Interpreter on Board

Justru karena saya bekerja jadi interpreter, saya punya kesempatan memperlancar bahasa Jepang, membuka wawasan, menabung dan punya keinginan melanjutkan studi S2 di Jepang.

Senin, 7 September 2020 | 16:14 WIB
0
490
Interpreter on Board
Maria Karsia sebagai penerjemah di kabin pesawat (Foto: Dok. pribadi)

Pernah dengar istilah itu "Interpreter on Board"? Saya pernah menjalani kerja kontrak sebagai interpreter on board (penterjemah di udara/ di pesawat) dari Mei 1990 sampai April 1991. Sebetulnya direkrut oleh PT Satriavi Tours and Travel, anak perusahaan Garuda Indonesia sebagai interpreter.

Dulu, ada service khusus Garuda untuk penumpang penerbangan route Tokyo Jakarta Denpasar (dan sebaliknya), karena waktu itu tingginya kunjungan wisatawan Jepang ke Bali. Awalnya Garuda mempekerjakan orang Jepang sebagai penterjemah bahasa. Tujuannya membantu orang-orang Jepang di dalam pesawat yang kesulitan berkomunikasi dengan awak kabin.

Lalu, di tahun 1990 Garuda mengambil kebijakan untuk memperkerjakan interpreter orang Indonesia yang berkemampuan berbahasa Jepang. Saya masih mahasiswa waktu itu. Tapi waktu lihat ada lowongan kerja di koran, dan cepat menyebar di jurusan sastra Jepang, rasanya ada penasaran ingin ikut testnya.

Pikir-pikir, jika lulus saya bisa ambil cuti kuliah 1 tahun, kalo gak luluspun kan jadi tau rasanya ditest untuk melamar kerja. Dari pelamar yang ikut test, kebanyakan dari mereka rata-rata sudah lulus kuliah. Pelamar ada dari UI almamater saya, dan dari beberapa universitas negeri lainnya. Ternyata yang lulus seleksi hanya 7 orang.

Kenapa 7? Apa karena seminggu 7 hari? Penerbangan 1X sehari, gak terlalu saya pikirkan. Kebetulan yang lulus juga semua dari UI. Uniknya, 1 dari angkatan 84, 4 dari 85 dan 2 dari 86. Saya dan Aby Tumengkol Warokka dari angkatan 86. Akhirnya saya jadi ambil cuti kuliah, yang memang hanya tersisa untuk tugas penyusunan skripsi saja.

Saya suka pekerjaan itu. Ada beberapa peristiwa berkesan yang saya alami ketika bekerja sebagai interpreter. Di antaranya, saya terkagum-kagum jika lihat petinggi negeri sebagai penumpang business class atau first class. Saya juga pertama lihat Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno yang keturunan Jepangpun di pesawat.

Ratna Sari Dewi (Foto:diadona.id)

Pengalaman lain yang berkesan, ketika saya memandu semua keperluan untuk sepasang suami istri Jepang yang tuna rungu. Berkomunikasi hanya bisa dilakukan dengan isyarat dan bahasa tulisan. Puas rasanya ketika pintu pesawat dibuka, suami istri itu saya serah terimakan kepada ground staff Garuda Bali, dan sepasang suami istri itu membungkukkan badannya dalam-dalam memberikan salam takzim mereka.

Nah setelah hampir setahun kerja, ada dua kejadian yang gak bisa dilupakan. Pertama adalah ketika , saya sedang tugas sebagai orang yang standby nomer 2, jadi saya pikir aman saja kalau saya latihan hockey hari itu. Ternyata posisi teman yang tugas sakit, harus diganti dengan standby pertama, tapi dilalahnya posisi standby pertama juga flu. Saya yang sedang posisi standby ke duapun jadi kena giliran.

Biasanya saya pulang hockey sampai magrib di rumah. Hari itu, saya sedikit main-main, makan malam dulu bareng teman-teman di bakso Lapangan Tembak Senayan. Pulang sudah jam 8 malam. Kaget banget di muka rumah sudah parkir mobil jemputan L300 milik Satriavi. Deg. Waduuh, ternyata saya harus terbang malam itu.

Tanpa ba bi bu, langsung hanya mandi dan pakai seragam, dandanpun di mobil, koper mami yang siapkan. Alhamdulillah saya sampai pas-pasan banget. Pintu pesawat langsung tutup pas saya masuk, sambil diplototin purser yang bertugas. Ya pasti melototlah... Seharusnya awak kabin sampai di dalam sebelum penumpang masuk.

Masalah bukan di situ sih, masalah baru terjadi ketika mau istirahat di hotel. Buka koper, yang terbawa ternyata bukan baju ganti, tapi baju kaos latihan hockey.

Oh mami mungkin karena paniknya, waktu saya mandi, siapkan koper dan beliau masukan baju, gak lihat lagi langsung samber. Alhasil saya harus turun ke Sogo yang alhamdulillah posisinya pas di sebelah hotel. Belanja baju, dan langsung cepat-cepat ganti baju di Sogo, pakai baju baru tanpa cuci, lalu balik hotel minta layanan loundry ekspress untuk seragam yang harus saya pakai di penerbangan balik ke Jakarta esok harinya.

Lumayan mahal, dan gak bisa claim perusahaan jika minta layanan special seperti itu. Habislah separuh langsum hari itu hanya untuk beli baju baru dan loundry. Masih untung langsum diberikan tunai dalam bentuk mata uang Yen.

Peristiwa ke dua yang berkesan adalah, di penerbangan selanjutnya ketika habis announcement dan pesawat sudah 15 menitan mengudara, tiba-tiba dipanggil purser. "Maria, kamu ke business class gih, itu rektor UI dan ketua jurusanmu mau ketemu."

Eh bussset... Darah seperti berhenti ngalir rasanya. Haduuuh, ternyata di daftar penumpang bisnis, ada mereka. Lemas kaki ini. Gak kebayang bu Ida akan melotot dan ngomel. Pasti dia tau, angkatan 86 sudah pasti belum selesai kuliah. Tambah lagi beliau sedang dampingi rektor.

Sesuai dugaan, pertanyaan pertama prof Sujudi (yang jadi mentri kemudian), rektor kala itu. "Bu Ida, ini anak didiknya, apa sudah selesai kuliahnya?" Bu Ida langsung jawab, "Belum, Pak Rektor." Cuma nyengir kuda dong eike. Tapi entah keberanian apa yang muncul, tanya jawab dengan Pak Rektor malah jadi berubah akrab, gara-gara tiba-tiba keceplos memanggil dia dengan sebutan "Om".

Ya, kami anak-anak Perkumpulan Hockey UI memang selalu memanggil seniornya yang sudah jauh angkatan di atasnya dengan "om". Rektor kaget, dan langsung nyambung, eeeh kamu ternyata anak hockey ya? Nah sesama anak hockey gak boleh galak-galak, kan Om (dalam hati). Langsung suara tonenya jadi santai. Legaaaa banget rasanya. "Ya boleh kerja, kuliahmu selesaikan, jangan ditunda ya!" Baik om.

Wesss, nyawapun kumpul lagi. Singkatnya, sehabis penerbangan itu, seminggu kemudian, telpon rumah berdering. Dari TU fakultas, mengabarkan, sebentar lagi masa cuti kuliah mau habis, ketua jurusan minta anda segera mendaftar ulang untuk persiapan tugas akhir. Hahahahaha, dah langaung divonis.

Yah, akhirnya ngebolang kerja jadi interpreter harus berhenti, padahal tadinya sudah tergoda gak usah selesaikan kuliah, toh sudah bisa kerja. Gak bisa ditawar lagi, back to campus. Nah, foto yang saya posting di sini adalah foto penerbangan tugas terakhir saya sebagai interpreter.

Oh lupa, karena saya bukan pramugari, jadi pakaian seragam saya lebih mirip seperti ground staff Jepang itu. Tanggal 22 April 1991. Dua orang lelaki Jepang di kanan kiri saya adalah ground staff supervisor dan wakilnya yang sangat koorperatif dan perhatian. Itu foto farewell saya, pamitan ke mereka.

Saya bertemu 5 tahun kemudian dengan yang jangkung di foto itu (maaf namanya betul-betul lupa) dan diberi kompensasi untuk kelebihan berat barang saya, ketika selesai belajar di Jepang pulang ke tanah air, naik Garuda.

Well...

Ini memang bukan cerita ketika di Jepang, tapi ini bagian prolog. Justru karena saya bekerja jadi interpreter, saya punya kesempatan memperlancar bahasa Jepang, membuka wawasan, menabung dan punya keinginan melanjutkan studi S2 di Jepang.

***