Aceh, Hubungannya dengan Otoritas Keagamaan dan Negara

Kloos dalam buku ini menelusuri interaksi antara individu-individu muslim Aceh dengan atoritas keagamaan dan negara.

Selasa, 25 Februari 2020 | 08:03 WIB
0
285
Aceh, Hubungannya dengan Otoritas Keagamaan dan Negara
Aceh dan hukuman berdasar syariah (Foto: tempo.co)

Ketika berkunjung ke Aceh pekan lalu, saya teringat dua peristiwa ringan yang saya alami terkait syariat Islam. Kedua peristiwa itu sering saya ceritakan kepada teman-teman ketika kita berdiskusi menyenggol Aceh.

Aceh baru betul-betul jatuh ke tangan Belanda--kape (kafir) Belanda, orang Aceh waktu itu menyebutnya--ketika Cut Nyak Dien menyerah kepada Belanda pada awal 1900-an. Aceh menjadi wilayah Nusantara terakhir yang jatuh ke tangan penjajah. Bila dikatakan Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, Aceh secara utuh dijajah Belanda kurang dari 50 tahun. Bila di buku-buku pelajaran sejarah dikatakan Indonesia dijajah selama 350 tahun, orang Aceh akan berkata, "Oh itu Jawa, bukan Aceh.”

Kita semua termasuk anak-anak sekolahan tahu dan hafal Perang Jawa atau Perang Diponegoro terjadi selepas Magrib, pukul 18.25-18.30, plesetan dari tahun 1825-1830. Akan tetapi, mungkin cuma segelintir yang paham Perang Jawa itu perang antara penguasa dan pemberontak. Belanda penguasa dan Diponegoro pemberontak. Perang Aceh perang dua negara berdaulat, yakni negara Aceh dan negara Belanda.

Spirit keacehan dan keislaman tak diragukan yang membuat Aceh begitu lama bertahan dari upaya penaklukkan oleh penjajah. Keacehan dan keislaman dalam fase sejarah berikutnya disertai semangat keindonesiaan, kebangsaan, nasionalisme. Biruen, Aceh, pernah menjadi Ibu Kota negara pada 1948 selama sepekan. Pun, orang Aceh patungan, mengumpulkan uang secara bersama-sama, untuk membeli pesawat pertama Republik.

Justru pemerintah pusat pada satu masa mengabaikan Aceh. Pada 1950-an Aceh turun status dari provinsi menjadi keresidenan bagian provinsi Sumatera Utara. Inilah yang membuat Daud Beureueh memberontak. Pemberontakan "diteruskan" Gerakan Aceh Merdeka dan berlangsung hingga masa reformasi.

Saat menjadi Presiden, Gus Dur mengintroduksi syariat Islam di Aceh. Ganjil bin ajaib juga tokoh pluralisme sekaliber Gus Dur, mengijinkan penerapan syariat Islam.

Zaini Abdullah, tokoh GAM, waktu itu mengatakan Gus Dur melakukan itu untuk meredam perlawanan GAM. Padahal, GAM gerakan etnonasionalisme yang memperjuangkan keacehan atau nasionalisme Aceh, bukan keislaman. Toh, syariat Islam akhirnya berlaku di Aceh dan semakin luas penerapannya.

Pada 2014, saya ke Aceh untuk memberi kuliah umum Jurnalisme Investigasi di Universiyas Syah Kuala dan IAIN Arraniry. Saya bersama seorang teman tiba siang di Banda Aceh di hari Jumat itu. Kami memutuskan tak Jumatan dan menggantinya dengan salat duhur karena kami musafir. Sekira pukul 12.30 kami keluar hotel mencari makan siang. Kami melihat beberapa pelajar SMA bersembunyi di pos satpam hotel. Kami sempat bertanya dalam hati mengapa mereka bersembunyi.

Kami batal makan siang di luar karena perempuan penjaga dua rumah makan yang kami masuki menolak melayani kami lantaran saat itu waktu jumatan. Kami kembali ke hotel dan makan siang di restorannya. Anak-anak SMA tadi kami lihat masih bersembunyi di pos satpam. Tak lama kemudian kami melihat mobil patroli "polisi syariah" yang semuanya perempuan melintas.

Kami paham sekarang rupanya anak-anak SMA itu bersembunyi untuk menghindari polisi syariah yang berpatroli mencari mereka yang tidak salat Jumat. Bila saja ketika mereka berpatroli kami kedapatan berkeliaran mencari makan siang, mungkin kami mereka tangkap.

Pada 2015, saya berlibur Lebaran ke Sabang. Kami menyempatkan diri menginap di Banda Aceh. Sore hari kami ke kedai kopi Solong, memesan kopi dan penganan ringan. Ketika azan berkumandang dari masjid di seberang kedai, belum lagi semua pesanan kami keluar, semua orang, termasuk penjaga kedai, keluar menuju masjid meninggalkan kami berempat terkurung di dalam kedai yang rolling doornya ditutup dari luar. Usai salat asar, rolling door baru dibuka lagi.

Itulah dua pengalaman ringan saya terkait penerapan syariat Islam di Aceh.

Salah satu tujuan penerapan syariat Islam ialah menghadirkan ketaatan umat kepada agama. Riaz Hassan meneliti kaitan syariat Islam dengan kataatan atau kesalehan warga negara di empat negara Muslim, yakni Indonesia, Pakistan, Mesir, Kazakstan. Hanya Pakistan yang memproklamasikan diri sebagai negara Islam, Republik Islam Pakistan.

Namun, dalam penelitian yang dirangkum dalam buku "Keragaman Iman" (2006) itu, Riaz Hassan menemukan masyarakat Indonesia dan Mesir lebih saleh daripada Pakistan. Itu artinya tidak ada kaitan antara kesalehan dengan syariat Islam. Bila ada kaitan syariat Islam dan ketaatan umat, masyarakat Pakistan semestinya yang paling saleh.

Saya baru membeli buku "Becoming Better Muslim: Religous Authority & Ethical Improvement in Aceh Indonesia" karangan David Kloos. Kloos dalam buku ini menelusuri interaksi antara individu-individu muslim Aceh dengan atoritas keagamaan dan negara.

Kloos menemukan praktik dan pengalaman keagamaan masyarakat Aceh lebih bersifat beragam, tidak terprediksikan, dan tergantung pada upaya pribadi untuk menjadi muslim yang lebih baik. Itu artinya kesalehan personal tidak tergantung pada syariat Islam yang digariskan otoritas atau penguasa. Benarlah pendapat banyak pakar agama bahwa agama sesungguhnya wilayah privat.

***