Sekali Lagi Soal Rezeki

Buat Anda yang masih gelisah soal rezeki di Jaman Lokdon ini, segeralah istighfar. Tak perlu mengeluh sana-sini. Perbanyak salawat. Jangan pernah ragukan kekuasaan Allah SWT.

Kamis, 9 April 2020 | 08:43 WIB
0
288
Sekali Lagi Soal Rezeki
Ilustrasi bekerja (Foto: hidayatullah.com)

Saya ingin berbagi kisah. Kisah saya, bukan orang lain. Tentang rezeki, yang memang sudah dijamin Allah. Tahun 1991, saya masih mahasiswa di Bandung. Saya kos di sebuah gang sempit. Berdua teman. Cuma ada satu kasur. Kami tidur gantian. Jika hari ini di kasur, besok di lantai yang dingin. Itu perjanjiannya. Kecuali sedang sakit, berhak tidur di kasur meski tak sesuai jadwal.

Suatu malam kami kelaparan. Tak ada makanan sama sekali. Uang tak ada. Kosong. Mau ngutang malu. Lagi pula bingung mau ngutang ke siapa. Padahal hari itu saya praktikum mata kuliah Rangkaian Listrik [RL]. Capek, dan bikin perut keroncongan. Kami berdua tiduran, sambil menatap langit-langit kamar. Membayangkan nasi.

Tiba-tiba, kamar diketuk Bapak Kos. "Sep, Sep, sudah tidur? Ini tadi bapak mancing ikan. Sudah digoreng sama ibu. Makanlah," ujar Bapak Kos. Dia mengantar nasi hangat dan ikan goreng. Selama kos di sana, tak pernah dia melakukan kebaikan itu. Saya dan teman cuma saling pandang. Terkejut. Kami sampai lupa mengucapkan terima kasih.

Ada juga pengalaman lain. Ini kisah saat saya masih sekolah di Yogyakarta. Sebelum pindah ke Bandung. Waktu itu Mamak bilang, "Bapakmu sudah gak ada. Mamak tak punya uang untuk biayain kamu," katanya.

Saya tak mempersoalkan. Maklum, Mamak seorang janda yang tak punya pekerjaan. Dua adik saya juga masih sekolah, jelas lebih butuh uang. Saya cuma minta Mamak mendoakan saya setiap habis salat. Itu saja. Dan Mamak setuju.

Suatu hari saya harus pulang ke Yogya. Saya berangkat dari Lampung. Setelah pamit Mamak, ziarah makam Bapak, saya selalu mampir ke rumah guru. "Banyak salawat," ujarnya. Sesampai di Bakauheni, saat naik kapal, jika ditanya tiket, saya cuma bilang "keluarga!"

Mereka langsung mengijinkan naik. Sesekali ditanya, keluarga siapa? Saya akan jawab, "Pak Ardi." Mereka pasti meloloskan. Mereka mengira itu 'Pak Ardi' kepala Pelabuhan Bakauheni. Terserah. Yang penting saya tak bohong, nama saya memang 'Ardi'.

Sampai di Merak, saya naik bus Putra Remaja tujuan Yogyakarta. Saya biasa duduk di depan pintu belakang, di jendela kiri. Saya pakai jaket gelap. Perbanyak salawat seperti titah guru. Dan Demi Allah, Demi Rasulullah, saya tak pernah diminta membayar tiket. Kondektur pasti melewati saya. Seperti tak melihat kehadiran saya. Dan Saya bisa leluasa ikut makan yang disediakan untuk penumpang. Dua kali. Di Cirebon, dan di Batang. Sampai di Yogya sekitar jam 5 pagi. Turun begitu saja.

Bagaimana saya bertahan hidup di Yogya tanpa pernah dikirim uang oleh Mamak? Panjang ceritanya. Bisa jadi satu buku. Teman saya Renni Yuliasari di Kampus UGM sedikit banyak tahu. Tapi biarlah itu jadi rahasia saya saja. He he he.

Jadi, buat Anda yang masih gelisah soal rezeki di Jaman Lokdon ini, segeralah istighfar. Tak perlu mengeluh sana-sini. Perbanyak salawat. Jangan pernah ragukan kekuasaan Allah SWT. Ya Fattah, Ya Razzaq.

Allahuma shali ala sayyidina Muhammad ...

***