Meretas Arogansi Momen Multiperspektif

Sabtu, 2 Maret 2019 | 06:39 WIB
0
389
Meretas Arogansi Momen Multiperspektif
http://intisari.grid.id/read/0398842/si-megalomania-orang-arogan-yang-selalu-membanggakan-dirinya-sendiri?page=all

Kampanye merupakan momen di mana para kandidat politik menyampaikan visi-misi di tengah masyarakat. Visi-misi merupakan rumusan inti yang mencakup berbagai program, karena itu konsentrasi dan mitra kerja yang memadai sangatlah dibutuhkan.

Menarik bahwa pilpres kali ini, masing-masing paket memiliki BPN dan TKN yang solid dan handal. Tokoh-tokoh yang diundang entah akademisi maupun budayawan, pada umumnya sudut pandang mereka sangat memperkaya terutama demi pembenahan dan pemantapan   persona Capres-Cawapres serta penjernihan visi-misi politik.  

Tulisan ini saya beri judul Meretas Arogansi Momen Multiperspektif. Maksud saya ialah arogansi yang timbul karena momen yang diperoleh atau dilimpahkan kepada seseorang, mengingat apa yang digariskan dalam pola umum anthropologis bahwa setiap momen perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Setia pada judul tulisan ini, saya ingin membedah arogansi momen dengan multiperspektif. Yang pertama, perspektif superioritas. Perspektif ini berpijak seluruhnya pada segala kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh seseorang.

Sebetulnya, bukan keunggulan atau kelebihan yang mau dipersoalkan.  Keunggulan atau kelebihan adalah hal yang biasa mengingat bahwa kita hidup dalam keberagaman. Persoalannya ialah keunggulan yang dimiliki diracik sedemikian rupa ketertampakkannya, sehingga mereka yang lain atau lawan politik diperlakukan tak berdaya bukan secara realistis melainkan secara asumtif.

Sebagai akibatnya, yang bersangkutan merasa superior sendiri sementara rakyat yang menyaksikannya dikondisikan untuk mengakui begitu saja dengan janji-janji manis yang pandai dimainkan secara anthropologis dan psikologis untuk mengantongi hati rakyat.

Yang kedua, perspektif diskredit. Titik tolak perspektif ini adalah adanya kenyataan bahwa antara para politisi, para akademisi, para pendukung seringkali saling menghina, saling menyindir, saling menjelek-jelekkan satu sama lain.

Ada satu kepandaian para pegiat politik masa kini ialah kepandaian menangkap aktivitas dalam momen, lalu titik simpulnya ditarik secara asumtif. Menurut hemat saya, penarikan kesimpulan secara asumtif adalah biang bagi munculnya aksi saling menghina, saling menyerang, saling menjelek-jelekkan.

Yang ketiga, perspektif tak peduli. Di tengah menguatnya subyektivisme postmodern, efeknya pun merembes masuk dalam sela-sela aksi politik. Di sini, ketidakpedulian seseorang pertama-tama bukan obyeknya pada martabat manusia melainkan ketidakpedulian muncul sebagai wujud dari subyektivisme yang merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dengan timnya sendiri.

Sebagai akibatnya, tim yang lain dipandang sebagai lawan yang harus dimusnakan bukan secara personal melainkan pertama-tama karena perbedaan kepentingan masing-masing tim harus semakin ditegaskan demi memenangkan kursi politik.

Yang keempat, perspektif persuasif. Kekuatan persuasi ada pada berjumpanya rumusan pernyataan bercorak retorik dengan situasi. Di sini, psikologi situasi sangat diperhitungkan. Sebagai akibatnya, publik termakan rayuan-rayuan politis dan pada titik ekstrim, pihak lain yang kurang persuasif “dipersalahkan” secara otomatis. Sementara, politik pada prinsipnya, terlalu “murahan” ketika metode retorika sangat diagungkan sebagai dewanya kesempatan untuk memenangkan kursi politik.

Sebagai seruan akhir, arogansi momen multiperspektif ini dapat diretas apabila setiap pegiat entah secara persona maupun komunal, memandang politik sebagai ruang dan momen untuk memacu kualitas dengan memperlakukan kuantitas sebagai pengabdi terhadap kualitas, ketika kebenaran hendak ditegakkan dan menjadikan kuantitas sebagai mitra kerja bagi kualitas, ketika kebenaran hendak ditemukan caranya.

Dalam perspektif kualitas-kuantitas ini, apa yang ditawarkan sebelumnya oleh Habermas tentang membangun komunikasi intersubyektif dalam politik sebagai ruang publik untuk memperjuagkan kepentingan umum, sangatlah penting.

Komunikasi intersubyektif ini akhirnya menempatkan momen sebagai sarana bukan memanfaatkan momen untuk melahirkan serigala demi memusnahkan yang lain. Kalau sampai ini terjadi, maka inilah bentuk arogansi paling ganas di mana sifat serigala mewabah dalam segala praktek politik manusia.

***