Filsafat di Masa Puasa

Filsafat di masa puasa hendak dimaknai sebagai pelipur (consolation) antara ketegangan doktrinal dan kebebasan intelektual yang sepenuhnya menjadi warisan abadi bumi manusia.

Rabu, 27 April 2022 | 05:23 WIB
0
202
Filsafat di Masa Puasa
Filsafat Islam (Foto: dok. Pribadi)

"Karena aku melihat anak-anak Kristen selalu tumbuh besar dengan memegang teguh agama Kristen, dan anak-anak Yahudi selalu tumbuh besar mematuhi Yudaisme, dan anak-anak Muslim selalu tumbuh besar mengikuti agama Islam… Akibatnya aku merasakan dorongan batin untuk mencari arti dari fitrah asli [disposisi religius asli], dan arti sebenarnya dari keyakinan yang bangkit melalui meniru keyakinan orang tua dan guru. Aku ingin menyaring keyakinan-keyakinan yang tidak kritis ini… (Al-Ghazali, 1058-1111).

Meski kesimpulan kurang akurat mengatakan bahwa filsafat (فلسفة) di dunia Islam mati di tangan Al-Ghazali pada abad XII — setelah biografi intelektualnya "The Deliverer from Error“ (Al-Munqidh min al-Dalal) dan "The Incoherence of the Philosophers“ (Tahâfut al-Falâsifah) ditulis dan terbit sebelum magnum opus "Ihya Ulumuddin“ (The Revival of the Religious Science) — mengalami berbagai krisis politik dan intelektual. Mulai dari pembunuhan kalifah, sultan dan serbuan Mongol merupakan sedikit latar yang memengaruhi kehidupan intelektual Al-Ghazali.

Terlepas dari krisis itu, produktifitas pemikiran Al-Ghazali sama sekali tidak terganggu. Bahkan masa pendek hidupnya limapuluh tiga tahun justru telah melahirkan tak kurang dari tigaratus ribu tulisan-tulisannya, termasuk dua magnum opus yang berkisar pada filsafat dan agama (religious science).

Lalu apa relevansi kehidupan filsafat di tengah doktrin agama yang umumnya menumbuhkan kritik intelektual? Menilik sejarah keduanya (filsafat vs agama) tampak saling pengaruh itu kental terus dihidupkan, khusus yang bisa disimak dari biografi intelektual Al-Ghazali. Jauh sebelum metode keraguan (skeptisisme) itu populer nanti pada abad XVI melalui Rene Descartes (1596-1650) bersama "Risalah Metode“ (Discourse on Method,1637), Cogito Ergo Sum-nya, hampir limaratus tahun sebelumnya telah dikumandangkan Al-Ghazali dalam "The Deliverer from Error.“

Secara harafiah biografi intelektual ini disalin dalam bahasa populer: Pembebas dari Kesesatan atau teori ma‘rifah Al-Ghazali.

Dengan kehausan akan kebenaran (al-haqq) dalam filsafat kehidupan, akan tampak dahaga intelektual (ulil albab) memerlukan metode puasa (shaum al-khususan) dalam arti seluas-luasnya. Karena metode ini khususnya, pencarian Al-Ghazali sangat berpengaruh dalam tradisi sufisme. Artinya, disiplin diri, kontrol diri dan pengasingan (alienasi) dalam berfilsafat secara praktis juga berakar pada sumber-sumber spiritualitas sekaligus intelektual.

Dalam artian, betapa naif menuduh kematian filsafat berasal dari Al-Ghazali. Bukankah pada era selanjutnya, filsafat dari Al-Ghazali yang puncaknya pada sufisme (kezuhudan) seperti kerahiban dan selibat di beberapa agama timur (hinduisme, budhisme, zen dan talmudik), memiliki makna yang dikatakan Frithjof Schuon (1905-1998) sebagai "unity of transcendent.“ Di antara makna ini orang bisa memilih antara dimensi empirik(eksoteris) dan dimensi batin(esoteris).

Karena itu "kesatuan transendensi“ Ghazalian itu, akhirnya memerlukan kritik lanjut melalui Ibnu Rusyd (1126-1198) berpuluh tahun kemudian setelah kematian Al-Ghazali. Apa bisa kita simak dari Tahâfut al-Falâsifah Ghazali dan Tahâfut at-Tahâfut Ibnu Rusyd justru menandai bangkitnya kritik filsafat di dunia Islam setelah mengalami puasa ortodoksi syariah dan revolusi Muta‘zilah yang berlanjut hingga abad IX dan X di bawah pengaruh Abbasiyah.

Dengan kata lain, filsafat di masa puasa hendak dimaknai sebagai pelipur (consolation) antara ketegangan doktrinal dan kebebasan intelektual yang sepenuhnya menjadi warisan abadi bumi manusia. Dan apa yang dimaknai dalam kehidupan filsafat sampaikan kapanpun, tak lain dari pencapaian (aqabah) dari tiga jalan utama: syariah (markah), haqiqah (capaian) dan ma‘rifah (derajat). "Kullu sya‘in halikun illa wajhahu. Lahul hukmu ilaihi turjaun“ (Segalanya akan binasa. Kecuali yang Mahasegala. Kesanalah segalanya akan kembali).

***