Matinya Kepakaran di Era Kebohongan

Foto orang-orang bergelimpangan di jalan akibat terjangkit korona yang diunggah seorang yang katanya pendakwah masuk kategori "terlalu buruk untuk benar." Belakangan terbukti itu hoaks.

Senin, 9 Maret 2020 | 06:18 WIB
0
436
Matinya Kepakaran di Era Kebohongan
Ilustrasi post-truth (Foto: medium.com)

Kata Evan Davis, ini era post-thruth, orde pascakebenaran, masa melampaui kebenaran. Sejatinya pasca kebenaran atau melampaui kebenaran bukan kebenaran, melainkan kebohongan.

Begitu kata Evan Davis dalam bukunya "Post Truth: Why We Have Reached Peak Bullshit and What We Can Do About It." Saya mendapatkan buku ini dalam bentuk digital yang kemudian saya cetak.

Di zaman ini, orang doyan menyatakan sesuatu di luar kebenaran ilmiah. Orang gemar melakukan kebohongan ilmiah. Ketika melontarkan pernyataan berisi kebohongan ilmiah itu, mereka mengambil alih porsi dan posisi para pakar, orang yang punya otoritas menyampaikan ilmu pengetahuan. Inilah yang oleh Tom Nichols dalam bukunya "the Death of Expertise disebut matinya kepakaran. Saya membeli buku ini di Kinokuniya Plaza Senayan, Jakarta.

Banyak orang berbicara seolah dirinya pakar. Setiap orang merasa berhak menjadi pakar, mengaku pintar. Bahasa gampangnya, ini era ketika banyak orang merasa pintar, sok pintar; orang merasa pakar, sok pakar.

Pada 2013, Presiden Czech Milos Zeman mengatakan merokok setelah berusia 27 tahun tak membahayakan kesehatan. Katanya, setelah berusia 27 tahun, fisik manusia berkembang sempurna. Padahal, ilmu pengetahuan mengatakan 'merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin.'

Presiden Amerika Donald Trump pernah mengatakan tidak ada yang namanya pemanasan global, global warming. Padahal, ilmu pengetahuan membuktikan suhu bumi terus meningkat yang menyebabkan es di kutub mencair, permukaan air laut naik.

Ketika gonjang-ganjing Pilpres 2019, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Hanum Rais, dan kawan-kawan mereka dengan penuh percaya diri mengatakan wajah Ratna Sarumpaet bonyok karena penganiayaan bermotif politik.

Fadli Zon dan Fahri bukan dokter bedah tapi berbicara serupa dokter bedah plastik. Hanum Rais memang dokter, tetapi dokter gigi, yang berbicara serupa dokter bedah plastik

Dokter bedah plastik yang punya otoritas kepakaran yang semestinya berbicara. Tompi, dokter bedah plastik, sejak awal mengatakan wajah Ratna Sarumpaet babak belur karena operasi plastik.

Celakanya, banyak orang sepertinya lebih percaya dengan omongan trio Fadli, Fahri, Hanum daripada Tompi. Ketika orang lebih percaya omongan bukan pakar daripada pakar, di situlah kepakaran betul-betul mati. Kepakaran betul-betul mati di kasus Ratna Sarumpaet.

Paling mutakhir, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Indonesia Sitti Hikmawatty mengatakan perempuan berenang sekolam dengan laki-laki bisa hamil. Sitti berbicara serupa dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau dokter kandungan.

Imajinasi Bu Sitti kelewat tinggi sampai membayangkan lelaki gampang terangsang dan ejakulasi ketika berenang sekolam dengan perempuan di ruang publik bernama kolam renang. Andaipun ada lelaki terangsang dan mengalami ejakulasi, kata Dokter Made Chock Irawan, sel sperma yang keluar langsung tewas di air kolam renang yang biasanya mengandung klorin.

Syukur, orang tak percaya dengan Sitti. Kepakaran belum mati di kasus Sitti. Ia malah mendapat "serangan" bertubi-tubi di media sosial sampai harus meminta maaf. Di media sosial muncul lelucon bahwa Sitti menjadi salah satu kandidat penerima Nobel 2020 di bidang spermakologi.

Konsekwensi sok pakar dan sok pintar paling tidak mendatangkan kegaduhan, perselisihan, persengketaan. Menurut agama, manusia terbuat dari tanah. Manusia-manusia sok pakar dan sok pintar yang suka bikin persengketaan jangan-jangan terbuat dari tanah sengketa.

Konsekwensi sesungguhnya dari sikap sok pakar dan sok pintar sebetulnya lebih besar daripada sekadar persengketaan.

Sikap sok pakar Presiden Czeck boleh jadi membuat orang berusia 27 tahun ke atas ramai-ramai merokok sehingga prevalensi penyakit jantung, kanker, dan lahir cacat meningkat.

Sikap sok pakar Donald Trump bahwa tak ada pemanasan global mungkin menjadi penyebab Amerika menarik diri dari Paris agreement, kesepakatan untuk mengurangi emisi karbon.

Bila polisi tidak menemukan fakta bahwa wajah Ratna Sarumpaet bonyok karena operasi plastik, pernyataan Fadli, Fahri, Hanum bisa memicu kekacauan politik akibat beredarnya citra bahwa negara membungkam warga negara dengan menganiayanya. Dalam tataran praktis waktu itu, Jokowi bisa kalah. Ini serupa Hillary Clinton yang kalah karena berbagai tuduhan palsu (firehose of falsehood) yang dilancarkan Donald Trump.

Sikap sok pakar Sitti bisa saja menyebabkan, maaf, perempuan hamil di luar nikah melapor ke orang tua bahwa kehamilannya tidak disengaja akibat berenang sekolam dengan lelaki.

Oleh karena itu, berhentilah sok pintar, sok pakar. Kita pun jangan lekas percaya kepada omongan mereka yang sok pintar, sok pakar. Dengarkan dan serahkan pada pakarnya. Kalau tidak, tunggulah kehancuran.

Bruce Bartlett dalam buku "The Truth Matters" mengintroduksi formula menangkal kabar palsu, fake news, hoaks, atau disinformasi. Saya membeli buku ini di Kinokuniya Singapore. Barlet mengatakan kita bisa menguji kebenaran satu informasi dengan rumus "to good to be true or too bad to be true." Jika informasi "terlalu baik atau terlalu buruk untuk benar", patut diduga itu fake news, hoaks, atau disinformasi.

Foto orang-orang bergelimpangan di jalan akibat terjangkit korona yang diunggah seorang yang katanya pendakwah masuk kategori "terlalu buruk untuk benar." Belakangan terbukti itu hoaks. Bahwa bawang putih bisa menyembuhkan korona termasuk informasi "terlalu baik untuk benar." Kementerian Kominfo ternyata membuktikan bahwa itu disinformasi, hoaks.

***