Karena status sebagai WNI adalah salah satu bentuk keterikatan saya dengan Indonesia. Negeri yang membuat saya bisa jadi orang seperti sekarang.
Kemarin saat belanja mingguan, saya dapat pertanyaan yang sama dari dua orang berbeda. Yang pertama adalah Umm Ward, pemilik toko daging halal langganan. Orang kedua adalah nenek asli Norwegia yang sama-sama menunggu bus.
Ketika tahu bahwa saya sudah tinggal di Norwegia selama 10 tahun, pertanyaan mereka adalah, "Berarti paspormu Norwegia, ya? Kamu sudah jadi orang Norwegia?"
Ketika saya jawab bahwa saya tidak punya paspor Norwegia, demi mempertahankan paspor Indonesia, seperti ada rona heran dan takjub di wajah mereka. Baru setelah saya jelaskan kalau saya berencana menghabiskan hari tua di Indonesia (dan karena itu masih tetap berkewarganegaraan Indonesia), barulah mereka paham. Tetap seperti ada pertanyaan tak terucap, "Nggak sayang? Padahal banyak orang yang mimpi untuk bisa jadi warga negara Norwegia."
November 2019 menandakan 10 tahun saya dan Fatih jadi penduduk Norwegia (suami saya datang ke sini dua bulan lebih awal). Rencana yang semula hanya 2-3 tahun, berjalan sampai 5, 7, hingga satu dasawarsa. Entah sampai kapan kami ada di sini, wallahu a'lam. Sepertinya Allah memang masih menakdirkan kami untuk jadi penduduk Norwegia setidaknya hingga detik ini.
Kalau ditanya apakah saya betah? Jawabannya: ya dibetah-betahkan . Mungkin saya orang yang terlalu konservatif. Setelah sekian lama jadi penduduk tetap Norwegia, saya tetap merasa bahwa negeri ini bukan tanah air saya. I don't belong here. Terlalu banyak nilai dan kebudayaan yang tidak sesuai dengan hati nurani saya.
Karena itu suatu saat nanti, setidaknya saya dan suami, berencana menikmati masa pensiun di Indonesia. Untungnya dalam hal ini kami satu visi.
Topik pindah kewarganegaraan ini jadi bahan perbincangan hangat di meja makan kami. Ketika saya ceritakan hal ini ke Fatih, dia antusias mengomentari, "Kenapa sih, pemerintah Indonesia ini nggak membolehkan kita punya dual citizenship? Kalau boleh, aku mau punya dua paspor sekarang!"
Baca Juga: Di Norwegia, "Camp School" untuk Siswa SD Dilakukan di Sebuah Pulau
Sayapun demikian. Kalau saja Indonesia membolehkan WNI punya dwikewarganegaraan, saya tak akan ragu mengajukan permohonan kewarganegaraan Norwegia. Satu-satunya alasan saya adalah demi kemudahan saat travelling.
Paspor Garuda ini memang cukup sering jadi penghambat kami ketika akan bepergian ke negara yang kami idam-idamkan. Termasuk ke Inggris Raya, tempat kelahiran Fatih. Apalagi kalau bukan masalah visa.
Tiga tahun lalu kami memang sempat dilanda dilema kecil. Di Norwegia, warga asing yang sudah tinggal 7 tahun berturut-turut, punya pekerjaan, dan tidak ada catatan kriminal, bisa mengajukan permohonan kewarganegaraan Norwegia. Syaratnya hanya itu saja. Dan kemungkinan besar kami akan mudah mendapatkannya.
Namun kembali lagi ke alasan semula. Kalau harus melepaskan paspor Indonesia, dan mengucapkan sumpah setia (pledge of allegiance) pada negara orang, kami belum bersedia.
Hati ini masih tertambat sangat kuat ke Indonesia, meski dalam kurun waktu 18 tahun terakhir kami sudah merasakan hidup di 4 negara.
Meski berpandangan demikian, saya bilang ke Fatih, kalau dia sudah dewasa kelak dan ingin memilih jadi warga negara selain Indonesia, saya tidak akan menghalanginya. Apalagi dia punya cita-cita mengikuti jejak Sal Lavallo, mualaf asal Amerika Serikat yang sudah menjelajahi SELURUH negara di dunia pada usia 26 tahun.
Yang penting dia tidak akan melupakan Indonesia meski bukan tanah kelahirannya. Jangan tinggalkan bahasa Indonesia berlogat Surabaya. Tetap gemar makan nasi dan masakan Padang. Keluarga besarnya pun masih di Indonesia.
Mungkin banyak yang seperti saya; tetap WNI meski sudah hidup lama di rantau orang. Namun tak kalah banyak orang Indonesia yang memilih tak lagi menjadi WNI karena berbagai alasan; pernikahan, kemudahan bepergian, kecintaan pada negeri baru, atau keyakinan bahwa ia akan selamanya tinggal di sana.
Kedua pilihan adalah sah-sah saja. Hargai saja perbedaan pilihan kita.
Buat saya, meski nggak ngefans dengan pemerintahan sekarang yang membuat Indonesia makin semrawut, paspor Garuda tetap akan jadi kebanggaan saya.
Karena status sebagai WNI adalah salah satu bentuk keterikatan saya dengan Indonesia. Negeri yang membuat saya bisa jadi orang seperti sekarang.
Dan juga karena...
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan Bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews