Drama Mengejar Berita [5] Pura-pura Jadi Turis, Ditangkap Tentara Malaysia

Liputan di lapangan, tidak cukup hanya dengan pikiran saja. Namun perlu akal untuk menerobos nara sumber yang Anda targetkan. Tidak ada pelajarannya dalam teori di kelas.

Rabu, 27 Januari 2021 | 06:46 WIB
1
187
Drama Mengejar Berita [5] Pura-pura Jadi Turis, Ditangkap Tentara Malaysia
Tebedu (Foto: medcom.id)

Matahari masih bersinar terang di atas langit Tebedu, Kuching, Serawak, Malaysia. Daerah tapal batas dengan Kecamatan Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Saat itu kami menyaksikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong yang baru selesai dibangun.

Kami beristirahat sambil makan dan minum di beberapa kedai, tak jauh dari pos lintas batas. Saya menjadi bagian dari wartawan Hankam ABRI yang melakukan press tour, sekitar tahun 1994-1995. Dipimpin Kolonel (Zeni) FX Bachtiar. Tentara spesialis intelijen yang punya hubungan dekat dengan Jenderal TNI (Purn) LB Moerdani.

Dia kepala bagian humas Dephankam. Sebagai Kepala Biro Humas Kerjasama Luar Negeri Dephankam adalah Laksamana Pertama TNI Yuswaji. Sama-sama perwira spesialis intelijen.

Untuk masyarakat perbatasan Entikong dan Sekayam, cukup hanya membawa kartu Pas Lintas Batas (PLB). Tak perlu passport. Tapi hanya boleh sampai sore saja. Karena liputan di perbatasan, maka kami juga diizinkan masuk wilayah Tebedu oleh petugas imigrasi Malaysia, tanpa passport.

Dalam Bahasa Malaysia disebut, Kompleks Kastam Imigresen dan Kuarantin atau Custom Immigration and Quarantine (CIQ) Tebedu, Serian, Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Singkatnya, Kompleks Imigresen Tebedu.

Kolonel Bachtiar memberikan kesempatan pada rombongan untuk meliput sekitar tiga jam di wilayah Kedu, Serawak. Di situ para wartawan bebas mau meliput apa saja. Tentu pikiran dan wawasan para wartawan pun berbeda-beda. Ada yang sibuk berbelanja makanan, pakaian, dan oleh-oleh lainnya. Belanja di sana, boleh menggunakan mata uang rupiah. Tapi kembaliannya pakai ringgit.

Berkat sepatu boat

Saya tidak mempunyai uang banyak. Saya ikut press tour ini juga dadakan. Menggantikan Bang Ludin Panjaitan, redaktur saya di Harian Merdeka. Jadi saya hanya membeli minuman mineral dan biskuit. Termasuk membeli sepatu boat. Mengapa saya membeli sepatu boat? Karena saya berencana memanfaatkan waktu yang sempit untuk masuk ke hutan wilayah Serawak. Hutan tropis yang lembab.

Saya bersama wartawan muda lainnya (usia masih di bawah 30 tahun dan belum menikah), antara lain Totok Suryanto. Kini wakil pemred TV One. Saat itu ia masih menjadi wartawan sebuah majalah berita. Press tour ini dibagi dua kelompok. Kelompok satunya lagi melihat tapal batas dari Kalimantan Timur.

Kami menyusuri hutan yang berawa-rawa, berbatuan dan sungai-sungai. Sehingga celana kami pun basah hingga sepaha. Saat itu, kami tidak saling tahu apa yang ada dipikiran rekan dalam liputan. Rekan liputan, tetap saja rival. Kami harus berkompetisi mencari liputan-liputan yang berbeda. Di tengah hutan, kami berpisah. Berjalan sendiri mencari liputan-liputan yang unik.

Sampailah saya di sebuah gubuk di atas pohon. Saya tatap gubuk tersebut. Maka saya berpikir, ini pastilah pos pemantauan. Tapi saya lihat tidak ada yang berseragam tentara. Saya pun berteriak memanggil-manggil. Si penjaga mengeluarkan wajahnya dari balik jendela.

Dari informasi saat masih di pos imigrasi Tembedu, mereka adalah orang-orang Dayak keturunan Indonesia yang sudah jadi warga negara Malaysia. Tak ada bedanya dengan orang Dayak Indonesia. Mereka sudah lama menetap di wilayah Malaysia dan menjadi askar (laskar/pasukan) wataniyah (teritorial). Semacam sipil yang menjadi pasukan cadangan bela negara.

Askar wataniyah itu mengingatkan saya tidak boleh melanjutkan perjalanan lagi, karena di depan ada pos tentara Malaysia. Tidak terasa, mungkin sudah sekitar 2 km saya dan teman-teman memasuki wilayah Serawak. Larangan itu bagi saya justru menjadi tantangan yang harus saya langgar.

Alasannya sederhana. Saya liputan bersama TNI, maka saya harus tahu pos tentara Malaysia di dalam hutan. Saya pun melanjutkan perjalanan. Mempercepat langkahnya, sedikit berlari. Terpikir juga, saya tidak boleh diketahui identitasnya sebagai wartawan. Apalagi wartawan liputan Dephankam/ABRI.

Antara berani dengan tidak. Saya putuskan: berani! Sudah sekalian basah. Celana saya basah dan terlanjur masuk ke daerah terlarang. Terlanjur basah kata penyanyi dangdut Meggy Z. “Terlanjur basah, ya sudah mandi sekali. Di depan orang, kau tega memfitnah aku… “ Bah… jadi dangdutan.

Beruntung kartu tanda penduduk (KTP) saya, masih tercantum sebagai mahasiswa. Belum diganti menjadi wartawan. Lalu bagaimana dengan kartu identitas wartawan Hankam/ABRI? Tanpa pikir panjang, saya keluarkan dari tas selempang dan saya buang ke sungai. Saya pikir, toh nanti kalau sampai di Jakarta, bisa buat lagi. Hmmm… gampang kan.

Benar saja sekitar 500 meter dari rumah gubuk di atas pohon, saya lihat ada pos tentara Diraja Malaysia. Saya berpikir bagaimana caranya agar bisa masuk ke pos tentara tersebut. Ada akal. Saya justru harus cari gara-gara agar bisa masuk pos tersebut. Masuk tapi ditangkap untuk diinterogasi.

Dengan secepat kilat saya ambil kamera dan memfoto sasaran. Papan yang menunjukkan di situ pos tentara Malaysia, pagar kawat berduri saya bidik, termasuk truk tentara yang terparkir. Kemudian gulungan rol film, saya keluarkan dari tustel. Saya simpan disepatu boat. Tustel, saya isi rol film baru yang belum digunakan. Langkah cepat itu saya lakukan di dalam tas, agar tidak terlihat mata tentara.

Turis ditangkap

Benar saja saya dipanggil tentara yang berjaga. Ada dua orang menghampiri saya. Saya digiring masuk ke dalam pos tersebut. Di dalam saya bisa melihat apa saja yang ada di dalam pos itu. Ternyata pos diisi sekitar satu peleton tentara ranger Malaysia. Salah satu pasukan elite negeri serumpun.

Saya diinterogasi dengan pertanyaan macam-macam. Kemudian dimintai identitas. Tas selempang yang saya bawa digeledah. Hanya ada handuk kecil, air mineral, pulpen, buku kecil, biscuit, dan sepatu kets di dalam kantong plastik. Karena terciduk telah mengambil gambar tanpa izin, maka kamera pun diminta dan isi kamera diambil.

Saya sudah khawatir, jangan sampai sepatu boat saya harus dilepas. Karena rol film ada di situ. Lutut sudah gemetar. Pastilah wajah jadi pucat dan tangan seperti orang tremor. Berdoa di situ. Semoga aman.

Saya mengaku sebagai turis dari Jakarta yang tersesat dari rombongan. Ini pastilah ilmu ngibul (berbohong). Tidak tahu daerah Tebedu, Serawak. Juga tidak tahu kalau ini pos tentara Malaysia bukan pos tentara Indonesia. KTP saya pun lambangnya Monas, DKI Jakarta. Masih sebagai mahasiswa.

Identitas wartawan tentu harus saya tutup. Bisa dibayangkan jika ketahuan, bisa panjang urusannya. Apalagi jika ketahuan rombongan TNI. Bisa dikira mata-mata yang menyusup wilayah jiran. Semua jawaban saya, seperti meyakinkan. Mereka tidak marah, namun memaklumi turis (palsu) yang tersasar di hutan.

Akhirnya saya diperbolehkan keluar dari pos dan diminta kembali ke arah pulang. Isi rol film disita. Saya tersenyum senang, karena isi rol film belum saya gunakan sama sekali. Di tengah perjalanan, rol film yang sudah saya gunakan, saya keluarkan dari sepatu boat dan saya pasang kembali, sebelum menyeberangi sungai.

Tahun itu belum banyak yang menggunakan telepon genggam. Barang mahal. Adanya radio panggil (pager) untuk menerima pesan pendek dari kantor. Pager sengaja saya tinggal di penginapan, karena tidak ada gunanya saya bawa-bawa.

Singkat cerita, saya pun bisa kembali berkumpul dengan teman-teman di pos lintas batas imigrasi Tebedu. Saya tidak ceritakan apa pun kepada teman-teman rival liputan dari berbagai media nasional, baik cetak, radio maupun televisi.

Di dalam bus dalam perjalanan pulang menuju Pontianak, setengah berbisik, saya sedikit bercerita kepada Kolonel Bachtiar. Dia terkejut dan meminta agar liputan itu tidak ditulis saat ini. “Jika laporan itu kamu muat, karier saya dan Pak Yuswaji bisa tamat. Bahkan bisa menggangu hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia.”

Saya ceritakan bahwa kartu pers saya buang ke sungai untuk menutupi identitas. “Bagus, kamu tahu tahu apa yang harus dilakukan. Hebat bisa menyusup ke wilayah musuh,” kata Bachtiar, alumni Akmil 1970. Dia pun tertawa sambil menepuk-nepuk pundak saya.
Investigative reporting ke pos peleton tentara Malaysia, saya simpan dalam memori. Menjaga nama baik Kolonel Bachtiar dan Laksma Yuswaji. Beberapa tahun kemudian usai reformasi, keduanya memperoleh kenaikan jabatan dan pangkat.

Yuswaji naik pangkat menjadi laksamana muda dengan jabatan asisten intelijen Mabes TNI. Kemudian Bachtiar naik pangkat menjadi brigadir jenderal dengan jabatan komandan satuan intelijen teknik Bais TNI.

Keduanya kini sudah pensiun. Saya tak ada beban lagi untuk menceritakan peristiwa yang sudah berusia sekitar 25 tahun. Semoga ada manfaatnya bagi wartawan muda.
Menjadi wartawan harus punya keberanian mengambil risiko dan mencari liputan menarik. Bukan sekadar wartawan seminar atau copy paste, seragam beritanya, seperti press release. Mengutip utuh dan percaya begitu saja apa yang diumumkan oleh instansi seperti TNI, Polri dll.

Liputan di lapangan, tidak cukup hanya dengan pikiran saja. Namun perlu akal untuk menerobos nara sumber yang Anda targetkan. Tidak ada pelajarannya dalam teori di kelas. Ilmu seperti itu akan Anda dapatkan di lapangan.

***

Tulisan sebelumnya: Drama Mengejar Berita [4] Jadi 'Pengacara' Gadungan Masuk ke Sel Tommy Soeharto