Problematika Menghijrahkan Ibu Kota

Butuh perencanaan yang matang dan terukur dalam wacana menghijrahkan ibu kota ini. Mungkin dapat dilakukan secara pelan-pelan dan bertahap

Selasa, 3 September 2019 | 06:35 WIB
0
371
Problematika Menghijrahkan Ibu Kota
Ilustrasi hijrah (Foto: Republika)

"Dalam konteks ini, hijrahnya ibu kota berarti "melepaskan diri" dari segala yang mengikat sebelumnya, baik aturan perundang-undangan, nilai-nilai budaya masyarakat, keterikatan dengan kultur, sehingga memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dibicarakan, didiskusikan, dan disepakati bersama." 

Soal perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan saat ini tidak lagi sebatas wacana, sebab teori-teori yang mendukung hijrahnya ibu kota semakin memantapkan ke bentuk langkah yang lebih konkret. 

Sekalipun masih tampak problematik, pemerintah sepertinya tak terpengaruh dan tetap ingin menghijrahkan ibu kota, dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Saya sengaja menggunakan kata serapan dari bahasa Arab, "hijrah" yang telah divernakularisasikan ke dalam bahasa lokal, karena makna hijrah ini bagi saya memiliki cakupan yang luas, tidak saja perpindahan secara fisik namun juga spiritual bahkan ideologis. 

Hal inilah yang pada akhirnya menjadi ruang problematik yang tak pernah kering, sebab hijrahnya ibu kota tak selalu dimaknai secara fisik, namun dapat melampaui batas-batas "yang fisik" tersebut.

Memang, suatu kebijakan dalam bentuk apapun yang pada akhirnya digulirkan penguasa, tidak serta merta memenuhi seluruh keinginan masyarakat. 

Ada saja sebagian yang menolak, mengkritisi, mempertanyakan, bahkan menganggap kebijakan itu bersifat otoriter dimana mau tidak mau, suka tidak suka, ya masyarakat secara penuh harus menerimanya. 

Efek yang nanti akan terjadi setelah suatu kebijakan digulirkan adalah hal lain, yang dalam perjalanannya mungkin akan muncul kebijakan-kebijakan baru yang bersifat politis, guna meredam gejolak sosial yang mungkin terjadi. 

Dalam ranah komunikasi politik, suatu kebijakan tentu saja tidak selalu lahir "dari atas" yang pada akhirnya cenderung bersifat elitis. Kebijakan yang berasal "dari bawah" jelas lebih memenuhi keseimbangan model komunikasi dua arah: antara pemerintah dan rakyat dan antara elit dan penguasanya.

Saya sendiri mungkin tidak terlalu berkepentingan soal jadi atau tidaknya ibu kota hijrah ke tempat lain, sebab saya tidak tinggal atau bekerja di wilayah ibu kota. Namun, banyak kolega dan keluarga yang kebetulan secara ekonomi mendapatkan jaminan penuh dari ibu kota yang saat ini masih berlokasi di Jakarta. 

Sulit membayangkan, jika mereka harus pindah atau hijrah, yang tidak saja secara fisik: kantor, rumah, keluarga, yang harus bersama-sama pindah, namun juga berdimensi non-fisik: merasakan kultur baru, nuansa kehidupan keagamaan baru, alam pikiran baru, dan segala hal yang terkait dengan nuansa ideologis yang juga perlu "dibarukan". 

Sama halnya ketika istilah "hijrah" ini dipinjam oleh kalangan tertentu yang pada akhirnya tampak problematik dari sisi teologis, dimana makna ini disamakan dengan istilah "taubat" yang sangat bersifat privat tetapi dipaksakan berada dalam suatu ruang publik.

Saya merasa tertarik melihat fenomena hijrah yang belakangan semarak di kalangan kelompok muda Muslim milienial yang dikaitkan dengan menguatnya wacana hijrah ibu kota. 

Peminjaman istilah "hijrah" yang belakangan dipergunakan kalangan muslim di Indonesia, tentu saja problematik, tidak saja dari sisi diksinya yang memiliki kesan bisnis dalam bentuk komodifikasi agama, namun juga seringkali salah kaprah dalam tataran praksisnya. 

Banyak diantara kalangan muda Muslim milenial yang memanfaatkan hijrah secara simbolik: dari yang berhijab menjadi bercadar, dari yang berbusana tradisional-konvensional menjadi kearab-araban sehingga tampak "regional", bahkan banyak sisi penampilan yang diperkuat secara simbolik, bukan realitas substantif hijrah itu sendiri.

Hijrah memang istilah yang diambil dalam tradisi bangsa Arab yang pada mulanya dipergunakan sebagai bentuk antonim dari kata "mengikat/ikatan" (al-washlu). Ketika seseorang hijrah, berarti dirinya "melepaskan ikatan" atau "tidak berada dalam suatu ikatan" tersebut. 

Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad disebutkan, "La hijrata ba'da tsalats" (tidak berlaku hijrah setelah tiga hari). 

Barangkali yang dimaksud oleh ungkapan Nabi ini adalah batas waktu untuk berada dalam suatu ikatan sosial setelah terjadinya konflik atau perseteruan antarindividu di dalamnya hanyalah tiga hari, setelah melewati batas itu, prinsip hijrah tidak lagi berlaku.

Dalam konteks ini, hijrahnya ibu kota berarti "melepaskan diri" dari segala yang mengikat sebelumnya, baik aturan perundang-undangan, nilai-nilai budaya masyarakat, keterikatan dengan kultur, sehinga memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dibicarakan, didiskusikan, disepakati bersama, sehingga keutuhan ikatan-ikatan sosial tetap terjaga dan nilai-nilai yang telah lama terbangun di dalamnya tak tercerabut dari akarnya. 

Hijrah tidak sesederhana "al-khuruj min al-ardl ila ardl" (meninggalkan suatu wilayah menuju ke wilayah lainnya), yang cenderung berkonotasi fisik, lalu mengabaikan hal-hal lainnya yang justru menjadi penting sebelum melakukan praktik hijrah tersebut. 

Jangan sampai mereka nanti yang berhijrah dari ibu kota sekadar dipandang sebagai "muhajirin" atau orang-orang yang patut dibantu dan difasilitasi, padahal selama di ibu kota mereka adalah orang-orang mapan dalam banyak hal.

Menurut hemat saya, sisi teologis dari hijrah tentu saja ada dorongan kerelaan yang sangat kuat yang berasal dari individu-individunya semata-mata untuk menuju ke arah perubahan lebih baik, sekaligus secara sosiologis, mereka-mereka yang hijrah tentu saja sebelumnya mendapatkan tekanan-tekanan fisik dan psikologis di tempat asalnya sehingga mereka semangat untuk hijrah demi membentuk suatu komunitas baru yang lebih kuat dan solid. 

Barangkali, inilah nilai-nilai hijrah yang dapat kita petik dari pengalaman hijrah Nabi Muhammad beserta pengikutnya dari Mekah ke Madinah.

Mekah, yang pada waktu itu sudah menjadi pusat bisnis yang sangat besar, settle, dan mapan secara struktur sosial, lalu ditinggalkan oleh Nabi Muhammad ke wilayah lainnya yang masih sepi, rural, dan lebih tertinggal secara peradaban.

Memang, Nabi berhasil membangun Madinah sebagai kawasan kosmopolit dan berperadaban (madani), sebab prinsip hijrah sudah diperhitungkan secara matang dan masyarakat Madinah juga berkenan dan ingin bersama-sama membangun peradaban dengan kedatangan masyarakat baru Mekah yang pindah bersama-sama beliau. 

Madinah, dalam sejarahnya sukses menjadi sebuah "negara-kota" (city-state) yang gaungnya bahkan melampaui kota Mekah sendiri yang telah lebih dulu menjadi kawasan paling beradab di Jazirah Arab. 

Inilah nilai-nilai hijrah yang kadang disalahpersepsikan oleh sebagian kalangan milenial muslim perkotaan, dimana yang mereka kedepankan justru nuansa fisik yang bersifat simbolik dan saya kira, jangan sampai pada akhirnya hijrahnya ibu kota juga sebatas pemenuhan "gengsi politik" yang cenderung simbolik yang pada akhirnya hanya akan memperoleh kegagalan-kegagalan secara aplikatif.

Saya kira, butuh perencanaan yang matang dan terukur dalam wacana menghijrahkan ibu kota ini. Mungkin dapat dilakukan secara pelan-pelan dan bertahap, diawali dengan mengkaji berbagai aturan dan perundangan yang terkait dengan hal ini terlebih dahulu, sebelum wacana ini justru seolah menjadi semakin liar di tengah masyarakat. 

Memang, dalam peralihan suatu masyarakat modern, selalu saja muncul letupan-letupan sosial yang menginginkan perubahan secara cepat yang terkadang memberangus berbagai macam tradisi yang telah terbangun ajeg sekian lama. 

Namun, modernisasi juga dapat dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai atau tradisi yang telah hidup dalam masyarakat, melalui komunikasi yang terbangun secara baik antara pemerintah dan rakyatnya. Jangan sekadar memenuhi keinginan elit, tetapi masyarakat justru yang menerima segala konsekuensinya. 

Modernisasi harus tetap melihat lanskap pembangunan politik, ekonomi, budaya, yang selaras dengan kepribadian dan nilai-nilai yang berkembang, bukan memaksakannya agar keluar dari realitas peradaban.

***