

Butet Kartaredjasa di rumahnya di Komplek Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di desa Kembara, Taman Tirto Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada 4 April 2021 (kanan).

Foto kanan oleh Tira Hadiatmojo