Ninuk Mardiana Pambudy bicara blak-blakan soal pertemuannya dengan Prabowo Subianto yang menjadi polemik dalam sebuah wawancara ekslusif.
Ninuk mengaku dulu mengatakan hal itu hampir menangis, ketika ia bertanya pada J Widodo – pimpinan Kompas yang waktu itu memutuskan menerimanya sebagai wartawan pada tahun 1984.
“Apakah saya diterima di Kompas karena saya anak Moerdiono?” tanya Ninuk Mardiana Pambudy, kini Pemred Kompas. Apabila ia diterima sebagai wartawan di surat kabar terbesar itu karena anak Menteri (waktu itu Moerdiono Menteri Sekretaris Kabinet di era Presiden Soeharto), maka ia akan mengundurkan diri saja, tutur Ninuk.
Ninuk Mardiana Pambudy – Pemimpin Redaksi Kompas yang hangat digunjing publik politik setelah harian itu merilis hasil survei Litbang Kompas Rabu (20/3/2019) lalu – mengaku memang tidak suka, diistimewakan mentang-mentang anak Menteri trus diperlakukan khusus.
“Saya ingat betul, hampir menangis ketika mengatakan hal itu,” tutur Ninuk, yang saya temui di Menara Kompas, Jakarta Pusat Senin (24/3/2019). Ada sekitar satu setengah jam, Ninuk menerima saya dalam sebuah ruangan di lantai V gedung megah media nasional terbesar itu.
Apa yang diceritakan Ninuk rupanya senada dengan tutur J. Widodo, yang waktu itu Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, dalam sebuah tuturannya di grup WhatsApp para mantan jurnalis Kompas era 70-80-an.
“Saya tidak ingat, kapan Ninuk diterima masuk sebagai wartawan Kompas. Tetapi waktu itu, sayalah yang mengambil keputusan terakhir, Ninuk pantas diterima di Kompas, karena dia lolos dari semua tes penyaringan,” tulis J Widodo dalam komen WA-nya.
Beberapa hari setelah menerima surat penerimaan resmi, tulis J. Widodo, Ninuk datang lagi ke kantor untuk khusus menemui dirinya. “Dalam kesempatan itu, dia menanyakan apakah dia diterima karena dia anaknya Moerdiono. Kalau sampai penerimaannya berbau itu, dia menyatakan akan mundur. Tak mau ia diterima kerja karena anak Menseskab. Dia baru lega, ketika saya jawab penerimaan dia tak ada kaitannya dengan jabatan bapakmu,” tutur J Widodo.
Dalam hati, J Widodo mengaku makin meneguhkan keputusannya untuk menerima Ninuk. “Ini integritas kepribadian yang tidak banyak bisa kita temukan,” katanya.
Apakah Ninuk juga melamar kerja karena bantuan sang ayah yang menteri dan notabene relasi dekat Kompas sebagai narasumber? Ternyata, memberi tahu sang ayah pun tidak ketika melamar jadi wartawan Kompas.
“Malam ketika saya dapat pemberitahuan saya diterima, saya ditanya papa (Moerdiono), apakah saya melamar Kompas?” Ninuk balik bertanya pada papanya, darimana sang ayah tahu, dia melamar di Kompas? Rupanya hari itu, Moerdiono mengaku sempat bertemu dengan Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Jakob Oetama, dan mendapat tahu bahwa anaknya Ninuk melamar jadi wartawan Kompas.
Meski lulusan Agronomi Institut Pertanian Bogor (1983), Ninuk pernah “hampir” jadi wartawan politik. Bahkan sempat ditugaskan Redakturnya untuk meliput berita Istana, dan hampir setiap hari ketemu sang ayah yang Menteri Sekretaris Kabinet.
Ketika meliput pemakaman mantan Menlu dan mantan Wapres Adam malik, Ninuk sempat membonceng skuter, naik motor James Luhulima yang juga wartawan istana waktu itu menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata yang cukup jauh. Di Jalan Thamrin, saat membonceng James, ada mobil menteri mendekat dan membuka jendela.
“Kamu ikut mobil ini saja...,” ternyata itu Menseskab Moerdiono, “Tentu saja saya tak mau. Saya pakai motor saja ke Kalibata,” tutur Ninuk pula. Pada kesempatan lain suatu ketika, ia pernah juga dibentak-bentak Paswalpres (paspampres) ketika berusaha menerobos penjagaan, dan mewawancara putri raja Thailand, Mahachakri Sirindhorn yang singgah di istana. Padahal waktu itu papanya sudah Mensesneg.
Dan tidak hanya di istana saja ia bertemu sang ayah. Juga dalam beberapa diskusi, dimana sang ayah menjadi pembicaranya. Ia harus meliput, dan sering merasa kikuk serta takut salah menulis ucapan sang ayah – yang sering mengungkapkan kalimat filosofis dalam diskusi.
“Lama-lama saya berpikir, males ah jadi wartawan politik, ketemu papa terus. Diatur-atur, dikoreksi....,” kata Ninuk. Selain pernah jadi wartawan Desk Ekonomi, Ninuk kemudian sempat ditempatkan di Kompas Minggu menangani berita-berita fashion dan gaya hidup.
(Saya sempat bareng Ninuk di Kompas Minggu, sama-sama menjadi Wakil Redaktur Koming – singkatan Kompas Minggu – di bawah Redaktur yang novelis Bre Redana).
“Lumayanlah di Kompas Minggu, tidak ketemu-ketemu papa lagi di liputan. Tidak mau dia atur-atur, dia protes-protes lagi...,” tutur Ninuk pula, yang dalam perjalanan panjang, menduduki juga pucuk-pucuk posisi sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Dan bahkan sejak 20 Oktober 2018 sebagai Pemimpin Redaksi menggantikan Budiman Tanuredjo sebagai nakhoda dari sebuah harian nasional terbesar di Indonesia. Padahal, dulu ketika wartawan Ninuk ogah jadi wartawan politik.
Integritas terutama penting bagi profesi wartawan, yang hampir setiap saat setiap waktu dikerumuni godaan uang, ataupun iming-iming fasilitas dari penguasa jika saja ia memuat “berita baik-baik” untuk keuntungan sang penguasa atau politisi. Atau menjelekkan pihak lawan penguasa melalui pemberitaan di media dimana dia kerja.
Tingginya godaan terhadap integritas ini, tak mengherankan, jika dalam seleksi untuk menjadi wartawan Kompas, para pemimpin redaksi selalu mengedepankan kriteria, nomor satu integritas, nomor dua integritas, dan nomor tiga pun integritas. Di atas intelektualitas malah.
Integritas seseorang, menurut Ninuk, tercermin dalam independensi sikapnya dalam mengambil keputusan. “Independen itu bebas mengambil keputusan, tanpa ada tekanan dari pihak manapun...,” Maka ia terheran-heran, jika hanya karena hasil survei yang mengunjuk menurunnya elektabilitas Capres-Cawapres 01, masyarakat ramai sudah buru-buru menuding “Kompas diokupasi kubu Capres-Cawapres 02”. Kompas tidak lagi netral.
“Jangankan saya. (Wakil Pemimpin Umum) Rikard Bagun, ataupun (Pemimpin Umum dan Pemilik Perusahaan) Lili Oetama pun tak bisa mempengaruhi hasil surveinya...,” tutur Ninuk, mengenai hasil survei Litbang Kompas yang ramai digunjing orang.
Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin dikabarkan menurun, menurut survei Litbang Kompas diumumkan Rabu 20 Maret 2019, jika dibandingkan lima bulan silam. Jokowi digambarkan menurun dari 52.6 persen (Oktober 2018) ke 49.2 persen (Maret 2019). Dan jarak selisih elektabilitas antara Jokowi-Ma’ruf Amin dengan Prabowo-Sandi menipis hanya tinggal 11.9 persen dari semula 19.9 persen bulan Oktober 2018.
Jokowi Masih Unggul
Meski sudah diterangkan dalam publikasi survei Litbang Kompas, bahwa Ekstrapolasi Elektabilitas, artinya jika pemilih yang belum menentukan suaranya yang dihitung sebanyak 13.4 persen menurut survei tersebut terbagi secara proporsional, maka Jokowi sebenarnya masih unggul 56.8 persen versus 43.2 persen Prabowo.
Toh, karena menurut survei disebut elektabilitas Jokowi menurun di bawah angka aman 50 persen, kubu Jokowi sudah keburu kecewa dan seolah merasa “dikalahkan”. Kubu Jokowi dibuat dagdigdug, bahkan di sana-sini marah. Sementara kubu Prabowo bersorak girang, ada harapan menang...
Faisal Basri, ekonom dan politisi yang secara kebetulan saya temui tengah minum kopi di kedai kopi Bentara Budaya depan Kompas (usai rapat bulanan Ombudsman Kompas di Menara Kompas), Jumat (22/3/2019) mengatakan, ada kemungkinan memang momen itu dimainkan oleh pihak lain yang tak senang dengan Kompas. Didramatisasi sekalian, agar Kompas – yang selama ini sulit digoyahkan kredibilitasnya – ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya.
“Padahal, kalau dihitung Ekstrapolasi pemilih yang belum menentukan suaranya, Jokowi masih menang. Selisih 13.8 persen (dua digit), jika dibanding selisih ketika Jokowi menang di Pilpres 2014 yang selisihnya hanya 7 persen (mono digit),” kata Faisal Basri.
Pemred Ninuk Pambudy bahkan mengungkapkan, ada analisa yang mengatakan momen ini juga dimanfaatkan oleh kompetitor, untuk menjatuhkan Kompas – karena selama ini kredibilitas Kompas sulit dijatuhkan.
Analisa lain mengatakan, bisa juga kubu 02 – yang semula tidak menyukai Kompas versi cetak maupun Kompas TV yang mereka tuding lebih pro kubu 01 – ikut memanasi untuk menjauhkan kubu 01 dengan Kompas. Selama ini, melekat anggapan bahwa Kompas maupun Kompas TV cenderung ke kubu 01.
“Ketika Kompas TV menjadi tuan rumah Debat Capres ketiga, saat menerima kedatangan Prabowo-Sandi, Prabowo mengatakan ‘harus fair loh ya...’. Artinya, Kompas grup dianggap oleh kubu Prabowo selama ini berpihak pada kubu 01,” ungkap sebuah sumber terpercaya di Kompas TV.
Tentang anggapan, grup Kompas dinilai lebih dekat dengan kubu 01, diakui pula dirasakan Kompas sejak Joko Widodo memenangi Pilpres 2014 silam.
“Sejak Jokowi menang Pilpres 2014 pak Prabowo mengatakan hal itu. Dan tidak pernah bersedia apabila akan diwawancara Kompas,” ungkap Ninuk. Maka, berbagai cara ditempuh Kompas untuk “melobi” kubu Prabowo agar mau diwawancara.
Di antaranya, melalui jalur informal seperti yang digemparkan orang dalam foto yang menggambarkan Ninuk bersama Prabowo di Hambalang, didampingi suami Ninuk – yang memang sudah sejak lama dekat dengan keluarga Prabowo. Bahkan sebelum lengsernya Soeharto pada 1998.
“Padahal, maksud saya sebagai wartawan – apa salahnya, berupaya memperbaiki hubungan dengan nara sumber yang selalu menolak diminta waktu wawancara,” tuturnya. Ternyata malah disalah kira, seperti foto bersama Prabowo yang dijepret sekitar bulan Februari, pada kesempatan sebuah wawancara Prabowo dengan televisi Indosiar. Kompas dituding pindah ke lain hati, ke kubu 02.
Rachmat Pambudy, suami Ninuk yang adalah pengurus HKTI, diminta menemani Prabowo yang saat itu diwawancarai sebuah stasiun televisi di Hambalang, karena Prabowo akan menjelaskan soal pertanian.
Rachmat bukan pengurus Gerindra apalagi pengurus atau bahkan dewan pakar. Hanya memang sebagai pengurus HKTI sering dimintai pendapat mengenai pertanian. Pandangan, pikiran, dan pendapatnya juga sering diminta oleh pemerintahan saat ini.
“Suami saya juga bukan orang Gerindra, hanya memang sering diminta konsultasi sebagai ahli pertanian oleh partai tersebut...,” ungkap Ninuk pula.
Pemlintiran terhadap momentum hasil survei Kompas ini, juga dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memetik keuntungan menghancurkan kredibilitas Kompas.
Bahkan event pementasan teater Calon Arang (yang diawaki oleh para awak televisi, di antaranya empat presenter Kompas TV) di Nuart Sculpture Park, lokasi kesenian (milik) seniman Bali Nyoman Nuarta, pun diplintir sebagai upaya kelompok Kompas untuk “mengolok-olok Capres 01”.
Lebih jauh, tak hanya dituding mengolok-olok Capres 01, akan tetapi Pentas Calon Arang oleh para awak televisi itu juga dianggap melecehkan agama Hindu, melalui tokoh Calon Arang yang di Bali dianggap sakral.
“Padahal, pentas teater itu dipentaskan grup Teater Sendiri Jakarta, yang memang terdiri dari para presenter berbagai televisi, termasuk Kompas TV,” tutur Ninuk pula.
Semakin mendekati momen coblosan Pilpres 2019 nanti 17 April, memang semakin banyak terjadi plintir-memlintir berita, serta semburan-semburan disinformasi demi mendiskreditkan kubu lain Pilpres. Demi meraih kemenangan instan.
Kali ini, yang dibuat sensi adalah kubu Capres Cawapres 01, yang dipicu dengan hasil survei Litbang Kompas tentang menurunnya elektabilitas Capres Joko Widodo hanya sebulan menjelang coblosan. Padahal, menurut Joko Widodo sendiri – kata Ninuk – presiden malah menganggap baik, diberitakan seperti itu.
Sejumlah Pemred media nasional diajak Presiden Joko Widodo menjajal MRT (Mass Rapid Transit) pada Kamis sore petang lalu. Dalam kesempatan bertemu Presiden di Istana sebelum berangkat menuju stasiun TransJakarta Monas, Ninuk mengaku sempat menyampaikan hasil survei Litbang Kompas.
Menurut Ninuk, Jokowi mengatakan tidak apa-apa dan bahkan menilainya sebagai "bagus". Ini menegaskan apa yang dia sampaikan sebelumnya saat ditanya wartawan di Istana setelah hasil survei diterbitkan. “Saya kebetulan bertemu ketika (Presiden) Jokowi meresmikan MRT hari Minggu kemaren,” katanya.
Ninuk mengungkapkan, Jokowi menganggap pemberitaan itu justru bagus untuk memicu militansi pendukungnya agar bangkit.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews